Tuesday, August 24, 2004

kebun langit

kebun langit adalah senoktah surga
Luruhlah dosa bersama langkah menujuNya
Tersebut nama setiap mereka pada kumpulan makhluk suci yang bertasbih menjura
kebun Langit adalah senoktah surga
Ada seribu malaikat merubung dengan doa membumbung,katanya
Terberkahilah mereka yang berada didalamnya
kebun Langit adalah danau pendulangan jiwa
Dan setiap kita adalah pencari mutiara

-----
Kapan ingatnya mengaji, mungkin tidak terlalu ingat lagi. Hanya sekelebat bayangan remaja tanggung dan canggung berseragam abu-abu bersimpuh lutut di mushalla sekolah. “Kita belajar bersama yuk..” bujuk seorang kakak kelas pada kami bersepuluh.
Berkelebat firasat bahwa bukan membahas rumus fisika atau penghitungan logaritma yang akan kami lakukan. Namun ada sesuatu yang membuat kepala terangguk tenang pada ajakan si kakak kelas yang tersenyum menawan.
“Hanya belajar mengaji, mungkin belajar a-ba-ta-tsa seperti masih kecil dulu di mushalla dekat rumah, atau madrasah sepulang sekolah. Jadinya akan menyenangkan, itu pasti.”
Dan mengajilah kami bersepuluh.
Sebulan, dua bulan, lima bulan, dan datanglah bosan.
Banyak PR. Harus nemenin Mamah belanja.Yah, hujan. Aduh, ngaji yah ? aku lupa kalau ini harinya ??
Perkenalkan, kami adalah para diplomat magang dalam mengarang alasan.

Tak ada yang membuat kami bertahan selain rasa sungkan.
Semua jadi membosankan, kering dan hampa.
Temen ngaji gue ga asyik, sok ngatur n kagak gaul. Mbak? Wuih minta ampun galaknya!
Ah, senoktah kebun langit yang dijanjikan mendatangkan ketenangan, rupanya masih jauh dari bayangan.

Rupanya kami tidak mencari. Kami hanya berharap diberi.
kebun langit tak akan kau rasakan jika tak kau ciptakan.
Pergolanya adalah keikhlasan pada Tuhan
Pagar nya adalah pengertian, kesetiaan dan kelapangan.
Rasakan pijakan kakimu yang menghenyak lembut diatas rumput kasih sayang yang kau tanam
Dan berbisiklah pada mereka tentang yang kau rasakan
“Aku cinta kau, Demi Tuhan”
Dan kebun langit itu
Tinggal kau hiasi dengan doa dan bintang-bintang pengharapan
Semoga kelak firdauslah yang akan terwariskan.

Thursday, August 19, 2004

nol`

kosong hampa tak ada apa-apa aku tak merasa bahkan tak juga luka menganga yang tersembunyi di lubang jiwa apakah yang menggumpal lekat disudut perih itu air mata ?aku bahkan tak pernah ingat namanya seperti apa rasanya hangat matahari ?hangat menjerat namun ternyata sepi ah, sudah kita simpan saja dikotak ingatan toh, kuncinya sudah lama kubuang apakah ini hampa ?karena tak ada apapun yang tersisa tak juga segumam duka

