Thursday, July 14, 2005

Baik Hati dan Tidak Sombong

Suatu waktu, saya ikut datang pada peresmian klinik gratis milik majelis taklim At-Taqwa. Majelis taklim masjid At Taqwa yang terletak dilingkungan perumahan Bintaro Jaya. Majelis Taklim ini sudah cukup lama menjalin kerjasama dengan LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma), tempat saya bekerja.

Klinik mungil itu terletak dalam kompleks halaman masjid. Bercat putih bersih, kecil, mungkin hanya berukuran sekitar 5x3 meter persegi tapi cermin besar yang diletakan di dinding yang berhadapan dengan pintu cukup memberi efek luas pada ruangan klinik. Ditambah lagi penataannya cukup apik plus pendingin ruangan. Penampilannya meyakinkan deh (sambil meringis membayangkan salah satu cabang LKC yang agak-agak suram, ayo dong pada nyumbang ;b).

Dokter jaganya adalah penghuni komplek yang dengan sukarela meluangkan waktunya secara bergantian. Kebetulan di sektor itu cukup banyak warga yang berprofesi sebagai dokter, baik yang baru lulus maupun yang sudah senior. Jika ada pasien dengan kasus gawat, barulah pengurus akan merujuknya ke LKC untuk memperoleh perawatan lanjutan dan mungkin direkomendasikan untuk jadi member.

Tidak ada publikasi berlebih, wartawan menenteng kamera yang hilir mudik atau apa dalam peresmian itu. Hanya anggota majelis taklim yang terdiri dari warga setempat dan warga duafa sekeliling kompleks yang dibina oleh majelis taklim itu. Tapi wajah mereka memancarkan semangat dan gairah yang bisa menular pada siapa saja yang melihatnya. Sungguh, senang rasanya melihat orang-orang yang pandai menggunakan amanah harta yang Allah titipkan. Masyarakat yang dermawan adalah sumber kebaikan. Dengan hartanya mereka menyambung silaturahmi, menunaikan hak kaum miskin atas harta mereka.

Hati yang baik, saya rasa adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Ada yang mendapatkannya dari lahir (emang dari sononya udah dicetak baeeeek banget), ada yang terasah lewat pendidikan, ada yang terbentuk lewat didikan lingkungan sekitarnya, ada yang harus berusaha keras untuk jadi orang yang baik hati.

Ketika kebaikan hati bertemu dengan kemampuan materi, dan kecerdasan maka yang terjadi adalah sepenuhnya kebaikan. Tentu saja plus kematangan dalam melihat persoalan supaya kebaikan itu berdaya guna secara optimal untuk orang lain. Tapi baik hati tidak hanya termanifestasi dalam keringanan memberi berwujud materi, namun juga keringanan hati untuk melepaskan egoisme mementingkan diri sendiri dengan memberikan perhatian pada kepentingan dan perasaan orang lain.

Kalau ditanya bagaimana saya menggambarkan diri saya, saya suka menjawab saya orang yang baik hati dan tidak sombong. itu sebenarnya lebih pada jawaban yang bersifat self fullfilling prophecy sih, tahu kan bahwa the power it’s in ur mind. Apa yang kamu pikirkan soal diri kamu itulah kamu. Jadi jawaban itu justru muncul dari betapa rasanya saya masih jauh dari baik hati dan tidak sombong.

Saya punya teman-teman yang subhanallah baik sekali hatinya. Dari yang sederhana tapi manis seperti membuatkan puding cokelat ketika teman yang lain sedang sariawan berat atau jauh-jauh datang menghibur ketika kawannya ditimpa musibah, sampai merelakan uang hasil kerjanya mengajar privat dan bimbel untuk menunjang aktivitas dakwah rekan lainnya. Dan kalau sudah begitu dengan mata hati membelalak saya menatap mereka sambil berseru dalam batin “Subhanallah, Baik Sekali!!??”

Saya tahu ibu saya, pastinya dengan sadar, juga berusaha keras membentuk anak-anaknya untuk jadi orang yang baik hati. Tiap Ramadhan dia jadi salah satu pemasok ta’jil untuk sebuah pesantren anak yatim. Kami, anak-anaknya, yang kebanyakan baru sampai pada level gaji yang ngepas, ‘ditodong’ untuk jadi penyandang dana-nya. Lain kali kami diminta urunan untuk beli semen karena pesantren itu mau memperbaiki bangunannya. Kalau lagi banyak uang, tentu oke-oke saja, tapi kalau lagi banyak keperluan plus harus beli ini beli itu ? ngasih juga sih tapi plus senyum miris yang gimana gitu.

Tapi setelah itu diam-diam saya bersyukur karena ibu saya itu. Bahwa mendahulukan kepentingan orang lain bukan hal yang mudah, bahwa memberi saat kaya itu kadang sulit, namun lebih sulit lagi melatih diri untuk memberi pada saat kita ada dalam kondisi kekurangan. Bahwa mungkin kehidupan kita sulit, namun kesyukuran bisa datang pada saat kita tahu masih ada yang bisa kita lakukan untuk orang lain yang sama-sama dalam kesulitan.

Jadi orang baik dan tidak sombong itu perlu latihan kontinu dan pembiasaan, makanya kita banyak ditinggali tips dan trik dari Rasulullah dan para Tabi'in, baik yang sifatnya konseptual sampai yang teknis-teknis untuk menaklukkan kesombongan yang sifatnya memang sama tuanya dengan keberadaan makhluk Allah seperti syaitan. Niat baiknya untuk melatih itu semua tentu mestinya datang dari iman.

Karena kesombongan bisa menyergap kapan saja dan siapa saja. Mengendap-endap seperti pencuri dan bum! Tiba-tiba kita merasa layak memandang orang dengan mengangkat hidung karena omongannya ga intelek, karena punya motor gede, karena gaji, karena sarjana, bisa nembak orang sembarangan karena keturunan si anu punya anu. Kebaikanpun bisa dirusak ketika hinggapi rasa sombong, baik itu sombong yang nyata maupun yang tersembunyi dalam ruang-ruang gelap di bilik hati. Hah, Kalau bukan karena kenal dengan saya, nggak mungkin dia bisa baik seperti ini.

Kenapa harus jadi orang yang baik hati dan tidak sombong ? sederhana aja mestinya. Baik hati itu perlu karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Tidak sombong itu perlu karena cukup sebesar atom, kesombongan dapat menahan kita dari pintu surga Allah.

No comments: