Sunday, September 18, 2005

Universiteitsbibliotheek (Randwijk)

Baru aja pulang dari undangan makan malam keluarga Indonesia yang sudah lama tinggal di Maastricht. Sebenarnya tidak ada rencana ke sana, pulang dari perpustakaan, sabtu begini inginnya bisa siesta, bobo siang, trus nonton teve seharian. Punya waktu sendirian menikmati kamar kan jarang-jarang terjadi.

Sabtu ke kampus ? ke perpustakaan pula. He he he, jangankan hari Sabtu, hari minggu aja perpustakaan itu dijabanin. Rekor kan ? rasanya dulu ga segitunya deh walaupun kuliah di universitas yang konon katanya meskipun bagaimanapun akan tetapi yah lumayan terbaik di Indonesia gitu deeh.

Di Universiteit Maastricht kami belajar menggunakan sistem PBL, Problem Based Learning. Bahasa gampangnya Cara Belajar Siswa Aktif. Instead, duduk dikelas mendengarkan kuliah, kami akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil diskusi. Tiap harinya dosen kami yang bertindak sebagai tutor akan menyuguhkan kasus-kasus kesehatan. Dari bahasan kasus itu kami harus menemukan masalah apa yang harus jadi perhatian kami. Selanjutnya kami sendiri yang harus menentukan aspek apa yang harus dipelajari dari kasus tersebut. Selesai.

Kami akan bubar dan langsung melihat koleksi perpustakaan mencari bahan-bahan yang direkomendasikan untuk dibaca dari kasus tersebut. Lusanya kami akan datang dan berkumpul kembali dikelas, mendiskusikan temuan-temuan kami. Bisa jadi si A membawa info ini, si B membawa info itu, dan kami dibantu oleh dosen kami akan merangkainya menjadi suatu informasi utuh mengenai apa yang kami dapat pelajari dari kasus yang diberikan. Setelah selesai, kami akan disuguhi kasus baru, membahas lagi dan begitu selanjutnya. Dan diakhir unit itu kami akan membuat presentasi tentang apa yang kami sudah pelajari dari semua pertemuan itu.

Karena modelnya diskusi, tentu saja suasananya lebih informal baik dengan sesama teman maupun dengan dosen yang dikelas membatasi diri hanya bertindak sebagai tutor. Mengarahkan diskusi ke tujuan yang sebenarnya. Kelas saya sendiri isinya hanya tujuh orang dan akan penambahan karena dua student dari Guatemala dan Peru baru akan datang sebelum Januari nanti.

Dengar-dengar UM (Universiteit Maastricht) merupakan pusat PBL untuk Eropa. Saya tidak tahu ini berita bagus atau tidak karena ada saatnya sistem ini jadi joke yang nyebelin juga. Seperti pernah dialami teman saya. Ketika sedang browsing di LINK (internet center di perpus) ternyata dia tidak bisa menyimpannya ke dalam USB. Padahal jelas-jelas ada port usb di tiap komputer. Ketika dia bertanya pada petugas perpus, jawabannya adalah “Kami ga tahu, coba kamu cari tahu sendiri masalahnya apa dan coba pecahin sendiri,” hah! That’s why they called it Problem Based Learning!

Sistem PBL ini bisa saja membuat kami duduk ongkang-ongkang kaki dikelas dan mendengarkan temuan yang didapat teman-teman (tapi itu juga artinya tidak begitu banyak yang nyangkut di hati dan kepala), tapi disisi lain bisa juga memaksa kami untuk membaca dan mencari tahu sendiri dari buku-buku diperpustakaan ---dan itu biasanya lebih masuk –daripada duduk dan mendengarkan uraian dosen. Lectur tentu saja tetap ada, tapi materinya akan sangat berkaitan dengan kasus yang kami hadapi dan itu membuat kami lebih perhatian.