Wednesday, August 18, 2004

nama saya: teni martini

“Ibu, ini apa ?” tangan kecilnya menggapai-gapai mencari ujung jilbab saya. Matanya yang terbeliak karena kelopak mata tertarik oleh dahi yang menghulur jauh diatasnya, berputar-putar gelisah. “Ini jilbab namanya,” kata saya. Bahkan tak perlu berpura-pura riang menghadapi anak seperti Teni Martini. “Jilbab, buat apa ?” kejarnya. Usianya kurang lebih empat tahun. Hobinya melihat buku penuh gambar dan warna. Pinta dia untuk menirukan jingle Fanta Electric dan tubuhnya yang tertelentang diatas ranjang Rawat Inap akan bergoyang riang. Teni menderita hidrosefalus sejak lahir. Suatu kondisi dimana infeksi mengakibatkan cairan dalam otak tidak mengalir lancar. Tertahan, mengumpul dan menekan tengkorak kepala hingga mencapai lingkar kepala yang besar. Efeknya tentu saja otak tidak berkembang maksimal karena tertekan cairan. Jangan bicara tentang kecerdasan pada anak-anak yang mampu bertahan saja sudah suatu mukjizat. Kepala Teni harus dipasang selang permanen yang mengalirkan cairan dari otaknya ke lambung.

Tapi Teni tidak seperti balita hidrosefalus pada umumnya. Biasanya mereka lemah, tergolek tak berdaya dengan semangat kehidupan yang muram. Teni hidup dengan gembira. Selesai operasi, sebuah pelukan dari dokter dituntutnya. Ketika syuting operasinya oleh sebuah stasiun televisi rampung, ditagihnya pelukan dari orang-orang televisi yang mereka penuhi dengan heran.
Saya bicara pada ibunya, bapaknya dan juga kakak perempuannya. Sekedar memuaskan keingintahuan, Allahkan yang secara otomatis menyuntikkan hormon kebahagiaan, ataukah lewat orang-orang dewasa ini benih-benih itu tertanam dan kemudian tersemai sempurna dalam jiwa seorang bocah hidrosefalus ?

Yang saya lihat adalah penerimaan dan kasih sayang tak bersyarat. Tak peduli kepalamu menggembung sebesar apa nak, engkau adalah anggota keluarga yang juga punya hak suara.”Kelau keluarga lagi ngumpul, dia akan kesal kalau tidak diajak mengobrol,” kata ibunya.
Dan saya teringat pada anak-anak yang bunuh diri karena dilukai hatinya oleh hardikan dan cemoohan orang-orang yang mestinya memberikan mereka kasih sayang. Anak-anak yang tak cukup lentur jiwanya oleh penolakan karena tak cukup kesabaran orang dewasa menyemai bibit penerimaan.

Teni, suatu saat kelak, berdirilah tegak dan buat orang tuamu bangga dihadapan Tuhan karena mereka tak pernah tinggi hati untuk menerima keadaan.

Mas Piet

19 November

Selamat Datang Mas Piet!

Senin itu agak sedikit lemas sebenarnya buat saya yang baru seminggu sebelumnya kena typhus. Namun hari itu ada yang membuat hati saya terlonjak dari tempatnya dan mempush semangat saya, ketika dari balik rimbunnya pagar wareng mushalla, saya mengenali sosok wajah yang sudah lama saya kangeni keberadaanya di Mushalla.

Mungkin untuk anak FISIP angkatan 2000 dan 2001 Mas Piet tidak terlalu banyak berarti. Mas Piet mungkin cuma sekedar laki-laki yang hampir setengah baya, tugasnya ngurus mushalla, ada sandal hilang, tas hilang datang ke Mas Piet, Mas Piet ngedumel ngalor-ngidul sebentar, maki-maki maling sialan yang nggak pernah tobat itu dan setelah itu ya … nasib anda sendiri dong, Alhamdulillah kalau barangnya bisa ketemu, kalau nggak ya mudah-mudahan cukup berharga untuk dikonversi dengan dosa-dosa yang juga tak kalah banyaknya.

Namun buat saya Mas Piet sedikit (jangan banyak-banyak nanti ge-er) lebih dari itu. Kalau ada yang bilang bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, maka Mas Piet, kalaupun dia guru … adalah guru yang sanggup membuat otak sederhana anda (dan saya) ngacir karena “aduh Mas Piet nggak ngerti, nggak nyampe…!”


