Friday, January 20, 2006

Clara Ejoru

"My name is Clara Ejoru, i come from Moyo, Uganda." berkulit hitam legam, wanita bertubuh mungil itu tersenyum malu-malu menampakkan barisan gigi putihnya. Usianya sudah pertengahan 50-an. Hanya beberapa tahun lebih muda dari ibu saya. Seumur itu, rata-rata ibu-ibu yang saya kenal sudah berpikir tentang naik haji, hidup tenang bersama cucu, dan bukan terbang ribuan mil jauhnya, dari negara dimana komputer cuma ada kantor pejabat ke sebuah negara dimana sekedar janjian ketemu harus diatur lewat email, buat belajar lagi jadi master.

Itulah makanya, dalam perjumpaan pertama, kami yang dari Indonesia dengan terus terang bilang pada Clara bahwa kami sangat kagum dan respek pada keberadaannya. Tak peduli betapa ketinggalan jaman atau kelihatan miskin dirinya dengan sendal sepatu murah yang dia pakai.

Clara belajar keras. tidak hanya untuk kuliah tapi juga untuk bertahan hidup di negeri datar ini. dia tinggal di perpustakaan lebih lama dibanding kami yang masih muda-muda. kalau akhir pekan kami jalan-jalan atau sekedar bersenang-senang, Clara memilih tinggal di kamar atau pergi ke perpustakaan hingga tutup. Belanda tidak terlalu bersahabat buat Clara. Dari hari pertama kedatangannya, dia tidak bisa tinggal di Guesthouse karena dia tidak bisa melakukan aplikasi via internet dari kampung halamannya. Pihak kampus akhirnya bisa meloby Hotel Randwijk untuk memberikan dia kamar. Tentu saja dengan harga yang memakan habis hampir tiga perempat uang beasiswanya. Pada saat bersamaan, di kampung halaman ada anak yang menaruh harapan besar pada dirinya. Sisa uang beasiswa habis dikirim untuk membangun rumah mereka yang belum selesai, dan hanya tersisa sedikit saja untuk sekedar bertahan hidup.

Kami begitu menyayanginya. Elida mengajarkan bagaimana menggunakan email, mengetik dengan menggunakan word, membantunya lebih familiar dengan komputer, Astri sering menghadiahi masakan lezat, Beni membimbingnya belajar SPSS. Melihat sepatu sendalnya, saya lepas sepatu sneaker saya yang nyaman dan hangat dikaki buat dia. Suatu hari, Elida memberi tahu bahwa di kamarnya ada baju-baju hangat peninggalan mba Astrid (mahasiswa tahun lalu) untuk saya. Tapi akhirnya kami putuskan bahwa Clara lebih butuh. Dan rasanya hati kami sudah cukup hangat melihat binar dimatanya ketika memilih baju-baju tersebut, "Oh God bless Indonesia, how can I say thank you ?" lalu kami bilang, kalau besok minggu kamu ke gereja, bilang terima kasihnya sama Tuhan aja.

Lewat rencana Allah, akhirnya ada kamar di sebuah rumah yang letaknya dekat sekali dengan kampus. Akan sangat ideal untuk Clara yang tidak bisa naik sepeda dan tidak bisa berjalan jauh sekuat kami. Dengan hati berbunga, saya menemaninya menemui landlady dan menandatangani kontrak. dengan harga sepertiga dari yang ia bayar untuk Hotel Randwijk, saya bayangkan akan ada banyak mimpi yang bisa ia wujudkan di kampung halaman.

Diakhir masa liburan, bulak-balik kami bersepeda mengangkuti barang-barang dari Randwijk ke tempat barunya. Juga sukses membujuk Bang Hasanul untuk membantu mengangkut kopor dan barang besar dengan mobilnya. Now, everything will be just fine for her, pikir saya. "Kita akan tinggal dekat sekali, Clara. Kalau ada apa-apa saya akan mudah menghubungi kamu," kata saya. Bersamaan dengan itu, dia mulai mengeluh sakit. Mulai dari athlete foot, batuk ringan, anemia sampai kenyataan yang dia bawa dari Uganda, malaria.

Dan tiba-tiba semua berjalan begitu tidak seperti yang diharapkan. sistem kesehatan disini yang berjalan pada notion pengobatan seminimal mungkin, perawatan berdasarkan pemintaan pasien, berbenturan dengan kultur kesehatan negara dunia ketiga, membuat semua orang jadi frustasi. Lima kali bulak-balik rumah sakit hasilnya cuma tagihan dan tagihan tanpa pengobatan berarti. Clara bilang "saya anemia, saya malaria," dokter berkata "Anda tidak apa-apa."

Dia semakin lemah. "Kamu lihat Attin, dulu saya berjalan begitu cepat, sekarang saya hanya mampu berjalan pelan-pelan, bagaimana mungkin saya tidak apa-apa?". Beberapa waktu dia mengeluh bahwa dia memuntahkan semua yang dia makan. "Aku berdoa pada Tuhan, bahwa kalaupun aku sakit, setidaknya biarkan aku bisa makan," keluhnya. Saya menggigit bibir saya menahan tangis sambil menyuapinya sepotong demi sepotong pisang suatu malam.

Suatu pagi saya datang dan cuma bisa meringis waktu dia menyambut saya dipintu dengan senyum lebar sambil berkata"Now, here comes the daughter of Allah," lalu dia membimbing saya untuk duduk. "Aku ingin cerita sebuah kisah dari Injil untuk kamu," sebagai orang katolik yang taat, saya tahu bahwa salah satu kesamaan antara saya dan dia adalah tentang bagaimana penghayatan agama dalam kehidupan kami. Air mata saya meleleh ketika dia selesai bercerita. Tak seujung kuku pun saya merasa apa yang saya lakukan bernilai sama dengan kebaikan yang dia ceritakan dalam kisah itu. Saya cuma bisa bilang bahwa kamu, Clara, seperti ibu bagi kami, bagi saya. Dan sebagaimana kami tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada ibu kami, saya pun tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.

Suatu sore, selesai mengikuti kuliah Prof.McKee, dia mengajak saya bicara empat mata. "Ini tentang penyakit saya, saya mau cerita pada kamu tapi saya tidak ingin Anya, Ria atau teman-teman kita tahu soal ini." Dengan napas satu-satu susah payah dia bercerita dan akhirnya saya bilang saya tidak bisa simpan ini sendirian. Pihak fakultas harus tahu, saya takut tidak bisa meneruskan kuliah, dia bilang. prioritas kamu sekarang bukan belajar, tapi sembuh, kata saya bersikeras. Kamu wanita yang berani, kamu terbang ribuan mil jauhnya dari negera kamu untuk belajar, kalaupun akhirnya kamu gagal, itu semua sudah cukup. Kamu sudah berusaha. Kata saya berusaha membujuknya. Kegundahan sore hari itu disambung dengan kepanikan lain. Terlalu lemah, Clara meminta saya mengantarnya pulang dengan sepeda saya. Setelah jatuh bangun dengan sepeda saya yang kecil, akhirnya kami putuskan bahwa saya akan mengantar tasnya ke rumah dan kemudian datang lagi untuk menjemputnya. "You just wait for me inside the library, it's too cold for you to wait outside, okay ?"

Kembali dari rumah, bergegas saya ke perpustakaan. Dia tidak ada. Bulak-balik mengelilingi kampus, ke rumah sakit, kembali ke rumah,dia tidak juga ada. Sementara kunci rumahnya ada di saya. Panik. jelas. Berapa kali dalam hidup kita pernah meninggalkan wanita tua dengan sakit berat dimalam musim dingin. Setelah menghubungi keamanan kampus, saya menelpon Elida dan Astri, "Dia sakit serius, gimana ?!" Akhirnya Astri dan Elida datang. kami putuskan mereka berdua mencari di kampus, saya kembali ke rumah. Siapa tahu dia sudah pulang. Dan disana ... duduk bersandar keletihan dipagar rumah, siapapun bisa menyangka dia 'junkies' yang mabuk berat, dan bukan wanita tua yang butuh pertolongan. "Oh,Clara,Clara I am so sorry, I couldn't find you, Im so sorry ..." saya memberi kabar ke Astri. Beberapa menit kemudian, mereka datang ke rumah untuk membantu. Bersama kami meyakinkan dia untuk jangan memikirkan kuliah, untuk fokus pada kesehatannya.

Esoknya saya datang lagi ke rumah. Clara kelihatan sudah lebih kuat. Tapi pagi itu dia bilang dia kecewa pada saya yang dalam waktu sehari sudah memberitahu orang lain tentang penyakitnya. Saya berkeras pada pendirian saya bahwa saya tahu mana yang harus saya ceritakan mana yang tidak. Dia menutup penjelasan saya dengan keras kepala "Now, this is my life, this is my decision. I am through and there is no one can change it. I will go on Monday to lecture, i will go for the exam." Dengan menahan marah saya tinggalkan dia. Kesal. Tidak tahukan dia betapa khawatirnya saya, kami, tentang dia ? tidakkah sedikitpun dia melihat niat baik dalam tindakan saya. Pagi itu saya tinggalkan dia dengan niatan tegas, baik Clara Ejoru, kalau kamu tidak ingin saya ikut campur, maka baiklah. Saya tidak akan pernah ikut campur!

