Monday, February 27, 2006

Milad!

Pagi ini, dari kaca jendela kamar saya memandangi kepingan-kepingan salju yang melayang-layang dari langit. di layar YM dan sms, pesan-pesan dari sahabat-sahabat tersayang menyapa

hey! 26 tahun yah ?
waw!
subhanallah!
gile!
26 tahun!

waw....

mau bilang apa yah ?
alhamdulillah pastinya buat satu hari lagi kesempatan memperbaiki diri. Saya banyak diberi, sehingga tak akan bisa diurai lagi satu-satu. hmmm.. 26 tahun. Tua? ga tahu yah, saya susah tuh ngerasa tua. Mungkin karena pengarus status sebagai anak perempuan paling kecil dikeluarga atau juga karena disini rata-rata banyak yang lebih tua dari saya ? atau mungkin perasaan bahwa no matter how old i am, the world still too much too learn n sometimes i felt like eight years old girl stand with wide eyes open for many wonders that world could offer. Selalu ada momen dimana saya tetap bisa dibuat terkesima dan ber'waw' ria-- cuma karena dah ngaji jadinya ditambah 'subhanallah' he he he. Cuma mungkin skalanya, momennya, efeknya, ibrahnya, berbeda dari masa ke masa.

Ditambah lagi, prinsip saya adalah kalau buat hal yang ga enak, liatnya ke bawah.. jadi dalam masalah tua menua ini... masiiiiih baaaaaaanyak orang yang jauh lebih tua dari saya. Jadi apalah artinya menjadi 26 tahun buat seorang saya selama masih ada Titik Puspa (lhaa?). Masih single fighter ? wuah, jangan kata saya yang manis dan menawan hati, Siti Nurhaliza aja belum ada menjatuhkan pilihan (wa ka ka ka...).

jadi, 26 tahun, hah ?
single,old and unhappy ?
naah, i would prefer : independent, wise and full of bless (ha ha optimis bangat euy!)

oh, ya tag dibawah yang dari liliepy itu, kekanak2an bukan ? sebenarnya dipasang karena penasaran apa yang akan terjadi di web saya kalau pas hari H, ada apa gitu,balon meletus, confetti berjatuhan atau apa lah... tapi ternyata gitu doang. Udah gitu anak cewe berambut kriwil2 model begitu bukan saya sekali (sampe sekarang mengidam2kan sih punya rambut kriwil2 kayak meg ryan, kayaknya seksi aja he he he).

Bagaimanapun, saya harap, semoga saya selalu punya cukup kesyukuran untuk berbahagia berapapun usia yang Allah akan titipkan untuk saya. Ada tahun-tahun dimana saya merasa bodoh, ga punya ide hidup saya mau dibawa kemana, tapi insya Allah ada banyak tahun-tahun kayaknya hidup tersenyum dan diciptakan memang untuk saya dan kadang agak2 ngelunjak sama yang punya hidup dengan berkata dalam hati "i am the master of my own destiny"padahal ya ga gitu-gitu amat, tapi ga peduli berapapun umurnya, i will love it anyway.
jadi, ayo ... mainkan lagunya

selamat hari lahir
iringan doa ku hulur
bersyukur kepada-Nya
atas nikmat usia

*dulu, biasanya suka nyanyi nasyid ini adalah inggrid, sahabat saya yang mengklaim dirinya punya suara bagus (huek wek wek...) wah, pa kabar bu di negeri jiran sana *

Tuesday, February 21, 2006

membesarkan hati ...

Ini soal kuliah. Baru terima hasil ujian policy analysis kemarin dan saya cuma dapat nilai tujuh. Dan untuk pertama kalinya saya merasa ga puas dan terganggu. Kayaknya kemarin saya mengerti konsep yang didiskusikan, kayaknya pemahaman saya sama bagusnya dengan yang lain, trus apa yang salah?

