Thursday, August 25, 2005

Ke Makam Bapak

Hari itu menjelang sore. Matahari baru bergerak sedikit ke arah barat. Saya dan ibu saya bersama seorang keponakan berjalan menyusuri jalan memasuki komplek pemakaman umum. Ini bukan hari yang istimewa untuk berziarah. Komplek TPU itu sepi dan menenangkan. Sejauh mata memandang, hamparan makam tertata rapi dalam balutan rumput hijau. Sebagian terpelihara dengan baik, menandakan keluarga si empunya makam membayar cukup mahal untuk pemeliharaan makam, beberapa lainnya tampak sederhana dan bersahaja. Di bagian yang berlabel VIP, makam-makam pun lebih ‘heboh’ dengan hiasan bungan imitasi melengkung indah diatas nisan. Dasar manusia, bahkan dalam duka tidak tahan untuk tidak membuat strata sosial.

Makam ayah saya termasuk yang sederhana. Suatu kali saya sempat mengusulkan untuk memberikan hiasan bunga diatas nisan agar makamnya lebih ‘cantik’. Tapi buru-buru tersadar oleh ucapan kakak saya, “Bapak nggak terlalu suka yang seperti itu …” dan saya pikir ada benarnya juga. Karena kadang yang kita lakukan untuk orang lain tidak selalu untuk membawa manfaat yang nyata bagi yang bersangkutan, namun lebih kepada pemenuhan kebutuhan ego kita sendiri.

Sore itu kami bertiga datang untuk berziarah. Berpamitan ? entahlah. Saya kira bukan itu istilah yang paling tepat. Yang menghubungkan kami kini hanyalah untaian doa dan amal kebaikan yang dilakukan anak-anaknya. Dia hidup dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tapi mama saya berkeras mengingatkan saya untuk datang ke makam sebelum berangkat pergi.

Hadir di makam bapak, buat saya lebih pada sebuah usaha pengingatan. Rasanya lebih dalam daripada sekedar mengingat kenyataan bahwa suatu waktu saya akan mendapat giliran menempati salah satu petakan itu. Pengingatan bahwa surga dan negara tidak mengenal koneksi, bahwa pada akhirnya kita akan menghadapi sidang penilaian itu sendirian. Tak peduli se-salih apapun orang tua kita, bahkan jika orangtua kita seorang Nabi sekalipun, pilihan-pilihan yang kita buat, kitalah yang akhirnya mempertanggungjawabkannya.

Kenyataan paling menyakitkan dari kehilangan orangtua, saya rasa adalah kenyataan bahwa kita akan kehilangan salah satu sumber doa. Doa orangtua yang salih untuk anaknya adalah kekayaan paling berharga yang bisa dimiliki oleh seorang anak. Dan kadang saya merasa bahwa mungkin saja jika ada kemudahan, jika ada keinginan-keinginan yang terkabulkan, maka itu bukanlah sepenuhnya hasil doa saya. Bisa jadi orangtua sayalah, yang sedang diwujudkan segala mimpi dan keinginan mereka. Bukan saya.

Dalam beberapa waktu perjalanan yang kadang tidak selalu mudah, saya suka berbisik pada bapak atau ibu saya, “doain aku malam ini yah …” dan bapak saya akan mengangguk dengan penuh antusias.”Bapak akan doain kamu …”

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kadang bukan didikan mengikuti teori psikologi paling canggih yang dapat menyelamatkan orangtua dari beratnya pertanggungjawaban mendidik anak. Betapa banyak orangtua yang berpendidikan tinggi patah arang dalam menanam hati yang baik didada anak-anaknya, dan berapa banyak pula orangtua yang sederhana yang dengan ketulusan niat dan doanya, Allah lindungi anak dan keturunan mereka dari kesesatan dan sifat lalim.

Dan ketika mereka perlahan-lahan menyelesaikan amanat kehadiran mereka dalam kehidupan dunia, maka kitapun sadar bahwa berkurang pula pundi-pundi doa kita. Dan walaupun tentu saja Allah Maha Memberi, namun malu lah diri ini semalu-malunya jika meminta tanpa melihat diri, apakah memang layak kita diberi.