Thursday, August 31, 2006

Terakhir sebelum pulang...

"Jangan nangis, jangan nangis" katanya, tertawa dengan air mata membayang dipelupuknya.
"Nggak, nggak nangis. siapa yang nangis?" kata saya galak sambil memicingkan mata saya. kemudian kami berpandangan sesaat dan akhirnya tergelak dengan air mata meleleh di pipi masing-masing.

Lalu kami sama-sama saling membelakangi berusaha menyembunyikan air mata. Tapi akhirnya, ah sudahlah... apa yang salah dengan air mata. Kami akhirnya berpelukan, dalam hati saya ingin berkata "jadi anak baik yah, jadi muslim yang baik, jaga mama jaga papa, jaga nunu. berusaha sekuat mungkin jadi muslim yang baik. semampu kamu. sesulit apapun, tak peduli sedikit apapun yang bisa kamu lakukan untuk itu, yang terpenting kamu adalah seorang gadis muslim. ingat itu..." tapi yang keluar hanya ucapan "brave meisje..."dan dia tergelak, seperti yang selalu dilakukan tiap kali saya mengatakan sesuatu dalam bahasa belanda.

Beberapa malam sebelumnya dia menginap dikamar saya. Paginya saya ajak dia membawa kamera menyusuri sungai Maas, menyeberangi jembatan, ke taman, ke parit ke speeltuin. Menunjukkan museum, perpustakaan, dan mengoceh tentang Maastricht dan Uni Eropa sampai soal sekolah dan anak cowok yang dia suka. Waktu itu ketika kami sama-sama sedang berayun-ayun di menara tali dia bilang "tante, kalau tante datang lagi... mungkin Laura sudah besar sekali yah.." saya meringis. "Mudah-mudahan tidak terlalu besar sekali."

Saya 26 tahun dan dia 10 tahun. Tapi saya tersentuh waktu chatting terakhir kami, dia berkata
dia:"tante itu teman Laura..."
saya: (terharu) "kamu juga teman tante. jangan lupa ambil sepeda dirumah, ya schat"
dia: "insya Allah"

Ah, gadis kecilku... semoga Allah menjaga diri dan jiwa kita.

Thursday, August 03, 2006

Diujung Hari

Sudah menghitung hari kepulangan.
Hari-hari terakhir di isi dengan nge-pak, kirim-kirim buku dan barang ke Indonesia, dan keliling-keliling sekitar Belanda saja.

Puncak musim panas yang beberapa waktu lalu mencapai 37 derajat sudah lewat. Hari-hari sekarang mulai basah dan serba hujan dan dingin lagi. Hmm.. negeri yang aneh. Kalau terus-terusan mendung begini, bisa gagal total rencana untuk duduk-duduk sambil liat sunset dipinggir sungai Maas dengan beberapa teman.

Cuma sekedar duduk dan mungkin kalau sudah terasa cukup banyak bicara, hanya diam dan menikmati sore-sore terakhir di Maastricht.
Sedih karena harus meninggalkan Belanda ? entah. mungkin juga iya. mungkin juga tidak. atau mungkin bukan sedih, tapi lagi-lagi terpikir tentang apa yang akan saya lakukan di Indonesia (terpikir tentang sms-sms dari kawan sekantor mulai dari atasan hingga mas-mas yang tanggung jawab jadi teknisi kalau ada kabel korslet, yang dengan setia bertanya kapan saya pulang)

Saya ingat percakapan, keluh kesah bersama salah satu teman saya yang mengambil art and heritage disini. mulai dari kacaunya policy pemerintah dalam melestarikan peninggalan sejarah di Indonesia, di Jakarta. Tentang betapa kota kaya sejarah itu makin kehilangan dirinya ditengah lautan mall dan hypermart. Merembet sampai soal langkanya ruang publik, tawuran, sistem yang membuat mentalitas dan jiwa kita makin berkarat sampai ujung-ujungnya cuma harapan buram tentang apa yang bisa dia lakukan selain ngomel-ngomel menjual konsepnya tentang art dan heritage di tengah negara yang rakyatnya masih harus ribut menuntut hak dasarnya yang diabaikan negara.

goede middag belanda,*
aku datang dengan senyuman yang mengembang untuk merajut masa depan
belajar serta menghapal rumus-rumus matematika kehidupan
mencatatkan puluhan kisah dan ceritera di halaman buku-bukuku yang lusuh
tentang kincir angin, bunga-bunga tulip dan musim dingin yang tak pernah bosan


Satu tahun kami disini. Ada yang datang belajar karena ketidaksengajaan, ada yang datang karenan tuntutan karir, ada yang datang untuk lari dari kebuntuan, ada yang datang dengan cita-cita dan mimpi. Namun kami toh tetap pulang juga, dengan kepala yang semoga lebih berisi, dengan hati yang mudah-mudahan lebih peka. Satu tahun adalah 365 hari yang cukup meninggalkan jejak pahatannya dalam karakter dan jiwa kami. Mudah-mudaha itu adalah pahatan yang menambah keindahan dan bukannya menambah daftar nama pembuat masalah.

Entah sudah berapa generasi sebelum kami datang dan pergi dari negeri ini dan negeri-negeri semacam ini. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka tapi kenapa perbaikan tak kunjung kelihatan dan semakin bingung harus dimulai dari mana.
Apakah mereka kalah? apakah mereka menyerah? ataukah tidak peduli ?

ah mengerikannya, mudah-mudahan tidak ada yang menulis dengan curiga seperti ini sepuluh-dua puluh tahun lagi.

*puisi favorit pinjaman dari Bang Anto*