Friday, June 16, 2006

Sleepless

Lagi-lagi soal perubahan musim. Kalau kemarin saat winter malam begitu panjang (jam lima sore sudah maghrib dan jam setengah tujuh baru subuh) di musim semi menjelang musim panas begini, matahari lebih dekat dan siang jadi panjang. Jam 3 pagi sudah subuh dan jam 9.30 malam baru datang maghrib.

Temperatur udara pun ampun-ampunan tidak konsistennya. Suatu hari saya hampir kisut kering dibawah sinar matahari 31 derajat, lalu besok paginya tiba-tiba drop jadi 20 derajat celcius. Sumuk, panas menusuk, memupuskan harapan yang dipupuk sejak winter bahwa saya bisa pulang ke Indonesia dengan kulit seputih Mariana Renata.

Adaptasi terhadap waktu shalat yang baru yang sangat terasa. Bentuk adaptasi pertama tentu saja dengan setia menunggu waktu shalat. Diawal-awal sampai terkantuk-kantuk menunggu Isya yang baru datang jam setengah sebelas (sekarang jam 12) malam. Adaptasi kedua dilakukan dengan menjama' maghrib dan isya kalau dirasa sudah tidak kuat lagi (secara fikih ini diperbolehkan), lalu blass bisa langsung tidur.

Tapi datang saat-saat dimana memang saya harus tidur malam (kalau nonton Grey's Anatomy, atau mengerjakan tugas misalnya) sehingga menggabung shalat semacam itu tentu saja tidak nyaman secara psikologis karena saya ternyata masih terjaga hingga jam dua belas malam.

Adaptasi ketiga yang akhirnya mengubah saya dari makhluk diurnal menjadi nocturnal. Tidur setelah Asar yaitu sekitar jam 6 atau jam 7, lalu secara otomatis akan terjaga pukul 9 atau sepuluh malam (karena jam biologis saya belum menangkap tanda-tanda 'malam' dengan matahari yang masih bersinar di jendela) sahalt maghrib, isya pada waktunya. Lalu terjaga hingga subuh datang sekitar jam 3, kemudian tidur setelah shalat subuh hingga pukul 7 untuk sarapan dan kuliah. Keuntungannya tentu saja selain bisa mengerjakan hal-hal yang bermanfaat (nyicil tesis) dan tidak bermanfaat (nulis blog semacam ini) dengan lebih tenang dan nyaman. Lebih sejuk dan tentu saja damai.

Tapi kadang manipulasi terhadap circadian ryhtm ini suka kebablasan. Contohnya hari ini, malam ini, saat ini. Pukul satu malam saya baru bangun setelah tidur dari jam tujuh malam. Masalahnya, tirai jendela saya tutup, kamar jadi gelap, maka jadilah 'malam' dan tubuh saya meresponnya dengan mengartikan, oke jamnya tidur, maka bablaslah 6 jam digunakan sebagai waktu tidur lalu terbangun karena tubuh saya sudah cukup dengan jatah tidurnya.

dan saya mungkin terus akan jadi sleeples in Maastricht begini, setidaknya sampai matahari sedikit menjauh lagi.

Thursday, June 08, 2006

PhD?

"Nanti langsung mau PhD ? banyak kan yang begitu?"
saya ingat banyak teman yang bertanya seperti itu menjelang keberangkatan saya kesini. Pertanyaan itu muncul lagi saat sedang menyelesaikan master thesis semacam ini. "Kenapa ga bikin proposal PhD, sekalian ?"

Duh,

Buat teman-teman saya yang memang datang dari bidang kesehatan, pastinya akan menarik untuk mencari kesempatan memperdalam ilmunya dengan merencanakan mengambil PhD nanti. Tapi buat orang yang crossover dari bidang jurnalistik ke bidang kesehatan semacam saya, butuh waktu untuk dapat 'insight' dari bidang ini. Dan caranya tak lain dan tak bukan yang dengan melihat sejauh mana saya bisa memanfaatkannya di dunia nyata nanti, di tempat kerja saya.

Sampai nanti, mungkin suatu pagi ketika baru bangun dari tidur saya langsung berpikir "Ok,kayaknya gw harus ambil PhD, nih" he he... maksudnya gini loh, punya ilmu itu berat tanggung jawabnya, di dunia maupun di akhirat. Dulu waktu memutuskan untuk sekolah lagi dorongannya adalah karena banyak pertanyaan berkaitan dengan dunia kerja yang saya hadapi yang tidak saya tahu jawabannya dan tidak ada yang dapat memberikan jawaban memuaskan (kenapa kita harus bikin program ini, kenapa tidak itu blah,blah,blah). Dan kemudian saya pikir, oke, ga bisa begini terus-terusan. saya harus sekolah.