Karenanya Perpustakaan menjadi rumah kedua karena sistemnya memang didesain seperti itu, kami dilatih untuk lebih mandiri dalam belajar, pola pikir dan analisis. Dan juga secara akomodasi, perpustakaan yang buka sepanjang minggu itu memang menunjang. Perpustakaan sangat nyaman buat belajar. Pokoknya bahkan buat yang malas-malasan baca –seperti saya, kadang-kadang ---sekalipun, duduk, melamun sambil melihat hijau-nya pemandangan jalan kota Maastricht dari balik kaca ruang perpustakaan, sudah cukup membuat betah duduk berlama-lama.Semua orang dengan patuhnya akan berbisik ketika bicara di perpus. Itu sudah peraturan. House rules.

Saya punya pengalaman yang agak malu-maluin dengan masalah ketaatan terhadap house rules ini, suatu kali karena terburu-buru untuk mengikuti kelas berikutnya, saya dan teman-teman menggunakan lift untuk turun dari perpustakaan. Padahal dipintunya jelas-jelas ada gambar kursi roda dan tulisan handikappen, berpikir –sekali-kali mah ga apa-apa—yang tipikal melayu itu, kami pakai juga lift itu. Tapi begitu sampai ke loker lantai bawah tempat kami meletakkan tas dan barang-barang yang dilarang, ada om-om langsung mendatangi saya dan bicara dalam bahasa Belanda. Memasang tampang polos saya bertanya “oui ?yes?” lalu si om langsung beralih menggunakan bahasa inggris dan bilang bahwa kami telah menggunakan lift untuk orang cacat. Itu ga boleh, next time harus turun lewat tangga. Duh, malu euy. Saya dan teman-teman Cuma mengangguk-angguk ga enak hati.

Kali lain, saya membawa apel dan minuman ke ruang perpus dan out of nowhere, om-om itu datang lagi dan bilang ga boleh makan-minum di perpus. Duh! Sesudah itu saya celingukan ke kiri kanan atas bawah, melirik ke pojok, langit-langit, bawah meja. ini ada apa yah ? kok dia bisa tahu yah ? jangan-jangan ada kamera tersembunyi buat memantau semua pengunjung? wuaduh, harus jaim dong, ga lucu aja kalau adegan saya dijual buat program kayak SPONTAN ala Belanda. Habis, dulu bawa bakwan, tahu isi, somay, batagor ke perpus fisip ga pernah ada yang dengan rajinnya negur-negur segala. Jadinya kebawa-bawa deh . Wuah, ketahuan banget sih kalau kamu datang dari negara berkembang, mbak!

Karena buku-buku diperpus sebagian besar tidak bisa dipinjam, jalan keluar untuk memeras isinya adalah duduk dan membaca berlama-lama di perpus atau memfotokopi-nya. Maka mesin foto kopi adalah barang yang tersebar di penjuru kampus. Di perpus sendiri ada ruang tersendiri untuk itu. Tapi, seperti biasa disini tidak ada mas-mas yang dengan baik hati mau dibayar untuk meng-copy-kan untuk kita, tapi (lagi-lagi) kerjakan sendiri dengan menggunakan kartu mahasiswa yang sudah diisi poin (paling banyak 5 euro) untuk mengkopi. Satu lembar menghabiskan 0,05 euro. Berita bagus buat saya adalah, ada subsidi untuk mahasiswa program master of public health sebanyak 300 lembar fotocopy gratis per bulannya di kartu UM kami. Berita bagus lainnya tentu jadi sangat mumpuni menggunakan mesin fotokopi. Pulang ke Indonesia sepertinya saya bisa buka copy center buat nambah-nambah penghasilan he he he.

1 comment:

Nicolo D'Albergati D. Ch. said...

Aduh ibu..., gmn sih kok malu2in. eh Tin coba donk sekali2 bikin foto essay tentang tempat loe berada. g pengen liat, mumpung belon mampu kesana sendiri.
hehehehe......