Monday, January 16, 2006

dari sebuah kuliah

Beberapa hari yang lalu, ada dosen tamu datang ke Maastricht. Namanya Prof. Martin McKee. Beberapa tulisan maupun hasil penelitiannya banyak dipakai dalam literatur yang kami gunakan. Dia datang ke Maastricht berkaitan dengan penganugerahaan doktor honoris causa dari unimaas di ulangtahun unimaas yang ke-30.

Karena kuliahnya tentang review kondisi kesehatan masyarakat di Eropa, Prof.Hans Maarse dan Prof. Jan van der Made yang jadi lecture dan tutor di unit health policy analysis ini ngewanti-wanti kami semua untuk datang. Jadi datanglah kami semua ke sana. Hmm.. ternyata masih muda juga profesor McKee itu. Bayangan saya tentang professor itu kan idealnya yah setua dan sewaskita Hans Maarse atau Jan vd Made lah. Anyway, kuliahnya ternyata tentang gambaran umum permasalahan kesehatan yang muncul di Rusia pasca glastnots dan peresteroika atau dengan kata lain setelah bubarnya Uni Soviet. Terutama sih soal konsumsi alkohol dan surrogate alkohol yang tumbuh jadi penyebab kematian yang signifikan di Rusia sekarang.

Menarik juga, tapi saya pikir penjelasan beliau dalam waktu yang singkat itu menggunakan perspektic biomedik yang kental. Saya sendiri dalam kepala lebih tertarik untuk tahu kenapa permasalahan ini bisa muncul jika dikaitkan dengan perubahan dalam aspek politik, sosial kultural yang terjadi di Rusia. Karena sedikit banyak, saya pikir ada kesamaan kondisi antara Rusia dan Indonesia. Dua-duanya ada dalam pergulatan sosial yang berefek pada kondisi kesehatan masyarakat yang tidak menggembirakan. Rusia jadi topik penting bagi masyarakat Uni Eropa mengingat posisinya sebagai tetangga terdekat dan ketergantungan gas orang Eropa pada Rusia.

Hal menarik lain dari kuliah itu adalah kentalnya nuansa ide eropa sebagai suatu nation di bawah EU. Baru sekarang ini saya sadar bahwa dalam homogenitasnya, Eropa, bagaimanapun punya aspek multicultural didalamnya. Kenyataan bahwa ada kehadiran komunitas migranTurki, Maroko, Afrika, dalam jumlah yang signnifikan di Eropa, sementara dalam waktu bersamaan masyarakat Eropa sendiri kesulitan menerima mereka sebagai orang Jerman,Belanda, Perancis, jadi sebuah pe-er besar bagi UE. Kenyataan bahwa ketertinggalan masyarakat kawasan selatan dan timur Eropa dibandingkan dengan mereka yang di Utara jadi proyek besar. Jadi ingat sama regulasi prioritas orang uni Eropa dibandingkan dengan orang non EU. Jadi gini sederhananya, di Belanda kalau ada sebuah perusahaan cari karyawan, maka yang jadi prioritas adalah orang Belanda. Kalau ga ada orang Belanda yang layak untuk posisi itu, prioritas selanjutnya adalah orang dari negara-negara Uni Eropa. Kalau ga ada juga, baru orang diluar UE. Setelah diterima, perusahaan pun harus memberikan bukti pada negara bahwa dia sudah menghabiskan waktu sekian bulan mencari orang Belanda dan orang UE, tapi ga ada yang cocok, dan cuma mas dari jawa ini (misalnya) yang paling cocok dengan yang mereka inginkan. Pemberlakuan Euro tentu saja salah satu policy dalam mengkatrol ketertinggalan ekonomi negara eropa di kawasan tertinggal.

Saya jadi terpikir duh, asyiknya kalau orang Asia Tenggara dengan ASEAN-nya itu bisa kompakan seperti UE itu, enak kali yah. Yah, maju bareng-bareng selalu lebih elegan dibanding mengangkat hidung sendirian kan, bukan begitu Pak Cik ? mungkin ga yah, negara-negara di Asia Tenggara itu kelak bisa kuat kembali dengan jati diri dan kultur kebahariannya. Dengan keyakinan, nilai dan budaya yang unik, eksotik, diakui dalam pergaulan internasional sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan politik yang diperhitungkan. Dulu itu termasuk mimpi para pendiri ASEAN ga yah ? Kalau saja waktu bisa diputar kembali, kita lupakan saja ide berhutang dan bersikukuh dengan go to hell with your aid-nya Soekarno, coba Soeharto itu tahu kapan waktunya mundur dari permainan politik, lalu memilih cara halus jadi menteri senior saja seperti Lee Kuan Yew, coba dan andaikata ...mungkin petani kita bisa jadi petani kaya seperti di Bonanza itu. di subsidi habis-habisan tanpa harus berpikir tentang membeli pupuk mahal, jadinya tidak ada cerita balita mati karena malnutrisi seperti di tanah Gora itu. Mungkin nelayan kita bisa jadi nelayan yang kaya sehingga tidak perlu pakai formalin untuk mengawetkan tangkapannya sehingga kita jadi lebih familiar dengan hasil laut dan mampu menyebutkan setidaknya tujuh jenis ikan tanpa harus menyebut ikan teri dan ikan asin sebagai salah duanya.

hey, berkhayal tidak dilarang bukan ?

Kembali ke kuliah Prof.Martin, di akhir sesi diskusi, Prof.Hans yang jadi moderatornya mengajukan pertanyaan yang jawabannya masih menggantung dibenak udara setiap praktisi kesehatan masyarakat. Lalu apa setelah semua penelitian itu ? karena kesehatan masyarakat semestinya tidak berhenti pada penemuan scientific tentang bagaimana tinggi rendahnya konsumsi alkohol berelasi pada kasus sirosis disebuah negara. Kerja besar selanjutnya adalah bagaimana penemuan-penemuan ilmiah itu bertransformasi menjadi sebuah kebijakan kesehatan yang strategis. Duh, kebayang-nya ngeri banget. Disitu lahan mainnya tentu aja sudah menyentuh lobby terhadap kebijakan politik, kepentingan ekonomi yang level-nya makro-makro (sementara saya anak kemarin sore gitu looh).

Makanya, tiap kali ada pertanyaan habis apa setelah ini, jawaban saya definit, insya Allah kembali ke LKC. saya pikir itu akan jadi ajang yang bagus untuk latihan, exercice of power, exercise of knowledge dalam dunia yang real. Walaupun, terus terang saya masih terus bergulat dengan ide kosong tentang bagaimana merealisasikan semua yang saya dapat disini jadi sebuah karya yang bisa menghasilkan manfaat secara nyata di tempat itu.

fiuh, doain aja yah

No comments: