Tuesday, February 21, 2006

membesarkan hati ...

Ini soal kuliah. Baru terima hasil ujian policy analysis kemarin dan saya cuma dapat nilai tujuh. Dan untuk pertama kalinya saya merasa ga puas dan terganggu. Kayaknya kemarin saya mengerti konsep yang didiskusikan, kayaknya pemahaman saya sama bagusnya dengan yang lain, trus apa yang salah?

Heran juga. Biasanya perkara nilai ini ga akan menganggu saya selama saya merasa sudah bisa menangkap esensinya dan bisa menggunakannya dalam melihat dan memaknai realitas yang saya hadapi. Bagaimana yang saya pelajari dapat menerangkan apa yang melatar belakangi sebuah fenomena dan bagaimana solusinya, saya akan puas. Perkara dapat berapa ga begitu penting lagi. Begitu mikirnya. Dan kebetulan nilai yang saya dapat selama ini ga begitu jauh dari perkiraan saya.

Tapi kok yah yang ini jadi terganggu sampai-sampai saya curhat dengan seorang teman dan dengan sengaja kirim email ke seorang teman lainnya soal ini. i am questioning my ability, keluh saya. Teman saya bilang, ur good. Dia juga heran biasanya saya stay positif aja dalam menilai segala sesuatu. Saya minta sama teman lain untuk melihat jawaban ujiannya. Yah, ketemu deh masalahnya. Cuma beda masalah stressing aja rupanya. Jawabannya intinya sama tapi saya lebih berat membahas pada siapa yang muncul sebagai agenda setter, sementara kayaknya perspektif pak tutor lebih pada apa yang akan muncul sebaga agenda. Saya jawab juga soal itu tapi tidak dengan pembahasan lebih dalam.

Ikhlas itu, menerima hasil akhir, ternyata kadang-kadang sulit yah. Setelah kita menjalaninya dengan proses yang maksimal, adalah kewajaran kalau kita juga menuntut hasil yang maksimal. Saya ingat waktu mau berangkat ke sini, ada teman, namanya Zulfikar. Dia itu kordinator OB di kantor saya. Dia mengeluh, mba attin sih enak, semuanya kayaknya semua tercapai aja. Saya tuh gagal melulu mba. Dia bercerita tentang cita-citanya, usahanya daftar ini daftar itu ke sekolah ini ke sekolah itu, dan disinilah dia berakhir, jadi OB. Dia belum menyerah, malamnya dia kuliah lagi disebuah universitas swasta. Waktu itu saya bilang apa yah sama dia ...jangan kecil hati zul, ikhtiar kita itu sudah dicatat jadi sebuah amal kok, punya cita-cita tinggi aja udah sebuah prestasi (or something like that).

Dan saat itu saya jadi ingat, bahwa mimpi-mimpi, keinginan-keinginan yang terkabulkan adalah anugerah luar biasa yang tak cukup dengan hamdallah saja kita mensyukurinya. Di luar sana, ada berapa juta orang yang patah hatinya dibenturkan dengan kenyataan bahwa takdir tak selalu berkesusaian dengan harapan dan ikhtiar. Maka kalau saat ini kita berdiri sesuai dengan keinginan hati, duh alangkah besar nikmat itu.

Dan saya sekarang misuh-misuh, mengeluh tentang semestinya setelah segala usaha yang saya lakukan, saya bisa mendapat lebih dari tujuh ....

teman lain bertanya, "jadi kamu mengejar ngerti apa ngejar nilai?" nah, lo...

come on gal ...
bukan anak smu lagi ... sebentar lagi mau genap 26 tahun
jangan memandang nilai dengan ke kanak-kanakan seperti beberapa orang yang kamu kenal. Tanpa kerendahan hati dan kedalaman menghargai. Nanti seperti itu pula cara kamu menilai segala sesuatu. Lupada pada esensi dan lebih terkesima pada yang artifisial.

kita tidak mau jadi orang seperti itu, bukan?