Belum mengalami ? berarti interaksi anda dengan Mas Piet belum cukup dalam. Kalau Albus Dumbledore-nya Harry Potter kata-katanya perlu direnungi sekerut dua kerut lipatan dahi, baru bisa dimengerti, maka kata-kata Mas Piet …untuk saya mungkin musuh kecantikan kulit wajah yang ketiga setelah matahari dan debu.

Dan ketika Mas Piet pergi, tiap kali saya melangkah kedalam mushalla terasa ada yang sesuatu kosong. Bukan mushalla itu sendiri. Mushalla tetap kokoh, tetap bersih, rumputnya masih hijau, bunga sepatunya masih sama, dan burung-burung pipit masih tetap ramai. Tapi keapikannya, kebersihannya tidak lagi sama dan yang lebih tidak tergantikan saya rasa, ‘jiwa dari mushalla’ itu yang hilang. Dan selama berminggu-minggu saya rindu salamnya Mas Piet, gerundelannya Mas Piet terhadap para pengguna lantai atas yang tidak pernah sadar kebersihan, cita-cita islam rahmatan lil alaminnya Mas Piet, epistemologi dan aksiologi kain pelnya Mas Piet …

***ini sebuah gerundelan hati tentang seorang marbot mushalla Al Hikmah FISIP UI bernama mas Pitoyo. Salah satu orang yang dulu, waktu jaman-jamannya kuliah, tak henti-hentinya membuat saya pusing karena ocehan filosofis tingkat tingginya berkelindan diantara seliweran kain gombal yang dengan berseliweran membersihkan mushalla. Ketika saya menginjak semester lima, Mas Piet mulai hijrah, rupanya idealisme menjaga dan membersihkan mushalla, bagaimanapun harus mengalah. Piramida Abraham Maslownya, belum lagi sempurna mencapai segitiga. Seingat saya, seorang pemuda pendiam jangkung menggantikannya.

Kepada Seorang Anak Berhati Surga

“Ibu!” itu Idris.
Suaranya menyambut saya riang di tangga menuju kantor.
Idris kakak dari Abdul Gina, balita yang matanya mencotot keluar karena retinoblastoma. Sebelum matanya diangkat dioperasi, Gina selalu murung dan berdiam diri.
Kakaknyalah, ya Si Idris itu, bocah sembilan tahun berbaju kumal dengan mata ceria, yang selalu dengan bersemangat menggodanya.
Berusaha mengalihkan perhatian si adik dari sakit yang mendera, atau pandangan kasihan mereka yang lewat yang menusuk hatinya.
Mungkin karena terlalu sering bersama, sang kakak tak lagi mencium bau busuk yang mulai menguar dari luka di mata adiknya, atau, itu kah kasih yang begitu besar yang mengalahkan rasa jijik dan mual ?
entahlah.
Namun anak kecil yang penyayang selalu sedap disaksikan sebagai tontonan menawan.
Dan saya ingin bersimpuh menatap matanya,
“Adik sayang, ajarkan kakak tentang mencinta …”

taman

taman punya kita berdua
tak lebar luas kecil saja satu tak kehilangan lain
dalamnyabagi kau dan aku cukuplah
taman kembangnya tak berpuluh warna
padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki
bagi kita itu bukan halangan
karena dalam taman punya berdua
kau kembang aku kumbang
aku kumbang kau kembang
kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan manusia
Chairil Anwar, Maret 1943




Dari sekian banyak puisi chairil anwar yang beberapa dicurigai sebagai jiplakan, puisi ini adalah salah satu favorit saya. Entah, mungkin tiap kali saya membacanya saya teringat rumah, teman-teman atau harapan saya terhadap diri saya sendiri dalam memandang arti kebahagiaan. bahwa sakinah, ketenangan, tidak pernah ditentukan oleh fasilitas dan kemegahan, namun keberkahan yang didapat dari niat yang lurus dan usaha terus menerus jualah yang menentukan, apakah rumah kita akan jadi sepetak kebun surga atau sebatas musium guci saja.