Saturday, May 14, 2005

Terimakasih!

Beberapa waktu yang lalu nonton reality show baru buatan Helmy Yahya. Titelnya Terimakasih. Itu reality show tentang upaya orang untuk menolong orang yang pernah menolong mereka. Segmen pembukanya berupa packages tentang pernghargaan kepada mereka yang bisa berterima kasih atas perbuatan orang lain terhadap dirinya yang biasanya kita anggap itu kewajaran. Seperti berterima kasih pada petugas parkir yang membantu pemilik mobil bisa turun ke jalan dengan selamat.

Terimakasih dan Tolong adalah dua buah kata yang menurut saya tidak saja manis tapi juga dalam maknanya. Ingetkan, waktu kecil diajari untuk memulai sesuatu dengan ‘tolong’ dan menutupnya dengan ‘terimakasih’. Lalu setelah itu orangtua kita akan menghadiahi tatapan dengan berjuta bintang untuk kita yang mengandung makna duh, pinternya anakku.

Saya ingat suatu hari saya menemani seorang teman dari Unsoed, Purwokerto untuk berkeliling kampus saya dengan menggunakan bis kuning. Dan dia terheran-heran dengan kebiasaan kami, mahasiswa UI, untuk berkata “Terima kasih, Pak” kepada supir bis kuning. Dan tentu saja Pak Supir akan membalas dengan senyum lebar dan mengangguk dengan penuh harga diri. Dan saya rasa masing-masing sudah mengerti apa makna kata itu. Terima kasih loh Pak, saya sudah diantar sampai kampus saya. Terima kasih lo Pak, saya tidak telat ujian. Terima kasih lo Mbak, Neng, Mas, menghargai saya, jadi sopir bulak-balik muterin UI itu nda sembarangan loh capeknya. Itu adalah kenangan yang paling saya suka tentang kampus saya selain danau dan masjidnya. Kebiasaan itu tentu saja saya tdak tahu siapa yang memulainya, yang jelas Alhamdulillah kebiasaan itu teradopsi dengan baik hingga saat ini di UI.


Maka ketika dua kata itu muncul, dia jadi sebuah reality show yang paling manis yang pernah saya lihat. Tayangan ini menambah daftar pendek isi televisi yang masuk kategori layak tonton. Saya bisa bilang bahwa terlepas dari beberapa perbedaan sudut pandang, saya suka reality show sejenis semacam Tolong, Nikah Gratis (nah, ini baru enak), Bedah Rumah, dan Uang Kaget. Dua yang terakhir, walaupun dengan sederet pertanyaan dibelakangnya, minimal merupakan sebuah upaya kreatif untuk mengangkat kenyataan seharian umat ini yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan.

Entah apa yang terjadi, tapi masyarakat mungkin sudah demikian terbiasa dengan pemandangan kemiskinan sehingga seorang Helmy harus mengemasnya dalam bentuk sedemikian rupa untuk mengetuk nurani kita yang makin beku. Kita jadi semacam masyarakat yang haus tontonan kepedihan sehingga kita selalu menanti dan menanti, apalagi yang lebih parah dari ini ? adakah yang lebih menyedihkan lagi ?

Dan televisi meladeninya. LKC, tempat saya bekerja, seringkali menangani kasus-kasus penyakit berat yang pembiayaannya jauh diatas plafon. Kami harus cari cara untuk memperoleh donasi agar pasien yang bersangkutan dapat menikmati kesembuhan. Salah satu caranya adalah menjalin kerjasama dengan program Visi Zakat di RCTI yang slotnya dimiliki Dompet Dhuafa. Tapi entah berapa pasien yang membutuhkan bantuan tapi tidak lolos hanya karena kisah hidupnya kurang dramatis. Ya, dia sakit, dia miskin ? so, what ? pemirsa sudah sering lihat yang semacam itu, kami butuh yang lebih dari itu.

Kita hidup di tengah masyarakat yang makin hari makin tampil brangasan. Pengendara mobil pibadi bisa memaki pengendara motor bila tersalip jalan, pengendara sepeda motor bisa memaki supir angkot jika sedikit saja mereka kehilangan keseimbangan, supir angkot bisa memaki penumpang jika ongkos kurang, penumpang bisa memaki kernet kalau ditagih ongkos lebihan.

Disini orang berpunya mempertontonkan kepongahan sementara yang tak berpunya hidup sakit hati dalam kecemburuan. Suatu hari, di tempat saya bekerja yang punya niat mendedikasikan diri untuk melayani duafa, resepsionis dan bagian kepesertaan di maki-maki seorang pimpinan paguyuban anak jalanan karena proses keanggotaannya belum juga jelas.

Dan yang paling menyedihkan, semua itu diembel-embeli “mentang-mentang elu kaya,” atau “gini-gini gua orang berpendidikan,” “lu ga tahu gua siapa?” saya melihat itu sebagai sebuah bentuk luapan sakit hati atas sebuah sistem yang tidak adil yang membuat setiap kita merasa jadi korban. Dan saya Cuma bias beristighfar dalam hati ketika seorang teman berkata tajam, “Begini akibatnya kalau kita meninabobokan duafa!”

Dari tempat ini, saya bisa melihat kemiskinan dalam perspektif yang agak sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Dulu, mungkin seperti menonton film India yang serba menyayat hati. Yang miskin itu lemah, yang miskin itu tertindas. Tapi kemiskinan buat kita sudah sedemikian mendera sehingga bertahan hidup dengan kemiskinan lewat berbagai cara jadi pilihan dari sedikit pilihan yang mereka punya. Maka jadilah orang miskin yang manipulatif, yang bisa dengan lancar mendramatisasi kemiskinannya sendiri. Maka jadilah orang miskin yang tidak segan berdusta untuk memperoleh belas kasihan orang lain. Tidakkah pedih melihatnya ?

Saya teringat pada kata-kata Pak Houtman Z Arifin dalam sambutannya dalam penandatangan proyek kerjasama pengadaan rumah bagi korban tsunami. “Kita harus bijak dalam melihat permasalahan. Karena bisa jadi, jangan-jangan kitalah yang membuat orang miskin tetap miskin, jangan-jangan justru kita yang membuat orang yang lemah makin tak berdaya.”

Laporan UNDP tahun 1997 menyebutkan , perbandingan orang miskin dan orang kaya didunia secara rata-rata meningkat dari 30:1 pada tahun 1960 menjadi 92: 1 pada awal tahun 1990-an. Di Indonesia sendiri, sejak naiknya BBM, ada pertambahan jumlah masyarakat miskin (4 atau 2 juta gitu).

Kemiskinan memang mengerikan. Ali bin Abi Thalib ra bahkan berkata jika saja kemiskinan itu berbentuk laki-laki, maka tentu dia akan membunuhnya. Tapi yang lebih mengerikan tentunya adalah kenyataan bahwa kita tidak hanya mengalami kemiskinan materi, tetapi juga kemiskinan jiwa. Ada jurang yang sedemikian besar antara kemiskinan masa kini dengan kemiskinan masa lampau. Jangan lagi bicara zaman Nabi SAW, ketika ahlussuffah yang tak berpunya menghadap dengan penuh harga diri bertanya bagaimana caranya mereka bisa beramal kebaikan sebanyak sahabat-sahabat yang dianugerahi kekayaan. Di masa lalu orang bisa miskin namun setidaknya tidak dirongrong habis jiwanya oleh gempuran materialisme yang kini jadi tontonan hingga ke pelosok-pelosok gubuk jelek lewat televisi dan VCD Player. Maka membagi-bagikan uang sepuluh juta kepada orang miskin yang dengan berpeluh menghabiskannya untuk membeli kulkas, handphone dan televisi, hanyalah sebuah kegemasan akan lambannya mobilitas sosial masyarakat.

Menjadi orang miskin dimasa lalu masih bisa berkuat hati berkata pada anak-anaknya untuk bercerita tentang Nabi Sulaiman yang ditawari ilmu atau kekayaan. Maka ketika Sulaiman memilih ilmu, maka Allah memberikannya ilmu dan kekayaan, seperti yang pernah diceritakan bapak saya. Jika engkau pintar nak, maka dunia akan ada dalam genggamanmu. Sekarang ? jangankan untuk menggedor pintu gerbang universitas yang berjuta harga kuncinya, tunas itu keburu memilih gantung diri karena tak kuat bayaran SPP yang hanya belasan ribu rupiah besarnya.

Maka saya merasa reality show semacam Terimakasih dan Tolong menjadi sebuah tayangan manis dan menyegarkan jiwa. Karena sesungguhnya ada kemiskinan yang sama parahnya, yang sama urgentnya untuk segera diobati. Yaitu kemiskinan jiwa yang bisa diderita oleh siapa saja. Baik yang punya maupun yang tidak punya. Terimakasih dan Tolong adalah dua buah kata sederhana yang bisa jadi kita lupa untuk mengatakannya baik pada Allah, maupun pada manusia. Dua kata itu mengajarkan banyak pada kita sesuatu yang sering kita lupa, bahwa kehidupan kita berdiri diatas kemurahan Tuhan dan keberadaan orang lain sebagai tangan-Nya.