Thursday, October 19, 2006

Mak Nyuuuuus.....!

Suatu siang, dalam suhu Jakarta musim kering, bulan puasa pula, apalagi yang paling enak kalau bukan klekeran dikarpet depan televisi. Bulak-balik dari satu stasiun ke stasiun yang lain akhirnya pilihan saya jatuh pada salah satu acara favorit saya Wisata Kuliner di Trans TV. Pembawa acaranya bapak-bapak berwajah hangat bernama Bondan Winarno beliau juga dikenal sebagai salah satu pengamat kuliner Indonesia.

Siang itu, melihat si Bapak bolak-balik menghadapi mangkuk, piring berisi makanan-makanan lezat, menyeruput sop konro sambil tak lupa berkata “ehmmm.. mak nyuuuus” rasanya saya rela deh dibayar berapa buat menggantikan posisi dia. Walaupun sempat berdebat dengan kakak saya tentang apakah pak Bondan itu hanya sekedar icip-icip segala makanan yang serba berlemak, bersantan dan tinggi kolesterol itu, ataukah dia makan betulan semua itu (yang kemudian membuat saya berpikir pasti dia harus bayar premi asuransi kesehatan yang mahal karena profesinya yang beresiko tinggi terhadap ancaman diabetes dan lain-lain) tetap menyenangkan melihatnya berkeliling memperkenalkan makanan-makanan khas indonesia mulai dari yang paling sophisticated dengan lebih dari 11 jenis bumbu (Kolonel Sanders, ayam goreng anda tidak terlalu mengesankan untuk ukuran orang Indonesia dalam hal bumbu) sampai makanan-makanan jajanan pasar yang sederhana seperti colenak.

Dulu kalau sedang makan bersama Ayako, salah satu obyek narsisme saya soal masakan (karena apapun yang saya masak pasti dia komentari dengan antusias sambil tak lupa ber ‘eeehm, aaah, uuuh .. this is goood’) sambil makan, obrolan favorit kami tentu saja juga tidak jauh dari masakan.

Saya percaya bahwa karakter sebuah bangsa bisa juga terbaca dari masakannnya (selain-kata teman saya- dari media massa, halte, terminal sampai tong sampahnya). Masakan Indonesia selalu menggunakan banyak bumbu, mengingat kondisi alam yang kaya sehingga eksplorasi terhadap segala sumber makanan memiliki banyak pilihan.

Sama halnya dengan masakan-masakan dari daerah-daerah Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand atau India. Bahan dasar masakan biasanya akan di-marinade dengan segala macam bumbu itu hingga kadang sampai kehilangan watak dasarnya. Ingat saja gudek yang rasa nangkanya sudah tak terasa lagi akibat proses pemasakan yang over cooked hingga nir-gizi.

Menurut saya sih, ini pasti juga berkaitan dengan kondisi dimana Indonesia sangat kaya dengan sentuhan kultural dari bangsa lain. Akulturasi banyak terjadi, melahirkan budaya baru yang kadang menghilangkan karakter lama. Dalam hal ini, Indonesia itu memang semestinya bisa sedikit ‘nyombong’ sebagai bangsa yang terbiasa dengan perbedaan ‘dari sononya’ dan punya local genius yang teruji dengan menyerap, kemudian melahirkan yang baru (sst, soal terbiasa dengan perbedaan, kita tidak bicara soal realita saat ini yah)

Orang Jepang senang memasak dengan bumbu minimalis, karena yang diutamakan adalah kesegaran dan rasa asli bahan dasar. Pernah baca Toto Chan yang disekolahnya diwajibkan membawa bekal dengan rumusan ‘sesuatu dari gunung dan sesuatu dari laut’? banyak makanan yang dicontohkan hanyalah berupa sayuran yang digosok dengan garam, atau diolah dengan bumbu yang sederhana.

Begitu pula dengan masakan Belanda yang menggunakan bumbu sederhana bahkan nyaris membosankan (garam,merica,bawang bombay, krim kental). Rata-rata masakan Barat kebanyakan bahan dasarnya dipisah dari sausnya sehingga daging ya tetap berasa daging, ikan tetap berasa ikan, asparagus tetap berasa asparagus, tinggal kemudian cocolan sausnya yang akan memberikan rasa berbeda. Tapi anda tetap mengenali bahan dasarnya.

Apa ini cerminan dari karakter mereka yang secara umum homogen secara budaya, agama, sejarah, sehingga agak menjaga jarak terhadap infiltrasi budaya lain ? rasa lain ?

Jadi semakin heteregon bumbu yang dipakai dalam kuliner suatu bangsa, semakin heterogen nilai dan budaya dalam bangsa itu dan sebaliknya ?

Ayako bilang orang Jepang sangat homogen.

Masakan Belanda dan negara-negara dengan empat musim kebanyakan mengikuti musim. Kata teman saya, stampot (beginikah menulisnya?) dan sup-supan cenderung lebih banyak dimakan pada saat musim-musim dingin dimana orang perlu banyak energi untuk mempertahankan suhu tubuh secara normal. Walaupun kemudian kalau saya pikir-pikir lagi itu sama saja dengan makanan sepanjangn tahun, karena Belanda memang dingin adanya.

Dilihat dari waktu proses pemasakan, masakan Indonesia lebih banyak makan waktu dibanding masakan Belanda (saya pernah membuat kue lapis dari jam sebelas siang dan baru selesai pukul empat sore, duh itu pasti hari yang sangat-tidak-ada-kerjaan). Orang Indonesia tidak pernah punya waktu dimana matahari hadir begitu singkat hingga semua harus dikerjakan secepat dan seefektif mungkin. Apa itu juga karena kita hidup dalam suhu yang relatif nyaman dan konstan sehingga selalu ada waktu untuk masak ?

