Saturday, March 18, 2006

Kenalan Baru

Waktu mobil kami tiba didepan rumah orangtuanya, wajah indo-nya yang khas sudah bersinar cerah di depan jendela. Kalau di Indonesia, anak perempuan secantik ini mungkin sudah ditawarkan orangtuanya untuk jadi bintang iklan. Namanya siapa ? tanya saya "Laura." jawabnya malu-malu. Usianya baru sepuluh tahun dan duduk di kelas enam. Bahasa Indonesianya, seperti umumnya anak Indo, bahasa indonesia yang baku dan patah-patah. Adik laki-laki kecilnya baru berumur sekitar satu tahun. Namanya Nurul. dengan pipi tembam dan wajah bule, lucu sekali mendengar dia bicara "ndoong"(gendong).

Orang tua mereka, kak Lena dan Frank kenalan baru kami. mereka tinggal di pelosok Gulpen, sekitar dua puluh kilometer dari Aachen. Kak Lena orang Bangka Belitung yang sudah hampir lima belas tahun tinggal di Belanda. Pertemuannya dengan host family saya benar-benar merupakan sebuah hal yang menggembirakan buat kak Lena. waktu pertama kali bertemu, dia sampai menangis dan tak henti-hentinya berkata, doa saya akhirnya dikabulkan.

katanya dia udah lama cari-cari orang Indonesia yang muslim, yang bisa mengajaknya untuk kumpul-kumpul ikut pengajian. belasan tahun tinggal di Belanda, terpisah dari akar kehidupan dan keyakinannya, siapapun pastinya gelisah. Melihat kami yang berjilbab, kak Lena bilang bahwa dulu dikampunganya diapun memakai jilbab dan disini dia ingin sekali bisa memakai jilbab lagi. "Kalau kami tinggal dikota tidak jadi masalah, banyak muslim disana. tapi dikampung kecil seperti ini susah sekali. mereka tahu Frank dari kecil dan tidak ada yang tahu kalau Frank sudah masuk Islam. yang tahu cuma keluarga aja." Saya ingat waktu masuk ke 'kampung' ini, orang-orang tampak berbondong-bondong baru keluar dari gereja. Sesuatu yang sangat jarang saya lihat di Maastricht. Saya pikir saya bisa mengerti kekhawatiran Kak Lena. Pastinya jadi muslim dalam komunitas kecil yang taat seperti ini sama rasanya seperti menjadi orang kristen di kampung kecil di minangkabau atau di aceh sana.

Laura juga ingin pakai jilbab, kata kak Lena. "Suatu hari dia tanya, mama bagaimana kalau nanti kita mati tidak pakai kerudung?". Tapi mamanya lebih memilih untuk meminta dia bersabar dulu.Khawatir pada reaksi teman dan orang-orang disekelilingnya. Waktu bulan puasa kemarin, kata Kak lena, teman-teman Laura tidak ada yang tahu kalau selama sebulan itu dia puasa. Suatu hari pulang dari sekolah, Laura mengadu pada mamanya. Katanya ada pemutaran film disekolah tentang muslim dan teman-teman menertawakan cara shalat orang Islam yang 'nungging-nungging'. Tidak ada muslim yang Kak lena kenal? ada, tapi yah mereka sudah jadi orang Belanda, sudah beda sekali. Kalaupun ada kumpul-kumpul yang ada cuma gosip, keluhnya.

Sambil mendengar mamanya bercerita, sesekali saya memergoki Laura menatap saya. Kemudian, kalau sudah kepergok seperti itu dia akan tersenyum malu-malu dengan dua lesung pipit di pipinya. "Kapan-kapan kalau kita ngaji lagi, Laura diajak saja ya Kak." kata saya. Waktu pulang saya cium pipi gadis kecil itu sambil berkata "Assalamualaikum", dengan cerah Laura menjawab "wa alaikum salam". Entah, saya punya keyakinan dia, mereka, pastinya merindukan doa sederhana semacam itu. Saya ingat pupil mata saya tiba-tiba rasanya selalu membesar setiap kali ada yang menyapa dengan salam. entah tukang sapu di stasiun, entah orang yang sekedar papasan dan kemudian mengucapkan salam, lalu bertanya "You are moslem?" saya akan bilang "Yes, I am, alhamdulillah" lalu dia juga akan bilang "alhamdulillah" lalu ngeloyor pergi lagi.

Seusai makan malam, sekeluarga mereka mengantar kami keluar. Berdiri di halaman, ditengah malam musim dingin. Waktu mobil kami memasuki tikungan, saya masih sempat melihat Laura melambai-lambaikan tangan.

Sampai dirumah, berbaring sambil menatap kegelapan langit dari jendela kamar, saya terpikir tentang mereka. Hidup dalam lingkungan terpencil semacam itu di Belanda. Ditambah lagi tidak familiar dengan internet, fasilitas yang sebenarnya bisa mengenalkan mereka pada silaturahim di alam maya, membuat mereka terkucil dari komunitas muslim lainnya di Belanda. Saya berpikir tentang Laura dan adiknya. Lalu membanding-bandingkan dengan anak-anak muslim lainnya di Indonesia. rasanya begitu mudah untuk belajar untuk menemukan dan mengenal konsep-konsep keislaman. Di buku cerita, di CD, di madrasah, dimushalla, di sekolah, di rumah, di televisi (kalau lagi 'beres').

Mudah sekali tampaknya 'menemukan' Allah.

Dalam keterkucilan dan keawaman semacam itu? saya berharap semoga Dia menjaga dan membantu mereka menemukan-Nya.

No comments: