Sunday, November 27, 2005

winter time

Cuaca makin buruk. Kemarin-kemarin saya masih bersimpati sama ikan atau daging yang disimpan di kulkas. Betapa menderitanya mereka tinggal dalam suhu seperti itu. Tapi sekarang saya merasa mereka jauh lebih beruntung dari manusia di Belanda. Karena disini, cuaca dengan suhu sedingin kulkas itu masih ditambah dengan angin yang saya jamin bisa merontokkan payung paling tangguh sedunia. Untuk pertama kalinya saya beryukur bahwa berat saya … kg. karena kalau lima kilo saja kurang dari itu, saya pikir selalu ada kemungkinan saya terbawa terbang. Matahari ada, namun tidak berfungsi dengan baik. Jadi dalam terang benderang, saya mengepul-ngepul seperti es krim tiap kali menghembuskkan napas.

Dan akhirnya saya harus menerima kenyataan bahwa ketahanan fisik yang saya andalkan untuk menghadapi dingin dan hujan selama ini,sudah mencapai level maksimal. Jadi, pulang pergi menyebrangi sungai Maas, bersepeda bersama traxxy, bagaimanapun bukan pilihan yang paling bijak. Naik bis? Aduh, ga tahu kenapa yah setiap kali naik bis disini saya bawaannya kok mau m*****h. Padahal tentu aja bis disini lebih bagus lah appearance-nya dibanding 510 yang dekil bin dekumel itu. Alergi sama supir yang rapi kali ya ? he he. Dan sebenarnya naik sepeda itu sangat membantu dalam lift up my mood yang kadang suka kebawa bete sama cuaca. Jadi naik bis setiap hari juga bukan favorit saya. Alhamdulillah ada Daru yang dengan baik hati membolehkan saya ikut tidur di kamarnya di Hotel Randwijk yang terletak pas didepan kampus. Kamarnya Daru double room, ada dua ranjang tapi Daru hanya tinggal sendiri. Jadi lah saya—apa tuh namanya?—kommuter ? baru pulang ke kamar dua hari sekali.

Cuaca memang topik yang menarik. Saya tidak bisa membayangkan pedihnya jadi orang miskin atau tuna wisma disini. Saya yakin menggelandang tanpa rumah, atau tinggal di rumah kardus yang tiap hujan bocor dimana-mana, pasti tidak menyenangkan. Tapi setidaknya di Indonesia tidak ada cuaca ‘sekejam’ ini. Kita tidak dipusingkan dengan outfit dan segala persiapan menghadapi musim dingin. Tiap kali keluar rumah harus bersiap dengan mantel, pakaian dua lapis (jangan lupa long jhon), sepatu boot, tutup kepala hingga telinga karena dinginnya cuaca bisa bikin pusing, sarung tangan dan syal untuk menutupi hidung dan mulut dari terpaan angin. Waktu masih naik sepeda, seringkali saya sampai dikampus dengan wajah kebas karena dingin.

Melihat musim dingin seperti ini, jadi ingat pada cerita Gadis Kecil Penjual Korek Api-nya Hans Christiaan Andersen. Saya tidak pernah habis pikir kenapa cerita semuram itu bisa masuk kategori dongeng untuk anak-anak. Bukannya dongeng harus membuat pembacanya bahagia? Gadis miskin akhirnya jadi permaisuri bersepatu kaca ? makhluk buruk ternyata pangeran tampan nan baik hati? Hidup bahagia selamanya? Dan mati pelan-pelan di tengah dinginnya salju dalam pengharapan akan makanan dan kehangatan, sama sekali tidak masuk kategori itu. Ada disini, semakin membuat saya mengerti penderitaan anak kecil penjual korek api itu.

Saya terkejut waktu merasakan sesuatu yang menyesakkan dada ketika main ke Achen. Menggigil dalam mantel wol dan bersarung tangan ditengah suhu 9 derajat celcius, saya melihat seorang bapak-bapak berdiri berjualan makanan yang tampaknya seperti hotdog. Tidak memakai ‘gerobak’ dorong atau kedai jalan, tapi berdiri dengan tabung gas di punggung, dan tubuh yang menyangga kompor yang didesain melingkari pinggangnya. Orang itu jadi kios berdiri dengan payung besar yang juga disangga tubuhnya. Berdiri dalam dingin, membolak-balik hotdog seharga 80 sen ditengah-tengah hilir mudik orang berbelanja. 80 sen!tidak sampai satu euro! Entah kenapa rasanya kasihan sekali. Saya tahu tidak semestinya saya mengasihinya. Orang itu melakukan pekerjaan terhormat dan sama sekali tidak tercela. Pastinya juga menerima tunjangan dari negara seperti umumnya di negara kaya. Tapi saya merasa tenggorokan saya tersumbat melihatnya berdiri membolak-balik hotdog ditengah kelimpahan materi. Negeri ini kaya, pendapatan per kapitanya melimpah, tidak semestinya ada warga negara mereka yang berdiri dalam dingin yang menggigit tulang seperti ini, menjual makanan seharga 80 sen. Semestinya tidak boleh ada wanita tua duduk ditengah dingin tanpa mantel, syal dan sarung tangan yang melindunginya dari dingin, mengemis meminta belas kasihan. Mestinyakan sekolah disini tidak terlalu susah, sistem sosialnya menunjang seseorang untuk berprestasi sebaik mungkin dibidang apapun yang mereka suka, sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang lebih besar manfaatnya daripada menjual hotdog 80 sen ?

Ah, jadi ingat juga bahwa saya merasakan hal yang sama ketika suatu kali seorang tukang cobek lewat didepan rumah, lalu bapak saya berkata, “coba bayangin,berapa orang yah yang butuh cobek hari ini ?” waktu itu saya tidak mengerti mengapa saya sedih melihat tukang cobek atau tukang patri. Mungkin juga karena pertanyaan bapak saya itu. Iya, ya... seberapa besar harapan hidup dari menjual barang yang mungkin diganti lima tahun sekali ? berapa orang yang pancinya bocor hari ini ? sementara mereka harus makan tiap hari dan bayar kontarakan setiap bulan. Saya ingat waktu SD dulu saya suka membeli jajanan yang namanya Cilok. Itu makanan yang terbuat dari sagu kenyal, di makan dengan saus kacang bercampur saus sambal yang kental. enak tapi tentu aja ga sehat he he. Dan tenggorokan saya juga tercekat ketika melihat bapak-bapak yang sama, dengan sepeda yang sama, masih menjual cilok yang sama, sementara saya sudah lulus SMA, kuliah ditempat idaman saya, kerja, dan yang lainnya. Banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup saya dan bapak itu kok masih juga menjual cilok ? tidak kah waktu berbaik hati menawarkan kesempatan lain ? mobilitas lain ?

Mereka yang tahu betapa kayanya Indonesia pasti juga merasakan sesuatu yang menyesakkan dada kalau melihat kemiskinan yang berserakan. Mereka mungkin berpikir, negeri ini begitu kaya. Dengan gunung, laut dan hal-hal indah lainnya, mestinya mereka bisa cukup kaya untuk membuat waktu menciptakan kesempatan bagi penduduk mereka untuk tidak terjebak melakukan hal-hal yang ‘putus asa’ seperti berkeliling menjual cobek, cilok, mencuri jangkar kapal atau mempreteli marka jalan untuk bertahan hidup ?

Dan mungkin juga mereka berpikir, untungnya, Tuhan memberi orang-orang kulit perunggu ini matahari yang setia

*kemarin salju turun buat yang pertama kalinya. waktu Oktober, mereka bilang kami beruntung karena Oktober yang biasanya banyak hujan, tahun ini hangat dan bersinar. dan mereka juga bilang kalau kami beruntung, musim dingin ini juga akan ada salju. hmmm.. we're so lucky then*