Tapi senin dia tidak datang. Dan kemarahan saya mencair jadi kekhawatiran ketika sore, selesai kuliah, kami melihatnya di perpustakaan. . Masih dalam sisa-sisa kemarahan, saya berusaha tega dan berkata, kami sudah ke Kringloop hari minggu untuk membeli barang-barang yang kamu butuhkan, semua dibayar dengan uang saya. Ini ada tagihannya. Tapi saya langsung mengeluh dalam hati bahwa seharusnya saya tidak bersikap seperti itu. Dia lemah, bahkan terlalu lemah sehingga kami semua membantunya memakaikan jaket, syal dan tutup kepalanya."Saya temani kamu pulang yah, saya tidak akan naik sepeda, tapi kita jalan saja," kata saya melembut. Dalam perjalanan yang rasanya seabad itu dia berkata, bahwa dia sudah melupakan ide bodohnya untuk terus kuliah,"I think you are right, my health is more important right now." Sampai dirumah, setelah selesai menyiapkan makan malam untuknya, saya berpamitan pulang. Masih berusaha menjaga jarak agar tidak terkesan mencampuri urusan pribadinya dan kemudian meminta maaf."Saya tahu kamu kecewa dengan keputusan saya memberi tahu kondisi mu pada teman-teman kita, tapi Clara, ini terlalu berat buat saya tanggung sendiri. Mereka harus tahu, fakultas harus tahu, sehingga mereka bisa memutuskan langkah terbaik untuk kamu. Saya akan merasa bersalah jika sesuatu yang buruk terjadi dan kami tidak melakukan apa-apa untukmu." dengan lemah dia mengangguk. "I understand, Attin. It's ok. God bless you, God bless you" tutupnya. saya masih merasakan kekecewaan itu.

Selasa pagi, sengaja saya berjalan ke kampus melewati rumahnya. Ragu-ragu saya memandang jendela kamarnya. Akhirnya saya putuskan untuk memencet bel. lima menit. pencet lagi. Sepuluh menit, lima belas menit. tidak ada yang turun membuka pintu. Mungkin dia terlalu lemah untuk turun, pikir saya. Mungkin dia masih marah. Maka saya lupakan Clara beberapa saat.

Rabu siang kembali saya datang. Kali ini yang membuka pintu si Jack, anak ekonomi tahun pertama yang tinggal juga dirumah itu. "Clara sakit, kita mau ke rumah sakit." Bergegas saya ke kamarnya, "I will go to the hospital with Jack, I will tell you what the doctor said, but now let me handle it my self," katanya lemah. Saya hanya mengangguk sambil berkata, tentu, tentu saja. Tapi sebelumnya kamu harus pakai jaket yah. Lihat, ini syal tebal dan topi wol yang kamu pinta. maaf, saya pakaikan yah, mana sepatu mu ? oh itu dia, saya pakaikan juga, ok. Mulut saya mencerocos sambil tangan saya bergerak ke sana kemari memakaikan bajunya dalam kamar yang kini kelihatan kumuh dan berantakan.

Setelah selesai, saya dan jack memapahnya ke bawah. apakah saya ikut ke rumah sakit? tapi ada janji ketemu dengan Mickey untuk SPSS. Akhirnya saya bilang pada Jack, ini nomor saya, kalau dia dirawat kalau ada apa-apa, telepon saya. Tidak yakin dengan keputusan yang saya buat, dengan khawatir saya memandangi Clara yang susah payah bertahan diatas sepeda sambil memeluk pinggang Jack.

Sorenya saya kembali lewat rumah Clara. Pastinya belum pulang dari rumah sakit. Berusaha menghubungi Jack malam itu. dikirimi SMS, di telpon, anak ini menghilang entah kemana. Jumat saya ujian, konsentrasi saja dulu. Kamis pagi saya lewat rumahnya. Tapi hanya memandangi dan kemudian memutuskan untuk melupakan Clara sejenak. Kamis itu habis untuk membaca diperpustakaan. Sorenya kembali lewat rumah Clara. Kali ini memutuskan diri untuk memencet bel. tidak ada yang turun. menelpon Jack. mailbox. Gelisah saya pulang, tapi kemudian melanjutkan untuk belajar.

Dan jumat pagi ini, datang pagi-pagi di tengah jalan berpapasan dengan Jan vd Made. Didalam kelas, saya yang pertama datang. "Did you know already what happen ?" tanyanya "today we having exam in this room, right?"saya balik bertanya. "No, its about Clara. She died last night."

begitu saja.
dan begitu banyak pertanyaan dan penyesalan yang muncul menggayuti air mata. mestinya saya tidak perlu marah, mestinya kami tidak memperdulikan permintaannya dan memberitahu Anya seawal mungkin, atau juga mestinya saya tidak membuatnya kecewa dengan bercerita soal penyakitna, mestinya saya mengantarnya ke rumah sakit, mestinya saya tidak se egois itu, mestinya saya lebih peduli ....

menangis ...
saya merasa harus keluar dari kondisi emosi ini terlebih dulu dengan menuliskannya...

No comments: