Monday, May 08, 2006

Pembelajaran dari sebuah kekesalan

Rasanya sudah lama yah tidak -ngeblog-. Sedikit iri juga pada teman yang tampaknya rajin-rajin mengupdate dan menulis. Kesibukan menulis thesis sepertinya bukan jadi alasan yang berkelas mengingat toh saya juga tidak rajin-rajin amat-yang-sampai-segitunya.
Bukan pula tidak ada yang berkesan dan penting. Tapi justru dalam momen-momen tertentu rasanya hal-hal yang masuk kategori berkesan itu jadi terlalu sakral buat dibagi-bagi (ta elaah..) dan saya lebih memilih untuk menikmatinya sambil melamun memandang matahari yang mulai tenggelam pelan-pelan seperti saat ini.
Baru saja pulang dari dikusi kelompok yang ke sekian kalinya untuk merampungkan tugas need assesment. Kali ini berpasangan dengan teman yang lucunya diawal-awal bukan masuk kategori favorit saya. kalau mau lebih kuat lagi mungkin bisa juga dipakai istilah 'orang-nyebelin' dan hampir-hampir pernah dibikin kesel bin bete bin jutek bin mangkel.
Yang ini cerdasnya bikin sebel. Bukan, bukan cerdasnya sih, karena saya biasanya mudah suka pada orang yang cerdas, apalagi kalau baik hati dan tidak sombong (kepengen mode ON) Namun diawal saya merasa ni orang jiwa kompetitifnya kuat banget sih. Saat itu kalau sedang diskusi dikelas sepertinya semua opini saya dia nggak terima, kalau saya bilang A, dia bilang B, kalau saya bilang C, dia akan bilang tidak, tapi D. Hhalah, pokoknya bikin keuheul-lah (kesel). Dalam hati saya suka mencak-mencak, nyantai aja lah kalau ada yang nggak setuju sama pendapat kamu. Ugh, pokoknya nyebelin banget, oke saya tahu kamu cerdas tapi toh saya pun datang kesini tidak dengan otak yang melompong. Saya ingat saking kesalnya suatu saat saya pernah malas untuk berkontak mata pada yang bersangkutan. Dan saya sadar, biasanya kalau sudah pada sampai tahapan avoiding begini, berarti kesel bin sebelnya beneran serius.
Tapi toh, saya bukan orang yang betah dikomporin setan seperti itu. Dan percaya lah hidup dalam dunia sebal-keuheul-and mangkel begitu memang ga enak. Kalau kata Rasulullah SAW, rasa dengki itu bisa membakar habis amal kebaikan seseorang. Hua, ya rugi bandar dong. Udah sebel, pahala yang ga seberapa habis pula, sementara yang bersangkutan mungkin ga ngerasa dan enak-enak bobo.
Lalu kemudian saya pikir-pikir lagi, merasionalisasi secara sadar (eh, memang harus sadar kan yah, kalau ga sadar pingsan dong namanya) apa sih yang sebenarnya saya sebelin. Cerdasnya, ilmunya ? wah, yang ini walaupun kata Nabi Muhammad SAW masuk kategori hal yang boleh membuat seorang muslim iri pada manusia lain, tapi bukan alasan untuk sebel.
Ah, ya saya pikir mungkin ya dominannya itu, yah kompetitifnya itu yang bikin males. Lalu saya pikir-pikir apa itu naturenya laki-laki yah untuk punya jiwa kompetitif, sementara perempuan kecenderungannya adalah untuk konformitas dan kerjasama ? mungkin kebetulan saja si bapak yang satu ini tidak (belum) pandai mengartikulasikan pemikiran dan opininya dalam bentuk yang tidak ofensif.
Lalu ndilalah karena memang kelas kami kecil, dalam suatu kesempatan saya pun akhirnya mendapat giliran untuk bekerja sama dengan si bapak itu. Wuah, bingung and sebel (again). karena teamwork biasanya ga akan sukses kalau orang-orang didalamnya punya masalah interpersonal. Atau setidaknya dalam kasus saya, saya punya masalah interpersonal toward orang ini.
Berdasarkan pengalaman saya selama ini, hal-hal semodel ini hanya selesai kalau dikomunikasikan. waduh, gimana caranya ? orang ini bukan teman dekat saya, yang biasanya masalah akan terselesaikan dengan pelukan dan saling bermaafan (ntar dia bilang-lah salah apa gue ama lu, kudu minta maaf?). karena pada teman-teman dekat saya bisa bilang "aku bilang ini karena aku cinta". Siapa yang tahu apa reaksinya kalau saya bilang "Aku perlu bicara, karena apa yang kamu katakan di kelas tadi bikin aku merasakan hal yang ga nyaman terhadap kamu." akan marahkah dia? akan terima kah dia? saya tidak cukup dekat untuk meramal sikapnya.
Bukan pula orang yang berbagi nilai dan landasan ideologi yang sama dengan saya. Kalau saya punya perasaan yang nggak enak pada seseorang, biasanya akan saya bacakan doa rabithtah, doa pengikat hati, memohon kepada Allah untuk menghilangkan segala kesal dan mendekatkan hati-hati kami. Karena toh, Allah yang menggenggam dan membolak-balikkan hati. Tapi mengerti apa dia tentang betapa dalam arti doa itu tentang cinta dan persahabatan ?
Tapi toh, ikhtiar harus dilaksanakan. jika tidak demi nilai, setidaknya demi perasaan menyenangkan ketika harus duduk semeja dan bekerja sama. Dan pelan-pelan saya berusaha mengeluarkan apa yang saya rasakan."kamu dulu ga pernah juara tiga atau juara dua yah?", suatu kali saya pernah bertanya, pinginnya sekedar dia tahu bahwa ga ada masalah kalau nanti ada masanya opininya tidak tepat atau meleset dikit. Atau sekedar ingin tahu darimana datangnya semangat kompetitif seperti itu. Atau sekedar mengisyaratkan bahwa dia tidak perlu berusaha keras meyakinkan semua orang bahwa dia cerdas, karena jika itu betul adanya, toh waktu yang akan melakukannya.
Entah apakah dia bisa menangkap rasa kesal saya, atau semua yang saya inginkan diatas tidak terlalu penting lagi buat saya (karena katanya lagi pria tidak pandai membaca bahasa-bahasa tidak langsung seperti itu) Yang terpenting buat saya adalah beban akibat rasa kesal dan sebal yang saya rasakan pelan-pelan bisa terangkat.
Dan pelan-pelan saya lega ketika saya bisa jujur berkata dalam hati saya; damn, he's good, tanpa harus merasa ga rela. Dan saya bisa menikmati setiap pembelajaran baru, sekecil apapun itu, yang saya dapat dari diskusi kami atau cukup dengan melihat bagaimana logika berpikirnya atau bagaimana cara dia mengerjakan sesuatu.
saya yakin, saya tidak akan bisa melakukan dan mendapatkan itu semua dengan hati yang penuh dengan rasa kesal dan kebencian. Peringatan Allah untuk itu sudah ada; jangan sampai rasa tidak suka kamu pada suatu kaum membuat kamu bersikap tidak adil. Tidak adil ini tentunya dalam artian tidak objektif lagi menilai segala sesuatu yang berkaitan dengan seseorang karena pandangan kita dikaburkan oleh rasa tidak suka. Dan percayalah, amat sedikit pembelajaran yang bisa dilakukan ketika kita dalam kondisi seperti itu.
*dedicated to my dear friend (kalau baca, you know lah who you are he he he)

3 comments:

Dini said...

mbak... it really gets me...

salam kenal :)

Anonymous said...

Cool blog Mashallah
Please take a look at mine and link it up here if you think it of benefit

Anonymous said...

Aku punya temen yang kaya gitu. Cowok juga. Persis. Sampe kesel bin mangkel. Kesannya hobi eyel-eyelan.

Tapi... ternyata justru ini lah yang bikin kami akhirnya jadi deket dan sohiban. Dan waktu kutanya, kenapa dia suka banget bertanya dan mempertanyakan banyak hal, dia bilang, "Kamu harus punya alasan yang kuat untuk dirimu sendiri mengapa berpendapat seperti itu." Jadi itu semua 'hanya' untuk ngetes aja. Reasoning.

Dan... nular ke aku deh. Jadi, sloganku untuk saat ini: Argue me :p

*fuh... udah lama sekali gak ke sini. biasanya cuma nyimak dari feed IMB doang :) *