Thursday, August 25, 2005

The Prep (2) Legalisir

Dua minggu lebih ini disibukkan dengan persiapan administratif keberangkatan dan masalah housing disana. Dua-duanya bikin capek. Masalah housing bikin capek secara emosi—tapi itu nanti aja ceritanya-- sementara masalah yang pertama lebih ke masalah fisik Fiuh! capek banget. Exhausted. Tapi itu sudah jadi resiko keputusan untuk mengurus semua sendiri. Disini, tentu aja kita selalu bisa bayar orang untuk mengerjakan hal-hal yang mestinya jadi tugas kita. Mulai dari buat akte, bikin KTP, SIM, paspor dst. Tapi buat saya, itu, kecuali kepepet, bukan pilihan pertama. Selalu ada sense of pride tersendiri kalau bisa mengurus kebutuhan saya sendiri. Pertimbangan lain tentu aja masalah biaya. Ada margin yang lumayan buat ditabung sebagai bekal hidup antara mengurus sendiri dan mengurus melalui agen. Pertimbangan lain adalah first hand experience dong. Selalu ada hal-hal baru yang ketemu dalam perjalanan-perjalanan model begitu.

Mengurus legalisasi akte kelahiran itu secara teori sebenarnya gampang. Pertama renew ur birth certificate di catatan sipil. It took about a week. Ini karena municipality sana ga mau terima akte kelahiran kita yang dua puluh lima tahun lalu sudah susah payah diurus oleh ayah bunda kita. Setelah selesai, legalisasi di departemen kehakiman. Dalam waktu dua hari legalisasi selesai. Kedua, dari departemen kehakiman, kamu ke deplu. Itu juga dua hari. Ketiga, dari deplu kamu ke kedutaan besar belanda, langkah ke empat pergi ke penerjemah yang ditunjuk (dalam hal ini saya memilih ke Saharjo 39 di Manggarai). Dari situ balik lagi ke kedutaan besar belanda minta legalisasi. Dan akhirnya, akte mu selesai dan memenuhi syarat secara hukum untuk urus MVV di belanda. Kalau mau bikin kenangan, ya coba-coba lah ga usah diurus. Surely, it would bring some story to your life disana nanti. Di deportasi, misalnya.

Tapi nyatanya … teori tidak selalu berjalan semulus yang dikira. Sebenarnya memang sudah mengira kalau berurusan dengan instansi pemerintah, pasti ada aja yang bikin gondok. Dan ternyata bahkan kementerian sementereng departemen kehakiman pun tetap aja payah kalau soal pelayanan ini. Pertama datang belum masalah. Dimana urus legalisasi akte ? ga ada informasi. Okeh, Tanya petugas di meja informasi. Oh, di lantai 3, mba. Tapi harus beli formulirnya dulu di koperasi. Lurus, belok kiri, turun, itu koperasi. Sip! Lurus, belok kiri, turun ketemu lah sama koperasi. Tapi dimana yang jual formulir? Tidak mungkin di warung nasi. Satu-satunya bagian yang tidak mengindikasikan “kami menjual makanan” adalah meja dengan dua mba-mba yang sedang asyik berdandan. Ok, bilang permisi mba, mau beli map untuk legalisasi formulir. Salah satu mba itu yang cantik sekali seperti teller bank, berteriak pada temannya.”Sri!! sini lu!tuh ada yang mau beli map!” wuah, si mba cantik-cantik tapi kok gahar gitu.

Singkat cerita map sudah dapat. Lalu terus ke lantai 3. hmmm,… dingin, sepi. Kemana nih ? saya clingak-clinguk mencari kata-kata Akte atau Legalisasi atau Anda Bingung ? Kasiaan Deeh! atau apa kek. Karena semua pintu-pintu tertutup dan dari balik dinding kaca terlihat semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yah, kalau sudah seperti ini harus pakai Nabi kata teman saya. Apa tuh ? Naa Bibir Lu! Alias tanya-tanya. Ada beberapa mba dan mas-mas yang duduk berjajar. Permisi, ada yang tahu dimana saya bisa legalisasi akte ? semua saling beradu pandang. Ups, oke salah orang. Nah, disebelah sana, ada dua mas-mas yang lagi nongkrong-nongrong didepan dipintu sambil mengobrol dengan seorang mba yang tampangnya seperti mahasiswa. Aha! Siapa tahu itu anak STUNED yang sama kebingungan. Langsung didekati dan langsung tanya. Ternyata bukan anak STUNED, tapi memang sedang mengurus surat untuk kuliah ke Belanda dengan biaya sendiri. Alhamdulillah, diberi informasi saya harus ke ruang mana. Masuk ke ruang tersebut ada seorang mas dengan kepala botak dengan tumpukan map didepan mejanya. Hmm, pasti ini officernya. Tapi saya lihat dia sedang sibuk mengunyah lumpia dalam genggamannya. Ya sudah, karena saya pikir tidak sopan kalau menginterupsi orang ketika sedang sibuk makan, saya menunggu setidaknya sampai dia selesai menelan sambil berdiri dihadapannya.

Tapi, lho si mas kok malah take another bite, tidak tanggap ing sasmita, seakan-akan tidak menyadari ada calon mahasiswa yang baik hati dengan sabar berdiri dihadapannya menanti dia selesai mengunyah. Oke, deh saya ambil inisiatif aja. Bilang maaf ganggu, mau urus legalisasi akte. Dia mengangguk-angguk tanpa memandang saya, masih sambil mengunyah lumpia. So ? tidak ada sambutan. oke saya lagi. Ini map dan aktenya. Dia mengangguk lagi. Diisi formulirnya, katanya dengan susah payah sambil menelan lumpia. Baik, saya isi. selesai. Saya mengulurkan map dan akte saya. Si mas masih sibuk makan lumpia.

Saya penasaran. Begini mas, yang saya serahkan aslinya apa fotokopinya ? aslinya, tapi minta fotokopinya satu buat arsip, kata si mas. Saya merapikan semua yang diminta ke dalam map. Ada lagi ? tanya saya. Minta fotokopi KTP-kata si mas.Yaks! ini bawa tidak yah ? soalnya pagi ini dengan isengnya saya ganti tas. buru-buru saya mengecek dompet dan tas saya. ATM, Kartu Berobat di RS Haji, Kartu Berobat di RS Pasar Rebo, Kartu anggota Perpustakaan Nasional yang sudah expired, kartu member sebuah salon muslimah, foto-foto teman dan saya, kwintansi fotokopi dan beberapa kertas sampah lain yang pasti saya taruh didompet kalau tidak ketemu tempat sampah, semua ada, tapi tidak KTP, benda yang bisa menyelamatkan saya kalau ada operasi Yustisi. Wuaduh gimana ? tidak bisa menyusul? Oh tidak, kata si mas. Dilengkapi dulu besok datang lagi. Rumah saya jauh mas? (masih usaha) Si mas: Iya tapi aturannya sudah begitu. Baiklah, atas nama aturan saya pun mengalah. Besok datang lagi. Hari itu memang kesalahan saya.

Dan datanglah besoknya saya dengan hati yang optimis bahwa dalam dua hari kedepan saya bisa melangkah ke tahapan yang mendekati selesai. Ke lantai 3 lagi kali ini tanpa celingukan lagi. ketemu si mas lagi. kali ini dia lagi makan mi ayam (saya melirik jam, setengah sepuluh seperti kemarin. Tapi mungkin memang jam snack kali yah seperti kebiasaan saya di LKC yang mendaulat jam setengan sepuluh sebagai waktu minum kopi ). Okeh! Ini sudah lengkap mas. Selanjutnya apa ? si mas kali ini sibuk dengan mi ayamnya menjawab: ke empat. Hah ? maksudnya ? saya bertanya. Mba bayar ke lantai 4. Ooooh, gitu. Ada lagi ? tanya saya. Bayar dulu aja ke lantai 4, kata si mas kekeh. Saya pun ke lantai empat menyelesaikan pembayaran (diiringi dengan acara clingak-clinguk karena lagi-lagi tidak ada informasi dimana saya harus membayar). Setelah membayar, ada telepon masuk dari seorang teman lama yang mengundang walimah. Jadi heboh sesaat, lupa bertanya pada si ibu kasir bagaimana nasib saya selanjutnya dan si ibu kasir pun tidak memberi informasi apa-apa. Maka saya pun meninggalkan Departemen Kehakiman dengan hati gumbira. Dua hari lagi, dan saya bisa ke Deplu.

Dua hari kemudian

Bergegas ke Kehakiman pada jam yang sama dengan tiga hari dan dua hari sebelumnya. Ketemu si mas legalisasi lagi. Assalamualaikum, mau ambil akte mas. Wuah, mba yang kemarin yah ? kemarin kemana ? kok nggak balik lagi ? kita tungguin kwitansi bukti pembayarannya. Belum di proses deh tuh Aktenya…SAY WHAT?! Argghhh!! *mulai ada yang mengepul dari dalam kepala, tapi ada suara yang bilang sabar tin, sabar, istighfar .. baca taawudz …la taghdab falakal jannah, jangan marah ntar dapet surga deh… take a deep breath* Kemarin kenapa saya tidak diberitahu kalau saya harus serahin itu ?! kata saya dengan suara mulai naik. Laah, mbanya keluar duluan--elak si mas. Lho ? saya kan waktu itu tanya apa lagi tapi saya ga dibilangin! Kalau begini saya buang-buang waktu namanya! Kata saya yang saat itu sudah berbicara sambil mendesis, karena kalau teriak-teriak malu aja. Malu sama Allah, trus ya malu sama orang, malu juga sama komunitas intelektual se-Margonda Raya yang sudah mau memberikan saya ijazah itu. Urus surat beginian aja kok bisa jadi Nona Komunikasi alias miskomunikasi, pakai naik darah segala, lagi. Arrrgh! Inginnya saya menjitak kepala si mas itu keras-keras!

Begitulah. Intinya saya menghabiskan waktu lebih dari yang umumnya, untuk bulak-balik Cibubur-Pasar Rebo-UKI-Kuningan-Kehakiman, menempuh perjalanan dua jam,macet, naik turun tangga penyeberangan untuk berhadapan dengan si mas botak itu. Dalam kasus ini saya juga punya andil kesalahan, tapi saya yakin mestinya tidak akan jadi time wasting energy consuming begini andai saja orang-orang di departemen kehakiman atau di instansi pemerintahan manapun mau sedikit berusaha untuk lebih komunikatif terhadap saya, kita, masyarakat kecil yang butuh pelayanan mereka, yang membayari gaji mereka secara tidak langsung. Mbok ya ditulis gitu loh dari awal gimana prosedur pengurusannya, atau setidaknya, please … pasang papan petunjuk informasi!

Sampai kapan yah pelayanan publik kita mau terus-terusan payah begini. Saya ingat di LKC kami pernah mengadakan pelatihan yang diberi nama Pelatihan Komunikasi Terapetik. Walaupun intinya adalah Komunikasi Interpersonal –yang di jurusan komunikasi bobotnya 3 SKS itu—tapi intinya yang dibahas dalam pelatihan itu adalah how do we treat other people in such a right manner. Urusan melayani bukanlah urusan sembarangan. Harus ada ilmu dan hati untuk mempraktikkannya sehingga orang merasa betul-betul terlayani.

Dari hal-hal kecil seperti jika ada pasien, hadapi dengan seluruh tubuh, tatap matanya, tanya apa yang bisa dibantu. Apalagi pasien LKC adalah duafa yang butuh banyak penjelasan gamblang. Jangan tunggu ditanya, tapi inisiatiflah untuk memberi keterangan. Hasilnya ? masih perlu banyak yang diperbaiki tentu saja dari pelayanan yang diberikan LKC. Tapi hidung saya yang nggak mancung ini jadi mekar juga, ketika suatu saat mendengar komentar seorang ibu yang sedang mengantri menunggu obat pada teman wartawan yang datang. Ibu itu punya kartu miskin yang sebetulnya bisa ia gunakan untuk berobat ke puskesmas terdekat. Tapi dia memilih ke LKC. Alasannya ? ”Kalau disini (LKC) nggak kayak di puskesmas yang suka dicuekin. Disini kayaknya melayaninya pake hati” deeeeuu, … si Ibu bisa aja, jadi gimanaaa gitu.

Sesekali saya pun suka duduk di ruang spesialis yang hanya dipisahkan oleh tirai dari ruang poli umum. Mendengarkan diam-diam bagaimana dokter-dokter kami bicara pada pasien. Dari situ saya bisa menilai bahwa dokter-dokter kami punya gaya komunikasi yang lumayan lebih baik dibanding dokter yang suka saya temui. Seorang dokter suatu kali berkata pada ibu yang keluhannya tidak jelas “Ibu mungkin lagi banyak masalah ya ? jangan berpikir macam-macam, ibu bangun malam, shalat, minta sama Allah supaya diringankan masalahnya …” hmm… jadi ingat filem Patch Adams. Pernah nonton ? itu filem bagus tentang kritik pada ilmu kedokteran yang kadang melakukan pendekatan yang mekanistik terhadap pasien dan kadang mengesampingkan kenyataan bahwa pasien itu manusia yang kadang kebutuhannya bukan diganti organnya tapi didengarkan dan perlu sentuhan komunikasi yang manusiawi. Ups, jadi melantur kemana-mana.

Balik ke persoalan pelayanan di instansi pemerintahan. Padahal apa yah bedanya yang bekerja sebagai PNS dengan yang bekerja di LSM ? intinya kan sama aja. Yang jadi PNS bekerja atas biaya masyarakat yang dikumpulkan pemerintah melalui pajak, yang di LSM (dalam hal saya) Amil Zakat bekerja diatas dana zakat yang dibayarkan muzakki (orang yang wajib berzakat) untuk mensucikan hartanya. Dua-duanya adalah amanah. Dua-duanya uang orang yang setiap sennya harus digunakan penuh pertimbangan, tidak boleh digunakan sak enake wudel dewek karena pertanggungjawabannya di akhirat akan melibatkan orang banyak. Uang yang sudah terkumpul lewat pajak itu mestinya kan bisa diputar supaya orang bisa mengongkosi anak sekolah, berobat ke rumah sakit atau mengubur mayat sanak keluarga yang meninggal. Atau setidaknya cukup untuk membangkitkan kesadaran bahwa orang perlu pelayanan yang serius dan itu berarti melayani tidak sambil makan lumpia!

Intinya sih kesel
Tapi … that some story hardly to get when u pay someone to do ur things ;b

4 comments:

Anonymous said...

Enjoyed a lot! naples fl condo rentals lether seat covers Las resale share time vegas www.adverbage.com acyclovir Egypt mobile phone book Merchant services usa oak illinois Ca area codes State of california lottery numbers nissan car covers bras nissan skyline Epson home theater projectors reviews insurance organisers tour uk

Jabberwocky said...

Hallo, boleh tanya? masalah process legalisasi akte kelahiran?
1. kalau legalisasi itu bisa diwakilkan nggak ya?
2. kenapa akte kelahiran lama harus di renewal? apa kriterianya?
3. setelah mendapat legalisasi dari dept kehakiman & dept luar negeri, kenapa tidak langsung saja pergi menemui translator, toh kita bebas memilih, kenapa harus datang ke kedutaan dulu sebelum ke translator?

Trims atas jawabannya ya.

Alia

Unknown said...

Dear All,

Saya saat ini sedang menggunakan jasa legalisir dan penerjemah tersumpah di Jalan Saharjo 39, orangnya namanya Pak Herman. Saya translate dan legalisir buku nikah dan akta. Namun sampai sekarang dokumen tersebut belum kembali. Padahal janjinya 10 hari kerja sudah akan dikirim.

Ini adalah kali kedua saya menggunakan jasa Pak Herman tersebut. Yang pertama lancar - lancar saja. Namun yang kedua ini sampai sekarang beliau tidak bisa dihubungi baik email, telepon, maupun sms. Saya masih berusaha berprasangka baik, semoga ini hanya kasus keterlambatan saja.

Namun saya juga ingin mengingatkan teman - teman yang akan menggunakan jasa penerjemah tersumpah untuk berhati - hati dan waspada.

Terima kasih.

Unknown said...

Dear All,

Permasalahan yang saya alami sudah selesai. Semua dokumen kembali ke saya semuanya utuh.
Terima kasih.