Wednesday, August 18, 2004

nama saya: teni martini

“Ibu, ini apa ?” tangan kecilnya menggapai-gapai mencari ujung jilbab saya. Matanya yang terbeliak karena kelopak mata tertarik oleh dahi yang menghulur jauh diatasnya, berputar-putar gelisah. “Ini jilbab namanya,” kata saya. Bahkan tak perlu berpura-pura riang menghadapi anak seperti Teni Martini. “Jilbab, buat apa ?” kejarnya. Usianya kurang lebih empat tahun. Hobinya melihat buku penuh gambar dan warna. Pinta dia untuk menirukan jingle Fanta Electric dan tubuhnya yang tertelentang diatas ranjang Rawat Inap akan bergoyang riang. Teni menderita hidrosefalus sejak lahir. Suatu kondisi dimana infeksi mengakibatkan cairan dalam otak tidak mengalir lancar. Tertahan, mengumpul dan menekan tengkorak kepala hingga mencapai lingkar kepala yang besar. Efeknya tentu saja otak tidak berkembang maksimal karena tertekan cairan. Jangan bicara tentang kecerdasan pada anak-anak yang mampu bertahan saja sudah suatu mukjizat. Kepala Teni harus dipasang selang permanen yang mengalirkan cairan dari otaknya ke lambung.

Tapi Teni tidak seperti balita hidrosefalus pada umumnya. Biasanya mereka lemah, tergolek tak berdaya dengan semangat kehidupan yang muram. Teni hidup dengan gembira. Selesai operasi, sebuah pelukan dari dokter dituntutnya. Ketika syuting operasinya oleh sebuah stasiun televisi rampung, ditagihnya pelukan dari orang-orang televisi yang mereka penuhi dengan heran.
Saya bicara pada ibunya, bapaknya dan juga kakak perempuannya. Sekedar memuaskan keingintahuan, Allahkan yang secara otomatis menyuntikkan hormon kebahagiaan, ataukah lewat orang-orang dewasa ini benih-benih itu tertanam dan kemudian tersemai sempurna dalam jiwa seorang bocah hidrosefalus ?

Yang saya lihat adalah penerimaan dan kasih sayang tak bersyarat. Tak peduli kepalamu menggembung sebesar apa nak, engkau adalah anggota keluarga yang juga punya hak suara.”Kelau keluarga lagi ngumpul, dia akan kesal kalau tidak diajak mengobrol,” kata ibunya.
Dan saya teringat pada anak-anak yang bunuh diri karena dilukai hatinya oleh hardikan dan cemoohan orang-orang yang mestinya memberikan mereka kasih sayang. Anak-anak yang tak cukup lentur jiwanya oleh penolakan karena tak cukup kesabaran orang dewasa menyemai bibit penerimaan.

Teni, suatu saat kelak, berdirilah tegak dan buat orang tuamu bangga dihadapan Tuhan karena mereka tak pernah tinggi hati untuk menerima keadaan.