Wednesday, September 20, 2006

Pilihan-pilihan

Siang itu saya dan Hamzah berjalan kaki bersama menuju perpustakaan.
"Hamzah mau pilih jalan lewat mana? kalau lewat jembatan Hamzah bisa lihat bebek dan angsa, tapi kalau lewat jalan besar, Hamzah bisa lihat banyak mobil."
mata bulatnya terlihat sedang menimbang-nimbang.
"Hamzah pilih jalan besar aja, ah!" pilihnya.
dan kami pun terus berjalan.

Sejak kecil, kita hidup dengan pilihan-pilihan. Orang tua kita, entah disadari atau tidak mengajarkan ketrampilan hidup dengan membuat kita untuk melakukan pilihan. Mau pakai baju warna merah atau biru ? mau belajar setelah main atau mau belajar dulu baru main ? belajar memilih dari hal-hal yang sederhana karena semakin kita dewasa, pilihan itu makin sulit dan makin rumit.

Kita orang-orang Islam di ajarkan bahwa kitalah yang punya kemampuan untuk merubah nasib kita. Dari awal semua dibekali potensi untuk memilih jalan takwa atau fujur. Ingat cerita tentang seorang penjahat yang melakukan 99 kali pembunuhan ? kemudian dia bermaksud bertobat dan atas saran seorang pendeta, dia pergi ke kota yang lebih baik namun dalam perjalanan akhirnya meninggal. Dan malaikat pun akhirnya memutuskan bahwa dia berhak atas syurga dan ampunan Allah karena pilihannya.

Maka kita saat ini-atau untuk ukuran yang lebih abadi,kita diakhirat nanti- adalah hasil dari pilihan-pilihan yang kita buat di masa lalu. Pilihan-pilihan kitalah yang membuat sang waktu mengungkapkan rahasia yang dipendamnya.

Lalu sebagai makhluk sosial pilihan-pilihan kita juga membawa dampak yang lebih luas pada lingkaran hidup orang lain. memilih pendamping hidup yang baik untuk kita saat ini, jadi hadiah yang indah untuk keturunan kita dimasa depan. Mungkin karena itu Rasulullah menyatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah dengan memilihkan ayah atau ibu yang baik. Memilih berhutang banyak-banyak, semena-mena terhadap alam adalah pilihan yang menyulitkan bagi mereka yang hidup setelah kita. Jika semua kerusakan itu diperkirakan muncul 500 tahun lagi, apakah kita tidak punya solidaritas terhadap mereka yang menjalani hidup pada saat itu ?

Lalu apa yang kita gunakan untuk memilih ? saya pikir tentu semua perangkat yang Allah berikan buat kita dalam menjalani hidup. Mulai dari akal untuk fungsi logika dan rasionalitas hingga qalbu. istafti qalbak kalau kata Rasululllah SAW. minta nasihat pada hati mu dan setelah itu biarlah Allah yang menjadi wakil segala urusan kita.

wallahu a'lam bisshawab

Monday, September 18, 2006

Macam-macam Ketika Sudah Sampai....

Sudah kembali ada di tanah air lebih dari dua minggu yang lalu. Waktu masih di Maastricht dan seorang teman di Jakarta bilang “duh, motor tuh sekarang disini udah kayak sampah! Ada dimana-mana!” saya berusaha keras membayangkan. Karena setahun lalu saja saya sudah berpikir bahwa motor itu sudah seperti sampah, berarti sekarang tambah parah dunk?!

Dan ternyata memang dunk! Dulu rasanya dirumah saya yang memang terletak di pinggir jalan, masih ada saat-saat sepi dan segar buat sekedar lari pagi atau bersepi-sepi ria. Sepi itu penting loh. Sama pentingnya seperti tidur, puasa, dan segala macam pause yang memberi kita kesempatan untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri atau dengan Tuhan.

Lah sekarang? Tidak siang tidak malam, suara motor itu kok yah nggak berhenti lalu lalang. Sepi itu semakin larut datangnya dan semakin pagi perginya. Ini juga si Adek pake beli motor segala! Apa nggak baca soal kondisi udara di Jakarta yang memburuk dan bla,bla,blanya ??! Tapi niat untuk ngedumel jadi padam waktu dia bilang pakai uang jajan dan bisnis kecil-kecilan ala mahasiswa yang dikumpul-kumpul supaya bisa membayar motor yang membawanya lebih cepat sampai ke kampus.

Ah, ga tega lah merusak harga diri laki-laki kecil yang sedang belajar dewasa, yang sedang belajar perlahan-lahan untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya.

Kembali lagi ke urusan motor. Bukan hanya kebisingan dan kontribusinya terhadap polusi udara di Jakarta yang makin naudzubillah, tapi kelakuan si empunya yang masya Allah suka bikin urut dada. Aduh, apa nggak mau pulang ke rumah dengan utuh itu orang?

Jadi punya motor itu salah ? loh… saya kan nggak bilang begitu. Siapapun akan memilih untuk sampai secepatnya dengan biaya yang murah dibandingkan harus bayar ongkos transportasi umum yang makin mencekik plus segala ketidaknyamanannya. Kalau sudah begitu apa mau dilarang orang yang ingin beli motor ? terjebak macet, tua di jalan itu cost nya secara makro ekonomi kan besar juga. Rugi dari aspek waktu, produktifitas dan meningkatkan level stress. Siapa yang bisa bekerja dalam kondisi seperti itu ?yah orang Indonesia doong...

Kalau buat orang awam seperti saya berpikirnya kan sederhana, kenapa tidak dinaikkan saja pajak kendaraan bermotor itu, parkirnya juga, dinaikkan sampai orang malas untuk punya mobil, lalu kompensasi dari pajak tinggi itu di alokasikan untuk perbaikan transport umum, ya busway lah, monorail lah, pedestrian lah, kalau perlu buat jalur khusus untuk kendaraan roda dua seperti motor dan sepeda. Jangan lupa jalur hijaunya diperbanyak dong Pak Gubernur, jangan lah semua pohon dipotong habis untuk jadi lahan parkir seperti di kampus saya di depok itu. Sekarang dimana-mana serba panas. Sungai dan kali kecil tidak usah ditanya lagi nasibnya.

Mall di mana-mana juga bertambah banyak. Duh, apa tidak dipikir2 dulu yah waktu mengeluarkan ijin pembangunan mal-mal itu. Pastinya kan ada perhitungan dalam skala berapa ratus ribu, masyarakat itu butuh pusat perbelanjaan. Toh, kan bukan cuma mall yang dibutuhkan, tapi juga perpustakaan, lapangan bola, tempat bermain, museum lah kalau mau sedikit belajar dari masa lalu, atau sekedar taman kecil dan bangku nyaman tempat orang bisa duduk dan ...ya itu, bersepi dan berdiam ria.

Ah, jadi teringat pada Maastricht. Pada pagi-pagi langka, dimana udara cukup hangat bersahabat dan saya bisa lari pagi, menyusuri sungai. Pada sungai-sungai kecil dimana ada bebek dan angsa liar tempat saya suka mengajak Hamzah, anak host family saya disana yang berusia 4 tahun, untuk main dan memberi makan bebek-bebek itu sambil bercerita tentang malin kundang. Jadi, kalau ada hal yang saya rindukan dari Maastricht maka jawabannya adalah pada pohon, pada burung, kelinci dan sungai besar yang terjaga.

Mungkin selalu begitu. Ketika Allah memberi kita sedikit, kita akan lebih berhati-hati dan menyadari bahwa setiap persegi tanah yang ada begitu berharga. Dan ketika Allah melimpahi kita dengan banyak hal, jika tak punya hati dan akal, kita akan jadi lebih mudah untuk bersikap abai karena tokh masih ada banyak yang kita punya.

Menjelang bulan Ramadhan, Indonesia saat ini masih menjalani musim kering. Ah, betapa beruntung dan betapa senangnya bisa memasuki bulan Ramadhan dalam kondisi yang tenang. Memasuki Ramadhan bersama mereka yang senantiasa mengingatkan betapa bulan ini begitu istimewa sehingga layak di nanti.

Di beberapa tempat,banyak orang tentunya butuh upaya lebih keras untuk berkonsentrasi memusatkan hati pada Ramadhan sementara pada saat yang bersamaan, rumah, ladang bahkan makam terendam lumpur panas Lapindo.

Semoga Allah yang Maha Lembut memberikan kita kekuatan untuk meraih keberkahan Ramadhan.