Tuesday, September 06, 2005

Terbang …

Saya dan teman-teman dijadwalkan berangkat dari Jakarta pukul 18.55 dengan KLM. Namun penerbangan kami harus tertunda selama 1,5 jam karena katanya ada virus yang mengganggu sistem check in di seluruh maskapai penerbangan. Sehingga mereka harus menggunakan sistem chek in secara manual dan tentu saja ini membuang banyak waktu.

Alhamdulillah akhirnya pesawat mulai bergerak terbang. Mengingat salah satu adab safar (bepergian) adalah banyak-banyak berdoa,kKarena doa orang yang sedang bepergian termasuk doa yang mustajab selaian doa orangtua untuk anaknya dan doa orang yang teraniaya, jadinya mulut ini langsung komat-kamit sampai-sampai teman sebangku saya, seorang cowok Perancis bersama adik perempuannya, tertawa geli mellihat saya. Kurang ajar tuh bule, dikiranya saya ketakutan atau apa kali yah … karena abis itu dia langsung nanya dalam bahasa Inggris yang kebelit-belit, “Is this your first flight ?” dan saya langsung melotot sambil tertawa “Am I that obvious ?” saya balik bertanya. Dan dari situ jam-jam pertama kami habiskan buat cerita-cerita soal negara kami masing-masing. Dia dan adiknya baru saja mengunjungi Indonesia untuk liburan dan mengunjungi tante dan om mereka. Dia bilang Indonesia bagus, nasi goreng, sate ayamnya enak. Yah, buat sopan-sopannya saya complement balik bilang bahwa orang Prancis punya bahasa yang indah, bahwa saya berharap suatu saat bisa mengunjungi Museum Louvre dan sebangsanya dan sebangsanya …

Tapi enam belas jam perjalanan itu waktu yang lama sekali dan setelah itu kami kehabisan bahan cerita. Akhirnya kemudian kami diam-diam sepakat to mind our own business. Yang mengkhawatirkan adalah selama penerbangan itu saya hanya tidur-tidur ayam, bukan tidur yang deep sleep. Alamak, ini artinya harus siap-siap buat jetlag.

Jam tangan saya menunjukkan pukul 11 siang waktu Jakarta ketika akhirnya pesawat mendarat di Schipol pukul 6.29. Saya harus bertemu dengan Juli, yup my very best friend yang sudah selesai merampungkan masternya di Amsterdam. Rencananya akan ada seserahan, serah terima harta gono-gini alias lungsuran yang pastinya akan berguna sekali buat satu tahun ke depan. Disini juga sudah menunggu Bang Hasanul, suami Nurul yang sudah ada di Belanda terlebih dahulu.

Alhamdulillah tidak berapa lama setelah baggage claim, yang ditunggu sudah muncul. Wuaduh, ternyata harta gono-gini itu kelihatannya banyak juga. Ada satu kantung plastik besar yang mungkin sama ukurannya seperti karung. Saya melirik barang bawaan saya; kopor 30 kg yang patah gagangnya karena keberatan beban, tas ransel berisi laptop dan tas tenteng berisi buku dan dokumen-dokumen yang beratnya pasti tidak kurang dari 10 kg. Hmm, pasti akan kerja keras menyeret ini semua sepanjang 2,5 jam perjalanan menuju Maastricht.

Perjalanan menuju Maastricht dimulai dari naik kereta dari Schipol menuju Duivendrecht. Dari Duivendrecht kami harus berganti kereta yang langsung menuju Maastricht. Ternyata kereta yang menuju Duivendrecht terlambat, itu berarti kami hanya punya waktu sedikit untuk mengejar kereta berbeda dari Duivendrecht yang menuju stasiun Maastricht. Dan betul saja, rombongan anak-anak Maastricht ini harus berlari-lari sambil menyeret barang bawaan ke peron. Rupanya kereta yang menuju Maastricht sudah datang dan kami hanya bisa memandangi kereta yang bergerak perlahan sambil tersengal-sengal.

Kami harus menunggu 45 menit untuk menunggu kereta berikutnya yang langsung ke Maastricht. Sebenarnya kereta yang lain juga ada, tapi kami harus transit lagi di beberapa stasiun. Dan melihat kenyataan betapa payahnya kami menyeret semua barang bawaan ini, maka pasti lebih bijak untuk bersabar menunggu kereta yang akan datang.

Pukul 9.41 pagi kereta yang ditunggu akhirnya datang. Fiuuh, lega juga. Bisa sedikit meregangkan kaki, punggung dan tangan yang rasanya sudah mau putus semua. Niatnya sih ingin tidur, tapi khawatir kalau stasiunnya akan terlewat plus rasa penasaran seperti apa sih Netherlands itu membuat mata saya sulit terpejam. Kereta yang tenang dan nyaman itu membawa kami melewati kota-kota besar dan kecil, hutan, padang rumput, wah jadi ingat sama kereta Hogwarts Express-nya Harry Potter dalam perjalanan menuju Hogwarts. Gambarannya persis sama dengan ini.

Pukul dua belas lewat, kami tiba di Maastricht. Oke, kerja keras lagi menyeret semua barang. Di Stasiun kami sudah membuat janji untuk bertemu dengan Ria Westenberg, International Relations Officer MPH Programe dari Unimaas. Dari stasiun diputuskan bahwa Ria akan membantu saya dan Astri ke Guesthouse Universitas, tempat dimana kami berdua akan tinggal.
Pukul setengah dua kami tiba di Guesthouse. Merapikan semua urusan administratif, bayar buat satu bulan pertama, kebersihan dll, akhirnya bisa check in. Irene, teman sekamar saya, katanya sudah datang dari kemarin. Masuk kamar rasanya ga akan mungkin buat langsung unload. Karena di kamar saya ada privat kitchen, saya bisa langsung memasak air dan menyeduh teh manis instan yang dibawa dari Jakarta. Baru aja mau tidur, Bang Hasanul sudah menelepon, mengajak kami semua makan siang ditempatnya. Wah, nggak mungkin ditolak dong, soalnya memang lapar berat. Sarapan di KLM rasanya sudah berabad-abad yang lalu. Jam empat Bang Hasanul, Nurul, Benny dan Ical, anak Ford Foundation yang akan kuliah di Utrecht, menjemput ke rumah saya.

Beramai, kami tiba di tempat mereka. Rupanya sudah ada beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Maastricht menyambut kami. Malam itu ditutup dengan makan rendang yang nikmat ….

No comments: