Wednesday, January 25, 2006

ekonominya kesehatan ...

Berjalan dalam pagi yang hampir membuat hidung saya beku, ada kesyukuran yang menyelinap halus dalam diam. Tidak terbayang bagaimana rasanya jika masih harus bersepeda menyeberangi sungai atau menunggu bis dalam cuaca seperti ini. Sekarang hanya butuh sepuluh menit berjalan (ala Belanda) dari rumah ke kampus. Gym unimaas juga sama dekatnya. Bisa ikut aerobik atau bulu tangkis seminggu dua kali. Hmm... kalau begitu terus-terusan kemungkinan saya balik ke Indonesia dengan perut kotak-kotak nampaknya besar sekali, yah ?

Unit yang baru sudah dimulai. Tentang economic analysis of health care system. Walaupun tentunya punya peran yang vital, tapi secara personal ini unit non-favorit kedua setelah epidemiologi buat saya. Kuliah pertama diberikan oleh koordinator unit ini, Prof. Wim Groot. Saya pikir sebagai kuliah awalan saya akan dapat sesuatu yang lebih fundamental seperti bagaimana hukum ekonomi memainkan perannya dalam pelayanan kesehatan. Tapi ternyata beliau lebih banyak bicara masalah imbas (impact=imbas ?) ekonomi terhadap sektor pelayanan kesehatan.

Ideal. Jelas banget. Lihat aja aktor yang terlibat; pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan perusahaan asuransi. Maka pasar (market) dalam ekonomi kesehatan adalah interaksi dari ketiga aktor tersebut. Dan sistem pasar ini bisa mengalami kegagalan ketika terjadi perbedaan kepentingan antar aktor yang terlibat atau dikarenakan ketidaklengkapan atau informasi yang tidak simetris antar aktor. Entah apakah dalam relasi pasien-pelayanan kesehatan, atau pelayanan kesehatan-asuransi, atau pasien-asuransi.

Contohnya begini; sebagai pasien tentu yang diharapkan adalah pelayanan kesehatan yang optimal. Penyedia pelayanan kesehatan punya kepentingan untuk memberikan pelayanan sekaligus tetap bisa mengambil keuntungan, sementara pihak asuransi punya kepentingan untuk mempertahankan klaim serendah mungkin.

Untuk pihak asuransi, kegagalan pasar terjadi dalam bentuk adverse selection (seleksi kepentingan) dan moral hazard (kecurangan kali ya?) yang berupa tindakan curang atau informasi yang disembunyikan. Adverse selection itu terjadi sebelum kita sebagai konsumen membeli sebuah produk asuransi. Misalnya, karena saya merasa sehat, masih muda, makan teratur, rajin olahraga, baik hati pula, maka saya merasa tidak perlu untuk memiliki asuransi. I will voluntarily refuse to joint in an insurance. Atau justru misalnya karena kita penderita AIDS atau punya potensi terkena diabetes secara keturunan, kita akan memutuskan untuk punya asuransi.

Tapi moral hazard itu terjadi setelah kita memutuskan untuk membeli asuransi. asumsinya bisa dilihat dari sebuah penelitian bahwa pengemudi Volvo itu cenderung punya kebiasaan mengebut (kecelakaan) dibanding mereka yang naik mobil biasa-biasa aja (fiat, misalnya). Faktor kenyataan bahwa Volvo adalah sebuah mobil yang diklaim punya tingkat keamanan yang tinggi, nilai klaim asuransi yang besar, jadi faktor pemicu yang signifikan terhadap perilaku pengemudi.

Adverse selection ini bisa menimbulkan kesulitan bagi perusahaan asuransi karena ... (hmm.. gimana yah dia bilangnya..) harga asuransi itu sama untuk setiap konsumen (involved cost), sementara perusahaan asuransi tidak tahu secara pasti berapa pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan untuk tiap individu (expected cost). Karena asuransi itu pada dasarnya adalah berbagi beban, tentu saja ini bisa mengakibatkan beban besar pada pembiayaan kesehatan yang ditanggung asuransi (preminya juga jadi besar). Cara mengatasinya bisa dengan menerapkan compulsory insurance sebagaimana yang terjadi di Belanda, dimana tidak punya asuransi adalah sebuah pelanggaran hukum, atau bisa juga membuat paket-paket asuransi dengan harga yang berbeda untuk pasar usia, kelompok, yang berbeda.

sementara moral hazard dalam skema asuransi muncul dalam bentuk pengabaian terhadap tindakan preventif dalam kesehatan atau bisa juga dalam pemborosan pelayanan kesehatan. Tindakan ini bisa muncul dalam situasi dimana ada konflik kepentingan, ada potensi keuntungan dalam relasi 'perdagangan' jasa kesehatan, dan ada biaya besar yang harus dikeluarkan dalam mencari informasi yang relevan dengan kondisi konsumen asuransi. Maka solusinya yang pertama tentu mengalokasikan dana untuk pengawasan perilaku, ada juga dengan yang namanya risk sharing- and partial insurance (co-payments) atau dengan reward di masa akhir perjanjian berupa bonus bagi konsumen ketika tidak ada klaim atau minimum klaim selama masa perjanjian.

moral hazard juga bisa terjadi dari sisi penyedia jasa kesehatan. Sebagai pihak yang paling tahu tentang kondisi pasien, moral hazard bisa terjadi dalam bentuk intervensi medik yang tidak perlu. Maka untuk mengontrolnya, kita perlu melihat pada skema pembayaran tenaga medik yang digunakan.

Selama ini, ada tiga jenis sistem pembayaran yang digunakan; fee for services (apa bahasa indonesia gampangnya ?), kapitasi dan gaji. Ada beberapa keuntungan dan kerugian dalam skema pembayaran ini. Yang ffs misalnya. keuntungannya adalah adanya insentif untuk produktifitas physician a.k.a dokter, penghargaan secara finansial-lah. Kerugiannya bisa mendorong dokter untuk melakukan intervensi medik sebanyak mungkin, membuat dokter tergoda untuk melakukan intervensi medik seorang diri tanpa me-refer pasien ke pelayanan lanjutan, pada akhirnya kuantitas yang dinilai, bukan kualitas. Sistem semacam ini yang bisa membuat anda dan saya sebagai pasien, cuma kebagian lima menit bahkan kurang untuk curhat pada orang asing berjas putih itu tentang hal-hal pribadi. Sementara kita sebagai pasien dituntut untuk pintar berkeluh kesah dalam waktu sesingkat itu, membedakan mana yang batang (keluhan utama) dan mana yang cabang (keluhan sampingan) in order he can see what's wrong with you.

Lalu ada sistem kapitasi. Dimana yang jadi ukuran adalah pasien. Contohnya di Belanda, setiap huisarts (GP) punya jatah untuk menangani pasien dalam jumlah tertentu dengan jatah harga pengobatan (plafon) tertentu dari asuransi. Setiap orang terdaftar sebagai pasien pada seorang arts (dokter). Saya punya dokter sendiri dimana ketika saya sakit, ke dokter itulah saya datang. Bahkan ketika saya dalam keadaan emergensi datang ke rumah sakit secara go-show(Ini cuma bisa dilakukan setelah jam lima sore atau pada akhir pekan), dokter dirumah sakit tetap akan merefer saya untuk kembali dulu ke GP pada akhirnya setelah memberikan pertolongan seperlunya.

Keuntungannya adalah secara administasi ini sistem yang sederhana untuk dimasukan dalam budget pemerintah atau perusahaan asuransi, juga jadi keuntungan bagi dokter yang melakukan tindakan berbeda (tidak semua tindakan dihitung secara terpisah). Negatifnya adalah mendorong untuk mengumpulkan pasien sebanyak mungkin dan juga mendorong dokter untuk melakukan tindakan seminimal mungkin dan merujuk ke pelayanan lanjutan secepat mungkin (toh, mau dikasih tindakan banyak atau sedikit, dapatnya sama aja).

Lalu ada skema penggajian. Secara administratif dan budget ini mudah dan sederhana. Tapi negatifnya lebih banyak dibandingkan yang lain, dalam skema semacam ini, dokter-dokter bisa tergoda untuk lebih abai lagi karena tidak ada insentif untuk menjamin ketersediaan pelayanan yang mencukupi dari dokter, mendorong dokter untuk melakukan tindakan medik seminimal mungkin, kemungkinan mendorong dokter untuk merujuk pasien ke pelayanan lanjutan juga lebih besar dan yang paling menyedihkan adalah tidak relasi antara 'prestasi' dengan reward bagi dokter.

jadi bagaimana untuk mencapai 'neraca keseimbangan' pasar dimana kondisi itu diartikan sebagai jaminan tersedianya pelayanan yang optimal bagi pasien (kepentingan pasien) dengan biaya yang memuaskan semua pihak (jasa kesehatan-asuransi-pasien) ? ini kan artinya sama saja dengan tidak ada intervensi medik yang berlebihan, tapi juga tetap ada intervensi medik yang dibutuhkan. Tahu kapan waktunya merujuk pasien ke pelayanan lanjutan dan tahu kapan saatnya untuk tidak, dan tentunya kualitas pelayanan kesehatan yang optimal.

maka katanya (Prof.Wim Groot), sistem yang optimal itu merupakan perpaduan dari skema kapitasi (fixed amount per patient) dan fee for services. Kombinasi kedua sistem ini diharapkan bisa menjamin pelayana kesehatan yang optimal. Kapitasi akan mendorong dokter untuk melakukan sesedikit mungkin tindakan dan mendorong rujukan, sementara fee for services mendorong dokter melakukan sebanyak mungkin tindakan dan seminimal mungkin aktifitas rujukan. Sistem kesehatan di Belanda menggunakan kombinasi ini. Misalnya, secara sederhana seorang GP mendapat bayaran sekitar 45 euro per year per patient dan 9 euro per tindakan.

Hmm... dari situ salah satu dasar darimana datangnya tindakan 'konsultasi kejar setoran' atau 'merujuk yang ga penting' yang selama ini banyak kita alami. Ini yang namanya permasalahan sistem. Saya tidak familiar dengan terminologi yang dipakai di ilmu kedokteran. Tapi untuk Eropa, nama Kleinman adalah nama yang populer sebagai orang penting dalam kedokteran yang mengembangkan doctors-patient relationship. Saya bisa bayangkan betapa terdengar sangat idealnya itu di bangku kuliah tapi tidak ketika duduk menghadapi pasien dalam sebuah sistem ekonomi yang tidak tepat.

Jadi ingat juga dengan tempat kerja saya. Indonesia bisa dibilang adalah pasar kesehatan yang tidak lengkap.Mungkin bagi pasien kami, tempat kami adalah sebuah insurance yang tidak mungkin mereka bisa raih dalam kondisi biasa. Ketidaktahuan, antusiasme (?) bisa membuat seorang pasien datang sebulan sekali atau dua kali ke klinik dengan keluhan yang ga jelas. Dengan pasien sebanyak itu saya akan apresiate (eh,ini bahasa indonesia bukan?) sekali pada mereka yang berusaha bertahan untuk meberikan pelayanan secara sungguh-sungguh. Tapi jadi penasaran juga sih, kemarin-kemarin kok kayaknya angka rujukan dan kunjungan yang tinggi jadi semacam 'modal' untuk unjuk gigi seberapa besar tingkatan pencapaian yang sudah dilakukan. Hmm... mudah-mudahan memang karena kasusnya memang harus dirujuk.

*oaahm.. bobok ah...*

Oke ini lanjutan yang kemarin, tapi saya pikir skema pembayaran kombinasi ini bisa dicoba di LKC. Mengingat ada kondisi dimana fixed income mungkin dah mulai tidak sebanding dengan jumlah kepesertaan yang terus meningkat. Setiap pasien dapat jatah first fisit untuk datang satu bulan sekali misalnya--kecuali emergensi, atau berdasarkan pemantauan dokter memang butuh datang lagi setelah kunjungan pertama, dan mungkin untuk beberapa kasus penyakit--tbc ? diabetes ? dunno (butuh analisa epid dan hitung-hitungan yang lebih valid buat tahu angka kunjungan ideal, tapi ini kan andaikan), dalam satu tahun. Kebijakan ini gunanya agar kongruen dengan program edukasi promotif dan preventif, memberikan informasi kesehatan yang peka kultur (butuh community assesment dulu untuk dapat gambaran sosial demografi yang lengkap--optimalisasi tim survey dan kepesertaan--n baca lagi unit 1 soal community assesment dan unit 2 soal research methodology) untuk bisa secara bijak memanfaatkan pelayanan pengobatan dan berperilaku hidup sehat secara bersamaan (hmm,... perlu baca lagi masalah critical anthropology di unit kemarin). Entah, mungkin harus ada pembagian kategori pasien berdasarkan waktu berobat (adopsi dari sistem kapitasi dimana dokter bertanggung jawab atas sejumlah pasien yang terdaftar sebagai pasiennya) sehingga tiap dokter jaga (pagi-siang-malam) bisa memantau kondisi pasien lebih intensif. juga untuk menghindari kejomplangan jumlah kunjungan ? is it a good idea ? atau malah jadi rumit ? terus bagaimana dengan skema pembiayaan dengan asuransi keluarga miskin ? hmmm...gimana kalau konsultasi sama Anya soal kemungkinan ini jadi salah satu usulan master thesis ?