Dan hal yang sama, akan berlaku pula untuk PhD. Saya yakin, insya Allah, akan ada masanya untuk itu. Dan sebagai orang yang percaya bahwa 'setengah gelas penuh', insya Allah kesempatan dan rejeki itu, jika membawa kebaikan untuk kehidupan dunia dan akhirat saya, juga pasti datang.

Tapi tidak pada saat saya merasa belum matang dan memahami dengan baik amanah ilmu yang saya pikul saat ini. Saya khawatir kalau akselerasinya terlalu cepat, jatuhnya jadi ilmu yang instan.

Kan ga lucu kalau setting di akhirat nanti saya ditanya, kenapa ambil PhD, lalu saya jawab
"Habis, keren aja" *grin*

Karena terus terang, saya belum menemukan alasan yang kuat selain itu untuk saat ini.

Monday, June 05, 2006

mengekspresikan perasaan

Lieve Mama

In mijn hart boem-boem
Groeit een reuzenbloem

ze is so groot!
ze is so mooi!

Wie maak ik reuzeblij?
dat ben jij!

-----------
Mama sayang,

Dalam debar hatiku
tumbuh sekuntum bunga mawar

ia sangat besar!
ia sangat indah!

Siapa yang membuat hatiku begitu berbunga?
Engkaulah dia!

----------------
Itu salah stau puisi yang dibacakan anak-anak waktu Moeder Dag (Hari Ibu) bulan Mei kemarin, manis yah? katanya, salah satu cara mengajarkan kecerdasan emosional pada anak adalah belajar menamai perasaan dan juga belajar mengkomunikasikannya. Kalau matamu berbinar dan senyummu melebar, nak.. itu artinya bahagia. Kalau ada air mata menetes dan dadamu serasa sesak, itu namanya sedih.

Mungkin disini ada perbedaan dengan kultur orang Timur yang biasanya diajarkan untuk memendam perasaan (benar ga?). Yah, kalau tidak suka dengan istilah memendam ya katakanlah tidak mengekspresikannya dengan berlebihan. Naah, term berlebihan sendiri sudah relatif sekali sifatnya. Yang berlebihan itu yang mana ? Kalau ibunda Khadijah dulu suka pada pemuda jujur dan baik bernama Muhammad dan kemudian mengekspresikannya dengan meminta pemuda baik itu menikah dengannya, berlebihan kah ? ataukah itu justru sikap ksatria yang tentu sah-sah saja jadi milik laki-laki dan juga perempuan ? *eh, kok ini yah contohnya?*

Yang jelas *maksa* saya setuju kalau kita diajarkan untuk mengekspresikan perasaan secara tepat, cermat dan bersahaja sejak dini. Nabi SAW sendiri mencontohkan demikian. Contohnya tentu doa yang senantiasa kita hapal sebagai anak untuk orang tua

ampuni kami
juga ayah bunda kami

sayangi mereka
bagai mereka sayang kami

Belajar mengekspresikan kasih sayang itu saya pikir perlu karena kalau tidak, jatuhnya akan berujung pada sifat overacting yang sangat-sangat tidak nyaman untuk orang lain, maupun memendam dalam-dalam yang jatuhnya pada penyesalan. Saya ingat waktu almarhum Bapak saya meninggal, diam-diam saya bertanya dalam hati, bahwa kalaupun belum sempat membalas segala kebaikan dan pelajaran yang beliau berikan, adakah saya sudah memberikan kesempatan pada dirinya untuk tahu betapa besar rasa cinta saya untuknya ? juga untuk mamah saya ? karena saya tidak sempat menulis puisi kemudian memandang matanya sambil berkata

wie maak ik reuzeblij?
dat ben je!

Thursday, June 01, 2006

Negeri Seribu Bencana

Ya Allah
untuk segala duka yang Kau masukkan kedalam kehidupan bangsa kami
jadikan itu sebagai ujian yang menguatkan
bantu kami untuk berdiri
mendongakkan wajah kami menantang matahari
menaklukkan segala kebusukan yang tersembunyi

Maafkan kami atas lautan luas yang mendangkal
sungai yang menghitam
hutan yang terbakar
oleh kerakusan dan keserakahan

rusak sudah akhlak kami
berjalan kami dengan jiwa yang retak
hati tak hidup kepala tak berisi

moga Kau ampuni

Namun jangan sampai kau biarkan kami lelah dan payah
menggigil sendirian dalam duka

Bantu kami untuk percaya
bahwa kami cukup mulia untuk kelak
melahirkan jiwa-jiwa pemberani dan kstaria
moga jika bukan untuk kami, jika tidak saat ini masanya
dapat kami titipkan cita-cita
pada mereka yang berjiwa ksatria.