Orang Indonesia juga mengenal makanan-makanan dengan aspek religi. Tumpeng, bubur merah-bubur putih, nasi kuning, adalah masakah-masakan yang agak sulit dimakan tanpa diembel-embeli “dalam rangka...”. contohnya seperti tumpeng yang dimasak ketika orang-orang Dieng ingin meruwat dan memotong rambut anak gimbal. Orang Belanda juga punya makanan dengan aspek ritual walaupun tidak banyak. Ada yang namanya beschuat, biskuit yang ditaburi cokelat bagi ibu yang baru melahirkan bayi. Cokelatnya merah jambu jika bayinya perempuan, dan biru jika bayinya laki-laki.

Saya pikir semakin banyak makanan beraspek ritual dan religi semakin menunjukkan peran agama dan kepercayaan bagi sebuah bangsa. Jadi sebaliknya, semakin sedikit, bisa jadi semakin sekuler suatu bangsa.

Apakah cara penyajian makanan juga menunjukkan kerumitan (agak tidak berselera menggunakan ‘ketinggian’) sebuah peradaban ? contohnya, konon menurut Montgomery Watt, orang-orang Arab di Spanyol pada masa kejayaan Abbasiyyah lah yang mengenalkan seni dan aturan memisah-misahkan makanan dalam porsi dan kategorisasi yang kemudian dikenal saat ini (starter,appetizer,main course,dessert). Tokohnya bernama Ziryab yang hidup di Cordova tahun 822. Dia juga yang membagi pakaian dan perhiasan menurut musim yang kemudian ditiru oleh orang Eropa.

Jadi ketika anda makan sebuah makanan yang dihidangkan dalam bungkus daun talas, anda bisa memperkirakan seberapa rumit peradaban masyarakat yang bersangkutan (dan saya orang yang percaya sederhana tidak berarti rendah).

Anda tidak perlu setuju dengan semua yang diatas itu. Tokh kita bicara dalam kerangka budaya yang sifatnya terbuka terhadap segala interpretasi. Tapi salah satu yang saya suka dari acara model wisata kulinernya pak Bondan ini adalah tak peduli sesederhana apapun sebuah masakan, jangan pernah meremehkannya karena didalamnya kita bisa membaca diri kita.

Tak perlu malu makan colenak, combro dan segala makanan rakyat yang berbunyi aneh dan tidak gaya. Selain itu kita, seperti kata Pak Bondan, rasanya “ehm.....mak nyuuuuus!”

Ehm, ngomong-ngomong... buka puasa masih lama yah ? (he he he he)

Wednesday, October 11, 2006

jelang 10 hari terakhir

Setiap penemuan akan pengetahuan, entah apakah itu mengenai agama sebagai jalan hidup ataukah pengetahuan mengenai hukum yang mengatur alam ini, akan mengantar kita pada kenyataan bahwa segalanya memiliki keterkaitan yang erat.

Ibaratnya taman yang padat dengan berbagai tumbuhan. Diatas permukaan, tampaknya setiap bunga dan semak-semak menempati sepetak tanah milik mereka masing-masing, namun begitu kita menggali ke bawah tanah, maka yang ada adalah akar yang saling menjalin dan terkait satu sama lain.

Buah apel yang jatuh ternyata punya kaitan mulai dari bulan yang tetap setia di orbitnya mengiringi bumi hingga keteraturan konstelasi tata surya.

Ketika kita memulai berdoa dengan memuji Allah SWT dan mengakhirnya dengan alhamdulillah kita juga bicara tentang kerendahan hati, bahwa tak ada sekejap pun dalam kehidupan manusia tidak membutuhkan kemurahan Tuhan, dan karena itulah kalaupun akhirnya doa yang kita panjatkan tidak diperkenankan, kita akan tetap memujinya karena kemurahan kasih sayang Allah yang telah kita terima.

Ramadhan sudah lewat dari pertengahannya. Dalam beberapa hari kedepan kita sudah mulai memasuki sepuluh hari terakhir. Hari-hari dimana dahulu Rasulullah lebih bersungguh-sungguh lagi menjalani Ramadhan. Di hari-hari itu harapan dan kekhawatiran bercampur jadi satu. Semoga setelah berusaha sebaik mungkin mengisi ramadhan dengan amal ibadah semaksimal yang bisa kita lakukan, akhirnya kita akan masuk dalam mereka yang memperoleh kemenangan, semoga letih dan penat akan berefek pada akhlak yang lebih baik kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan sekitar. Semoga ketulusan kita, prasangka baik kita bahwa Allah itu dekat dan senantiasa memberikan yang terbaik bagi kita akan membuat doa-doa yang kita panjatkan layak untuk dikabulkan.

Ketika usaha sudah dijalankan, ketika doa sudah dipanjatkan, ketika sebagai manusia kita sudah menjalankan ikhtiar dalam batas yang bisa dilakukan, maka yang kemudian dilakukan adalah bertawakal, menjadikan Allah sebagai ‘wakil’ terhadap segalanya. Karena tawakal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah tanpa didahului dengan usaha yang manusiawi.

Boleh jadi kita salah melangkah, boleh jadi keputusan-keputusan yang kita buat tidak tepat, namun dengan menjadikan Allah sebagai wakil kesedihan itu tidak akan berlarut-larut karena kita yakin bahwa sebagai wakil, Allah telah bertindak dengan sangat bijaksana dalam menetapkan segalanya.

Maka ketika kita telah melakukan bagian kita sebagai manusia, ramadhan adalah momen untuk mengingatkan bahwa kita memiliki Allah sebagai sebaik-baik wakil tempat kita menyerahkan segala urusan.

Dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya (11:123)