Friday, March 10, 2006

curhat soal RUU anti pornografi

Ini gara-gara postingan soal pro-kontra RUU anti pornografi dan pornoaksi ...

Waktu kuliah dulu, saya masih ingat betapa terheran-herannya saya sebagai mahasiswa komunikasi massa ketika membandingkan betapa 'liberal'nya media Indonesia dan betapa 'konservatif" nya media Amerika berkaitan dengan soal peraturan perundangan materi pronografi. Contoh sederhananya akses pembelian terhadap majalah dewasa seperti Playboy dibatasi dan diatur dengan ketat. Bandingkan dengan Indonesia mana siapapun dengan mudah membeli media dengan muatan dewasa (masih ingat kan kondisi di lampu merah atau diperempatan jalan di Jakarta? come on .. berapa tahun sih udah ninggalin Indonesia?)

teman saya yang berkerja sebagai konsultan di Pusat Krisis Terpadu RSCM sampai geram dengan banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak yang harus dia hadapi. Dan pedihnya itu banyak dilakukan oleh orang terdekat (tetangga, om, teman) dengan salah satu alasan pemicu biasanya karena terangsang oleh VCD porno. Dan ini bukan isapan jempol dengan dalih "tergantung siapa yang nonton, kalau udah ngeres ya ngeres aja" kita bukan bicara soal kita, sepersekian persen masyarakat Indonesia yang terdidik tapi kita bicara soal 200 juta masyarakat Indonesia lainnya yang terdiri dari anak-anak, abg, orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan ga beres di Indonesia yang ga menjamin seseorang bisa mengendalikan diri untuk melakukan perbuatan yang diterima atau tidak diterima di masyarakat.
.
Tentu tidak ada yang suka dikekang, tapi siapapun yang tahu betapa kacau balaunya arus informasi yang berkaitan dengan muatan pornografi di Indonesia, pasti sadar bahwa hal ini butuh sebuah regulasi. Amerika sebagai negara yang kita jadikan acuan (herannya banyakan yang jelek2nya) sudah lama sadar akibat yang ditimbulkan dari ketiadaan peraturan dalam hal ini.

Tentu kita bisa bilang setiap orang punya kebebasan berekrpresi, tapi kemerdekaan berekspresi yang dalam pelaksanaannya melanggar hak orang lain adalah penghinaan terhadap arti kebebasan itu sendiri. Kita butuh sebuah peraturan yang memastikan setiap orang bisa mendapatkan haknya tanpa harus melanggar hak-hak orang lain.

Hak orang lain ini bisa berarti hak bagi orang tua untuk membesarkan anak dalam lingkungan yang sehat secara sosial, hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang baik.

Munafik ? well, setiap orang pasti pernah--maaf-- kentut, tapi apakah orang yang kentut di kamar mandi dalam rangka tidak mengganggu orang lain dalam sebuah ruangan akan kita bilang munafik ?(mengacu pada tudingan munafik yang selalu diajukan pada mereka yang menentang pornografi-- "kayak lo nggak suka aja ama seks")

saya yakin ini regulasi dalam hal pornografi di Indonesia akan jadi agenda siapapun yang peduli terhadap keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah masyarakat. agenda orang tua, mereka yang akan jadi orang tua (saya contohnya =b) agenda dokter dan praktisi kesehatan yang prihatin dengan semakin merebaknya kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dan seperti seorang teman bilang yang jelas ini bukan agenda para kapitalis, para artis, pengusaha entertaimen, pemilik saham Playboy dan pengusaha VCD bajakan di glodok sana (semoga Allah mudahkan para penguasa mencarikan mereka jalan keluar mencari rejeki yang halal dan berkah)

yang harus kita lakukan saya pikir adalah mengawal proses penggodokan RUU itu jangan sampai jatuhnya pada pengaturan 'hal-hal nggak jelas", "hal-hal nggak penting" dan "hal-hal nggak essensial" yang selama ini jadi kebiasaan mereka yang punya otoritas dalam membuat "hal-hal beginian". sehingga tidka sampai menyentuh hal-hal yang levelnya teknis dalam keseharian. UU ini harus Lebih dari sekedar mengatur apakah pegangan tangan atau ciuman di muka umum dilarang atau tidak (itu mah hal ecek-ecek pak dewan). Kita juga harus bisa memastikan bahwa UU ini juga punya kesensitifan terhadap kultur Indonesia yang drai sananya sudah beraneka ragam, beraneka nilai.

Tapi toh darii semua keaneka ragaman itu, pastinya ada hal-hal yang bisa kita sepakati, antara lain kita ingin agar kelak kita bisa jadi bangsa yang bermartabat.

gitu deh curhatnya ...
jadi, regulasi soal pornogarfi ? yah..., karena saya ingin suatu saat anak saya bisa tumbuh dalam lingkungan yang sehat maka saya bilang: itu perlu!

4 comments:

Anonymous said...

Bahwa dampak negatif eksploitasi liberalisasi media oleh pengusaha media erotis untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya dari kalangan warga Indonesia yang masih belum melek media sehingga menyebabkan pergeseran norma susila ke arah negatif, gue setuju. Tapi lebih dari itu, gue masih mikir-mikir dulu. Apalagi sampe mentah-mentah menerima atau menolak RUU APP. Ketika gue belum mendapat teks resmi RUU APP yang sedang diproses DPR.

Ngomong-ngomong teks RUU APP, sejauh ini gue cuma dapet teks draft RUU APP yang ada di blog JiwaMerdeka. Jiwamerdeka notabene bersudut pandang menolak teks RUU APP, jadi tentu naif kalo menerima tanpa konfirmasi bahwa teks RUU APP di blog mereka itu memang adalah RUU APP yang lagi pengen di-golkan oleh DPR. Sejauh ini gue belum mendapatkan sumber teks draft RUU APP lainnya.

Tin, kalo lu ketemu sumber teks draft RUU APP lainnya bilang-bilang ya. Kalo bisa dapet dari sumber kenegaraan resmi, seperti misal dari rumah tangga DPR-RI, tentu lebih baik lagi. Setelah gue baca lebih lanjut, baru gue berani nge-post tanggapan gue terhadap tulisan lu (gue udah nyoba nulis beberapa kali sih, tapi tiap kali gue baca tetep aja nggak jauh lari dari editorial Jakarta Post yang satu ini ^_^')

solilokui said...

setuju fer, makanya gue bilang kita harus aktif buat mastiin RUU ini jatuhnya ngatur hal-hal yg ga substantif, yg ga nyentuh persoalan. mendukung kan bukan berarti mendukung bulat2 sama halnya menolak bukan berarti menolak buta kan ? Berdasarkan pengalaman negara kita, begitu bukan biasanya kalau pemerintah bikin peraturan ? kalau ga menyelesaikan masalah, ya lemah dalam soal implementasi, ga konsisten.
gue cuma setuju pada intinya perlu ada regulasi soal itu.
perkara menolak atau mendukung, mudah2an selama titik tolaknya adalah kepentingan bersama,mudah2an bisa ketemu. ngerti sekali kok pada kekhawatiran2 yg muncul, sayangnya pemerintah ga punya ketrampilan komunikasi ke publik yang bisa menjernihkan polemik dan segala prasangka.
gue ingat aja sih bahwa kebebasan yang kebablasan bisa jadi ancaman buat kebebasan itu sendiri. Contohnya ya media2 syur itu.Bisa jadi gara2 itu ujung2nya muncul regulasi yang kemudian mengancam kebesan pers itu sendiri.
oke, sama2 nyari yah, ditunggu tanggapan yang pastinya memperkaya.
salam hangat!

Anonymous said...

Attin...postingan ttg RUU ini gak didaftarin ikut lomba Best Entry IMB? Bagus loh untuk diketahui khalayak yg lebih luas. (tengok http://blog.muslimblog.net)

Anonymous said...

Keep up the good work »