Tuesday, December 27, 2005

Indonesia ?

Di kota kecil semacam Maastricht, dibandingkan dengan Den Haag misalnya, saya merasa orang-orang lebih hangat dan gampang menyapa. Saya pasti bakal mengingat ini sebagai salah satu hal yang saya suka dari etika pergaulan orang Belanda, selain cara pandang yang cenderung down to earth.

Seperti waktu suatu pagi, habis kehujanan, saya pikir yang paling enak tentu adalah minum teh hangat. jadi langsung ke vending machine tempat jual teh, kopi, susu di kampus. Lagi lihat-lihat begitu tauk-tauk ..."goeiemorgen! how are you today ? do you want anything ?" wah, itu kan bapak-bapak yang tugasnya jadi pengisi ulang semua vending machine di kampus. kalau ketemu, biasanya kita cuma saling melambaikan tangan sambil tersenyum. sesekali kalau lagi pingin yah bilang tot straks, tot ziens. "kamu mau apa? hari ini saya yang traktir," katanya dengan ceria. wuaah, beneran nih oom ? "beneran!" aku mau teh deh! met suiker? met melk ? tanyanya lagi. naah, ini namanya rejeki dari arah yang tidak disangka. thank you, this would be a wonderful start for my day, kata saya (dalam hati, besok-besok lagi ya oom!)

Atau waktu antri mengambil kopi di Guesthouse, bersama saya ada anak muda yang juga ikutan mengambil kopi. Setelah mencampurnya dengan krim dan gula, tiba-tiba orang itu mengulurkan tangannya pada saya. Hah? kenapa mas ? dia menunjuk bungkus kosong krim dan gula di tangan saya. Ooooh, rupanya dia mau bantu ngebuangin kertasnya, berhubung tempat sampahnya ada di dekat dia. wuaaah, manis sekali (wink2). Yang manis-manis seperti menolong menunjukkan arah pada oarng yang kesasar (diawal-awal kejadian ini seringkali menimpa), atau menolong menaikkan barang-barang belajaan ke sepeda (ini waktu terlalu semangat belanja sampe lupa kalau ga akan muat di sepeda), menahan pintu untuk orang lain, sepertinya juga jadi sebuah tata krama entah dia laki-laki atau perempuan. Dalam hal lalu lintas, aturan mainnya adalah yang punya mobil mendahulukan sepeda dan pejalan kaki. Jadi kalau sudah melihat kita berdiri di depan zebra cross, mobil akan langsung menahan diri untuk memberi kesempatan yang jalan kaki atau yang naik sepeda untuk menyeberang.

Dan entah karena Maastricht itu kota yang tidak terlalu padat, bukan tipikal kota untuk pendatang seperti Delft, atau juga wajah saya Indonesia sekali, jadi sering banget disapa "Indonesia?!" entah kalau lagi jalan atau sedang naik sepeda. Seperti waktu di stasiun, seorang bule tiba-tiba menyapa dengan ramah "Indonesia?!" saya bilang "ya! saya Indonesia" dia bilang lagi "Selamat datang di Belanda, Assalamualaikum. Mooi (cantik)!" wuah, siapa? saya? Indonesia? Ogah banget dibilang cantik sama orang bule, kan biasanya definisi cantik mereka itu yang aneh-aneh, sementara saya manis begini geto loch (wa ka ka ka).

Walaupun tentu aja yang nyebelin juga banyak (kalau urusan birokrasi, sama aja ngeselinnya kayak di Indonesia), tapi itu hal-hal manis yang kadang membuat saya iri. Kok etika semacam itu sulit sekali didapati yah di Indonesia. Sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak, etika gemar menolong, mendahulukan orang lain, kok hampir-hampir ga kelihatan. Mau menyeberang di Margonda atau di Ciputat aja, aduh ... butuh nyali yang besar. Yang mendisain tata kota maupun yang punya mobil tampaknya lupa kalau pejalan kaki juga punya hak yang sama.

Tapi, saya tetap percaya kok bahwa ini bukan urusan mental yang taken for granted 'yaa emang kayak gitu, mau diapain lagi', saya percaya ini juga urusan sistem hidup yang bisa direkayasa, bisa memaksa tanpa sadar orang untuk berbuat baik. Dan kalau bicara merubah sistem, maka resep Aa Gym itu saya pikir salah satu alternatif yang mujarab. Mulai aja dari diri sendiri, mulai aja dari keluarga sendiri, mulai dari anak sendiri.

karena tiap manusia di beri potensi kebaikan. Tinggal apakah potensi itu bisa hidup dan berkembang dalam sistem yang kondusif. Bicara masalah keramahan, kebaikan hati, jangan salah, orang Asia tenggara, Melayu macam kita, saya pikir punya fleksibilitas dan keterbukaan yang lebih besar terhadap perbedaan dibanding orang Eropa. bukankah our great-great grandfather kita yang katanya pelaut itu adalah orang-orang kepulauan yang dari awal sudah terbiasa dikunjungi orang-orang rambut jagung atau yang matanya sipit atau yang kulitnya keling ? pastinya cuma orang-orang berhati hangat yang bisa membuat orang-orang asing itu mau datang dan datang lagi untuk berdagang, beranak pinak sampai suatu saat muncul ide bagaimana kalau kita jajah saja orang-orang baik hati ini ? he he he

Dan kalau bicara masalah penjajahan, maka mengeruk kekayaan Indonesia secara gila-gilaan untuk mengisi kas negara Belanda, bukanlah hal yang terburuk. Yang terburuk dari peninggalan 350 tahun itu adalah rusaknya sistem kehidupan dan budaya bahari Indonesia, rusaknya mentalitas dan kepercayaan diri bangsa kita. Dan itu .... saya yakin tidak akan pernah terbayar, sebanyak apapun mereka merogoh kantung untuk mengongkosi orang Indonesia untuk kuliah di Belanda. Kalau ingat betapa 'dalam' kerusakan yang ditinggalkan, pastinya sakit hati lah, tapi rugi dua kali kalau dalam sakit hati tidak bisa mengambil kebaikan, bukan ?