Heran juga. Biasanya perkara nilai ini ga akan menganggu saya selama saya merasa sudah bisa menangkap esensinya dan bisa menggunakannya dalam melihat dan memaknai realitas yang saya hadapi. Bagaimana yang saya pelajari dapat menerangkan apa yang melatar belakangi sebuah fenomena dan bagaimana solusinya, saya akan puas. Perkara dapat berapa ga begitu penting lagi. Begitu mikirnya. Dan kebetulan nilai yang saya dapat selama ini ga begitu jauh dari perkiraan saya.

Tapi kok yah yang ini jadi terganggu sampai-sampai saya curhat dengan seorang teman dan dengan sengaja kirim email ke seorang teman lainnya soal ini. i am questioning my ability, keluh saya. Teman saya bilang, ur good. Dia juga heran biasanya saya stay positif aja dalam menilai segala sesuatu. Saya minta sama teman lain untuk melihat jawaban ujiannya. Yah, ketemu deh masalahnya. Cuma beda masalah stressing aja rupanya. Jawabannya intinya sama tapi saya lebih berat membahas pada siapa yang muncul sebagai agenda setter, sementara kayaknya perspektif pak tutor lebih pada apa yang akan muncul sebaga agenda. Saya jawab juga soal itu tapi tidak dengan pembahasan lebih dalam.

Ikhlas itu, menerima hasil akhir, ternyata kadang-kadang sulit yah. Setelah kita menjalaninya dengan proses yang maksimal, adalah kewajaran kalau kita juga menuntut hasil yang maksimal. Saya ingat waktu mau berangkat ke sini, ada teman, namanya Zulfikar. Dia itu kordinator OB di kantor saya. Dia mengeluh, mba attin sih enak, semuanya kayaknya semua tercapai aja. Saya tuh gagal melulu mba. Dia bercerita tentang cita-citanya, usahanya daftar ini daftar itu ke sekolah ini ke sekolah itu, dan disinilah dia berakhir, jadi OB. Dia belum menyerah, malamnya dia kuliah lagi disebuah universitas swasta. Waktu itu saya bilang apa yah sama dia ...jangan kecil hati zul, ikhtiar kita itu sudah dicatat jadi sebuah amal kok, punya cita-cita tinggi aja udah sebuah prestasi (or something like that).

Dan saat itu saya jadi ingat, bahwa mimpi-mimpi, keinginan-keinginan yang terkabulkan adalah anugerah luar biasa yang tak cukup dengan hamdallah saja kita mensyukurinya. Di luar sana, ada berapa juta orang yang patah hatinya dibenturkan dengan kenyataan bahwa takdir tak selalu berkesusaian dengan harapan dan ikhtiar. Maka kalau saat ini kita berdiri sesuai dengan keinginan hati, duh alangkah besar nikmat itu.

Dan saya sekarang misuh-misuh, mengeluh tentang semestinya setelah segala usaha yang saya lakukan, saya bisa mendapat lebih dari tujuh ....

teman lain bertanya, "jadi kamu mengejar ngerti apa ngejar nilai?" nah, lo...

come on gal ...
bukan anak smu lagi ... sebentar lagi mau genap 26 tahun
jangan memandang nilai dengan ke kanak-kanakan seperti beberapa orang yang kamu kenal. Tanpa kerendahan hati dan kedalaman menghargai. Nanti seperti itu pula cara kamu menilai segala sesuatu. Lupada pada esensi dan lebih terkesima pada yang artifisial.

kita tidak mau jadi orang seperti itu, bukan?

Sunday, February 19, 2006

Mau Pulaaaang ...

Sari pulang! huhuhu... soalnya dokter Unpad ini cuma ada di Maastricht selama enam minggu. Di Maastricht, ibu ini terdaftar dalam program MHPE yang diperuntukkan buat tenaga pendidik kesehatan. Programnya sandwich gitu deh. Jadi setahun sekali selama enam minggu akan tinggal di Maastricht. Ini yang kedua kalinya Sari datang, tahun besok mestinya jadi tahun terakhir.

Wah, jadi sepi lagi deh. Walaupun disini saya menikmati proses belajarnya, kesehariannya, tapi kalau melihat orang pulang begitu bawaannya jadi pingin pulang juga...
huhu masih tujuh bulan lagi ...
sabar yah ...
mudah-mudahan waktu itu memang benar-benar terbang

*waktu itu Daru sms dari Surabaya, "Enakan tinggal di Maastricht lagi Tin, di Indo ga enak, banyak bencana"

Tuesday, February 14, 2006

Jalan-jalan

Huaaah... alhamdulillah akhirnya ujiannya dah lewat. Dah belajar bareng, dah belajar sendiri, dah tidur telat, dah maksimal usahanya. Apapun hasilnya (kecuali failed) buat saya dah ga terlalu penting lagi.

Sekarang cerita soal jalan-jalan keliling Eropa (haiya! gaya banget keliling Eropa, padahal cuma ke Jerman, Belgia dan Perancis) beberapa waktu yang lalu. Beberapa teman sudah ada yang mulai perjalanan keliling-keliling ini lebih awal. Dulu waktu di guesthouse, teman-teman saya yang dari Asia ga pernah ada dikamar tiap weekend karena sibuk keliling-keliling. Ya ke Venice, ya ke Praha atau kemana lah. Saya, berhubung modalnya ga sekuat mereka (beasiswa, tauk dirilah) cuma cengengesan kalau ditanya weekend ini mau kemana. Ayako juga sering nanya sudah pernah ke Thailand belum? sudah pernah ke Paris? sudah pernah ke Munich ? kayaknya dia pikir travelling all around the world itu buat saya sama gampangnya dengan naik bus 510 Kampung Rambutan-Ciputat.

Tapi selain itu, faktor adaptasi dengan ritme belajar dan beban kuliah juga jadi pertimbangan. Belum lagi musim yang tahu-tahu sudah musim gugur, tahu-tahu sudah musim dingin. Apalagi yang paling enak kalau nggak tinggal dikamar, menggelung dalam selimut dekat-dekat vervarming. Sambil nge-bakso kalau bisa. Ada teman anak asia yang permulaan musim dingin kemarin main ke negara kawasan scandinavia. Saya sampai bingung sendiri, ga mau ke tempat yang lebih hangat apa? Tapi waktu turun salju kemarin jadi sadar, ya bedalah interes anak pulau matahari dengan orang-orang muka pucat. Buat mereka yang menarik yang hangat-hangat, buat kita lihat salju turun itu pemandangan luar biasa.

Jadi begitulah, setelah dirasa cukup adaptasi, dikombinasikan dengan teman-teman seperjalanan, plus musim korting transportasi disana-sini, jadilah saya jalan-jalan ke daerah yang agak jauh sedikit. Pertama,ke Heidelberg di Jerman. Tidak Jerman pinggiran seperti Aachen yang jadi surga belanjanya orang Maastricht, tapi ini jauh ke pelosok Jerman sana. Butuh waktu sekitar enam jam lah naik bis lalu bersambung dengan kereta api. Jadi ini Jerman serius lah.

Jauh!
Ternyata Jerman itu luasnya minta ampun. Pegel banget di kereta. Dan kami harus ganti kereta sekitar empat kali di Koln, di Beltz (?), Manhein dan akhirnya ke Heidelberg. Dan ganti kereta itu ya kok ternyata makin jauh ke Jerman kualitasnya mengalami penurunan. Dari stasiun Aachen kami naik kereta yang lumayan sama bagusnya dengan kereta intercity di Belanda yang besar-besar. Lalu berhenti di Koln. Di kota ini sempat lari-lari demi foto session dulu depan gereja terbesar di Jerman yang ternyata benar kata teman-teman saya ("Wah, Gede Banget!") dari Koln lalu nyambung dengan kereta yang mulai agak-agak sempit, lalu dipemberhentian selanjutnya; loh, kok keretanya pendek? stasiunnya juga kok kayak stasiun terbengkalai begini,beberapa menit masuk kok rasanya sumuk, vervarmingnya disetel terlalu panas ternyata, mau pipis; wc-nya kapot (rusak). Wuah, jangan-jangan di pemberhentian selanjutnya keretanya sama parahnya dengan kereta diesel di Sukabumi. tapi ternyata nggak. Cuma kami kebagian gerbong dengan bau alkohol menusuk. Lantainya juga becek dan sampah berserakan. tapi alhamdulillah akhirnya sampai juga ke Heidelberg Haufbanhof (main station)

Heidelberg ?
Nah, ini juga yang menandakan saya ga serius jalan-jalan. Sebab kalau ditanya mau ngapain atau mau lihat apa, terus terang saya ga tahu. Yang saya tahu disana ada Mba Titut dan Mas Tomi yang bisa kasih tumpangan nginap gratis (sekalian silaturahmi juga dong!). Jadi waktu sampai dikawasan Centruumnya, dalam hati sih agak-agak kuciwa. Ya, ampun kalau cuma belanja-belanja mah di Maastricht aja atau ke Aachen sekalian. Jadi ngapain nih? di depan sebuah mall besar yang ada liftnya Sari bilang, kita naik lift yuk! (gubrak!) tapi ide norak ini langsung di amin-kan sama semua anggota rombongan "naek aja, nanti kan berabe kalo di tanya lo udah pernah ke Heidelberg belum? naik liftnya kagak? wah, lo belum ke Heidelberg namanya kalo belum naik lift-nya," Jadilah delapan orang mahasiswa yang terdiri dari dari para calon master dan seorang calon PhD itu berebutan naik lift dengan noraknya. Setelah ber-''Uuuh", "aaaah" menikmati pemandangan Centruum Heidelberg dari lift kaca lalu... ya turun lagi.

Untungnya Sari berinisiatif membeli peta dan buku panduan turis jadinya yah ga blank-blank amat. Masuk ke kawasan centruum, ada beberapa situs sejarah yang sebagaimana umumnya di negara barat, terjaga dengan baik. termasuk gereja besar The Holy Spirit dengan lima jendela besar yang katanya melambangkan Bunda Maria (ga ngerti sih apa maksudnya, Beni kali yang tahu). Dari situ kami semua belok menuju jembatan besar yang membelah sungat Rheine. Targetnya: foto-foto! langsung deh Mas Ari yang jadi seksi dokumentasi pasang kamera. Beneran deh anak-anak Maastricht ini banci foto semua!


Waktu di jembatan Mas Tomi telepon, makan dan shalat disini aja. Oke, akhirnya semua bergerak ke tempat mereka. Makan malam, Shalat, ngobrol-ngobrol, yang bapak-bapak jalan ke Hostel, yang ibu-ibu (saya dan Sari) tinggal di tempat MbaTitut dan Mas Tomi.

Besoknya pagi-pagi kami berencana untuk mendaki Kastil (schloss) Heidelberg yang letaknya ternyata ga jauh dari kediaman mereka berdua (tepat dibawahnya kalau mau mau dibilang begitu). Mas Tomi yang baru datang dari Jakarta sekitar semingguan dan masih menggigil menyesuaikan diri akhirnya berhasil dibujuk-bujuk buat ikutan.

Kastil ini didirikan pertama kali oleh Prince Elector Ruprecht III (1398 - 1410). Beberapa kali ditambah sana-sini sayap-nya sampai akhirnya kastil ini salah satu bangunan penting dalam sejarah arsitektur Jerman. Didalamnya juga ada museum fermentasi anggur dan museum Farmasi. Duh, sakit hati deh ngelihat isinya. Bagaimana bahan-bahan untuk ramuan itu mereka datangkan dari negara 'Belanda' yang ternyata dari petanya itu adalah our very own Indonesia! makin lama saya di eropa ini, makin sadar betapa kaya-nya kita dan betapa 'tidak punya apa-apanya' orang barat ini.

Perjalanan ke kastil Heidelberg itu beneran buat asyik-asyikan banget. Habis deh waktu buat foto-foto.Waktu chatting sama kakak saya dia tanya, jadi lihat manusia cro magnon ga disana? saya langsung bingung, oh iya yah? baru ingat kalau memang di situ ditemukannya? he he habis ga ingat sih. Di toko souvenir saya beli beberapa gantungan kunci dan cendera mata piala dunia 2006 yang khusus saya alokasikan buat teman-teman office boys di LKC.

Terima kasih juga dong buat keluarga Titut-Tomi atas sambutan hangatnya. Kapan-kapan main ke Maastricht yah...

Shalat
Menempuh perjalanan jauh, apalagi di negara Barat seperti ini jelas sangat sulit untuk menemukan masjid atau mushalla terdekat. Jadi konsekuensinya saya sudah terbiasa untuk shalat di kereta atau di dalam bis kalau menempuh perjalan jauh. Waktu mau ke Heidelberg ini saya mengingatkan Sari untuk bawa perlengkapan shalat. "Aku punya kerudung kaos kalau kamu mau," kata saya menawarkan. Si ibu lebih memilih untuk membawa mukena. Agak ga setuju sih sama idenya tapi kalau doski pede aja, ya sok lah. Dan ternyata benar juga prediksi saya. Waktu shalat di kereta menuju Manheim, didepan kami duduk bule perempuan yang tampangnya langsung panik waktu melihat sari mulai bongkar-bongkar tas dan memakai mukena (cuma atasannya aja). Seusai shalat Sari bilang, "Tin, lo liat ga bule yang didepan kita. Kasihan banget yah, tampangnya tegang begitu." terkekeh-kekeh kami mencuri pandang ke bule malang yang dengan cemas mencengkeram tas dipangkuannya. Matanya terpaku pada layar di dalam kereta yang menginformasikan pemberhentian berikutnya (waduh,kapan nyampe sih, kapan nyampe sih...) . saya lalu usul," ya udah, supaya dia tenang dikit gimana kalau kita tunjukan perilaku manusia normal lainnya? ngupil ?" he he he. Begitu kereta berhenti, si bule langsung buru-buru kabur.

Obrolan Ga Penting Para Dokter
Ini waktu Beni sama Doni (baca:de-ho-ni)ngobrol soal main-main ke Amsterdam sambil menunggu kereta ke Mahheim. Dua-duanya orang Jawa, jadi kebayang lah betapa lucu dialog mereka. Satu dengan logat Suroboyo dan satunya lagi Yogya yang kental
Beni : Kamu ke red lightnya ga, Don ?
Doni: Oh, iya aku dah kesana
Beni: cantik-cantik yah (atau komen sejenis ini lah)
Doni: Opo toh,ora! Lemu-lemu (gemuk-gemuk) masih bagusan juga pasien, Ben!
pendengar: Gila lu Dooon!!!!????
Huaaa! tolong dicatat yah oleh IDI, ini ada anggotanya namanya dr. Doni Widiandana kelakuannya ga beres! ga bakal deh berobat ke Doni kalau gitu (ha ha ha)

Brussel dan Mannekin Pis
Seminggu setelah pulang dari Heidelberg, saya dan Sari memutuskan untuk main ke Paris. Sebenarnya dah lama ingin kesana dan jelaslah Paris itu kota wajib kunjung. Tapi ya itu tadi, menunggu waktu yang tepat. Kalau ada teman jalan yang asyik itu lebih cool lagi. Naah, kebetulan ada famili Sari yang bekerja di KBRI Perancis. Tapi si ibu ini dah pernah ke Paris tahun kemarin, "Masak gue ke Paris lagi, Tin," huaaa! sombongnya hihihi...jadilah saya merengek-rengek ayo dong ke Paris, temenin aku. Tahun kemarin kan kesana ga sama aku, jadi beda dong!

Tapi akhirnya memang kalau jodoh ga kemana, kalau memang harus ke Paris ya ke Paris juga akhirnya. Sari akhirnya setuju buat ke Paris (entah karena rayuan maut saya berhasil atau justru dah muak diajak-ajak ke Paris melulu yah ?) . Kebetulan lagi ada promosi dari bus Eurolines. Untuk ke Paris dari Maastricht, kami naik kereta ke Liege selama satu jam. Lalu dari stasiun Liege Guillemain, naik kereta ke Brussel Noord untuk nyambung dengan bis Eurolines. Tapi karena ingin jalan-jalan di Brussel, kami memutuskan berhenti di Brussel Midi.

Keluar dari stasiun Brussel Midi kami menuju Grand Place, buat lihat bangunan-bangunan tua seperti City Hall yang selamat waktu Louis ke XIV membumi hanguskan Brussel tahun 1695. Tujuan utama jalan-jalan di Brussel Midi juga adalah buat melihat Manekin Pis, patung anak kecil yang lagi pipis, yang jadi trade marknya Belgia. Susah payah menelusuri jalan dengan tanda panah bertuliskan "manekin pis" dari semua penjuru Brussel yang mengarah pada satu pojokan. Pas ketemu sama patung anak Pipis yang konon katanya bernama Juliannske yang menyelamatkan Brussel dari kepungan musuh itu, langsung sebel gitu. Habis ya ampun, ternyata cuma begini doang yang namanya manekin pis itu! mencil di pojokan kayak ga ada tempat lagi yang lebih layak. Pokoknya kecele berat deh. Beberapa turis dari Jepang kayaknya juga merasakan yang sama karena mereka langsung cekikikan dengan ekspresi "ya ,ampun males banget deh" begitu sampai ditempat yang sama.

Disamping site manekin pis itu (pas nempel,makanya saya bilang kayak ga ada tempat yang lebih pas lagi buat bangun gitu-gituan) ada toko coklat dengan pelayan perempuan yang dengan sabar menanti turis-turis kecele foto-foto dengan manekin pis. Mleihat kami sudah selesai, dengan ramah dia mengundang kami masuk ke toko cokelatnya. Menawarkan beberapa potong coklat untuk dicoba terus berpromosi menawarkan beberapa paket coklat. Wuah, pokoknya tokcer abis deh tuh mba-mba, sampai-sampai saya langsung beli satu dus cokelat Belgia seharga 25 euro berisi 12 paket. Kalau saya punya toko, boleh-boleh deh si mba itu kerja sama saya. Setelah beli beberapa cendera mata, foto session dong di depan Old House dan Royal Palace di kawasan Grand Place itu.

Eh, lupa... ingat Belgia pasti ingat Tintin kan? tokoh anak cowok detektif berjambul tea?! nah, pas jalan-jalan di kawasan Grand Place itu, nemu deh butik Tintin. Lihat-lihat barangnya akhirnya sepakat buat beli tempat pensil dengan label asli 'Herge'. Bagus tapi terus mikir-mikir ini mau dipakai sendiri atau buat seseorang yah? hmm... tergantung juga, 'seseorang' itu suka Tintin atau nggak, kalau nggak ya sayang dong!

Dua jam di Brussel Midi, kami naik kereta balik lagi ke Brussel Noord untuk check in bus Eurolines, menukar reservasi yang sudah kami buat via internet. Jam satu bis sudah datang dan akhirnya berangkatlah kami berdua ke Paris.

Bienvenue A Paris!
Jam lima akhirnya bis kami memasuki kawasan Paris. Hmm... kesan pertama memasuki kota penting dalam banyak titik sejarah kebudayaan Eropa ini adalah: 1.ternyata ga bagus-bagus amat 2. jalan tol lingkar luar Jakarta ga kalah keren deh kayaknya 3.ini karena efek lima bulan tinggal di kota tenang dan damai seperti maastricht maka-ya ampun! orangnya banyak amat yak?! Di Terminal Eurolines kami dijemput Rudi,salah satu kerabat Sari di Paris.

La Ville Le Lumiere (kota cahaya) yang konsep modernnya dikerjakan oleh Haussman dibawah pemerintahan Napoleon III tahun 1840-an ini dibangun dengan tata kota menyerupai cangkang keong. Jadi seperti spiral yang memusat kedalam. Ada dua puluh distrik dalam lingkar spiral ini. Yang paling luar, Paris 20 kalau ga salah namanya Bagnolet. Paris 1 itu ada di ...pasti nyangkanya di Eiffel, tapi ternyata tidak tuh. Eiffel itu terletak didaerah Paris 16.

Karena itu makanya dari lingkar luar-nya Paris itu ga terlalu mengesankan, tapi begitu masuk semakin dalam ke kota, ditambah hari yang meranjak malam, lampu-lampu menyala termasuk lampu di Eiffel, Paris pun jadi nyata indah. duh ternyata terasa nuansa romantisnya. Sayang, perginya sama Sari sih coba kalau sama ....he he (Sar, kalo baca ini jangan sebel ye).Tapi langsung lupa begitu dibawa ke restoran Vietnam dekat Champs Elysees buat makan malam. Nyam,nyam...

Belanja di Champs Elysees
Ini beneran belanja loh! jadi karena tante-nya Sari punya bisnis jual beli produk fashion dengan beberapa butik di Jakarta, jadilah kami diajak belanja. Dan karena Louis Vuitton, Guchi dan kawan-kawannya itu termasuk barang mewah, ada aturan bahwa turis tidak boleh membeli lebih dari beberapa item. Mereka harus menunjukkan paspor dan terdaftar di Louis Vuitton sebagai pembeli.

Maka jadilah si tante belanja dengan menggunakan paspor kami berdua. Jadi coba yah, nanti kalau ke Louis Vuitton di Champs Elysees, tolong dicek pasti ada nama mademoiselle A.Parihatin berbelanja dua tas seharga masing-masing 950 euro! saya lihat bill atas nama Madame Sari, gila! 2.800-an euro! So, karena momen-kapan-lagi-belanja-ke-Louis Vuitton ga datang tiap satu tahun sekali, saya dan sari bisik-bisik " habis ini didepan butik foto-foto yah"kudu itu, pan bukan orang Indonesia kalau ga banyak gaya, he he he

Jadi begini yah rasanya ada dipusat kapitalis mode dunia. Saya berdiri didepan sepatu seharga 700 euro di Lousi Vuitton itu. Lalu memandang sepatu berhak 5 centi di kaki saya yang saya beli di Schoenen Reis, toko sepatu di Maastricht waktu Opruiming (cuci gudang). Dari 22 euro dipotong hingga 6 euro saja saudara-saudara. Sepatu saya memandang balik dengan galak. Kenapa?! ga pede?! saya nyengir. Siapa bilang, neither minder nor ga pede, sebaliknya, saya masih tetep ngerasa keren tuh!

Tapi melihat bisnis si tante jadi miris juga sama kelakuan orang Indonesia. Ga sopan banget ternyata orang-orang Indonesia itu. Sekalinya kaya bisa menghabiskan 10 juta hanya untuk sebuah tas? yaaa, bolehlah orang bicara soal loh itu hak gue dong sebagai orang kaya. Iya sih, jadi kaya itu ga dilarang, tapi kalau jadi orang kaya dalam sistem yang membuat disparitas sosial begitu besar, apa bisa bahagia gitu ? Saya ga habis pikir, pasti susah yah untuk bersyukur atas hal-hal kecil dalam gaya hidup tas 10 juta seperti itu.

Akhirnya kami pulang ke rumah tante di rue d homme (kalau ga salah). Setelah berkutat cari parkiran startegis, dengan dibantu seorang pemuda bertampang arab pemilik toko kelontong depan flat, akhirnya kami berhasil parkir. Eh si tante bilang, "dia (yang bantu parkirin) nanya tuh, yang pakai jilbab siapa madame? saya suka kalau melihat perempuan Indonesia memakai jilbab" huaa! langsung pada cekikikan. Gimana kalau besok saya beli jeruk di tokonya, siapa tahu bisa dikasih murah ha ha

Jadi Pietons
Esok paginya cuaca cerah dan hangat (10 derajat). Diantar tante, kami turun di Trocadero untuk memulai penjelajahan di Paris sebagai pietons (pedestrian). Dari Trocadero, tempat dua museum (musee d'cinema dan musee d'homme) dan sekaligus landmark strategis untuk mengambil view Eiffel secara keseluruhan. Dari situ kami berjalan ke arah Eiffel di Champs de Mars, menara yang dibangun Gustave Eiffel tahun 1889 ini dulunya pernah dicela-cela oleh warga Paris sebagai monster 'nggak jelas' yang merusak keindahan Paris. Tapi rupanya setelah jadi dilihat-lihat bagus juga kali ye. Menara Eiffel ini tercatat sebagai bangunan tertinggi didunia sampai tahun 1930 ketika menara Chrysler di New York selesai di bangun. Jalan-jalan di Paris itu lebar-lebar. Katanya dulu waktu atas permintaan Napoleon, Haussman diminta mencari jalan buat mengakali gejolak politik di Perancis yang rawan demo dan revolusi. Untuk mengatasi masalah pertahanan dan keamanan akhirnya didesainlah jalan-jalan yang besar. Alasannya ini untuk memudahkan gerak pasukan jika sewaktu-waktu terjadi kerusuhan.

Tapi yang lalu lintasnya sembrononya minta ampun! terbiasa selalu didahulukan sebagai pejalan kaki di Belanda (saya dan sari suka sengaja excercise of power dengan para pengemudi di Belanda kalau menyeberang-ayo, berhenti ga lo,berhenti ga) disini gila deh! Karena banyak orang asing, lampu merah juga kadang dianggap angin baik oleh pejelan kaki maupun pengemudi.

Dari Champs de Mars (tempat yang dulunya dipakai pasukan Perancis buat baris-berbaris) kami berjalan kaki mengikuti peta ke 'hopital les invalides yang dibangun raja Louis XIV untuk rumah sakit bagi orang cacat dan prajurit (maklum dulu kan Perancis suka perang kesana kemari). Tempat ini sekarang jadi tempat dikuburkannya (peti mati ) beberapa orang yang dianggap berjasa dalam sejarah militer Perancis seperti Joseph Bonaparte (kakaknya Napoleon) dan Napoleon II. Dari situ terus ke geraja tempat peti mati Napoleon Bonaparte. Tidak masuk ke gerejanya (habis harus bayar sih) jadi tidak lihat de la fosse allegories, lukisan di dome gereja yang katanya bagus.

Dari kawasan Invalides itu kami terus ke arah sungai Seine. rencananya mau ke museum Rodin (inget kan patung the thinker ? nah itu dia yang buat). Tapi begitu sampai di museum ternyata untuk masuk tiketnya seharga 7 euro. Ga jadi deh. Tapi mau pipis nih, akhirnya tanya sama bertugas jaga pintu, ada WC ga ? katanya ada. Eh, terus ditanya, anda mau masuk museum atau cuma mau pipis? dengan tampang tidak bersalah saya bilang mau pipis aja he he.. dengan pandangan harap-maklum-ini-turis-kebelet si petugas dipintu kordinasi dengan yang jaga pintu tiket untuk menunjukkan kami posisi toilet. Habis pipis, foto lagi... yah kalau pun ga masuk setidaknya ada foto yang menandakan kami pernah punya niatan yang nyeni.

Dari Rodin kami terus menyusuri sungai seine melewati jembatan Alexander III yang disebut-sebut sebagai jembatan terindah di dunia. Kalau ga salah dibangun khusus untuk menghormati kedatangan kaisar Alexander. Ga jelas sih Alexander yang mana, yang dari Macedonia itu? ga tahu deh. Tapi jembatannya oke lah (kasihan banget yah arsiteknya kalau semua orang cuma komen begini). Rencanany dari situ mau ke museum d'Orsay. Museum ini punya koleksi karya seni dari zaman yang lebih baru dari yang ada di museum Louvre. Tapi hari sudah sore dan saya lebih tertarik buat ke Louvre yang terletak tepat didepan d'Orsay.

Dari sini saya dan sari berpisah. Sari lebih tertarik buat melihat catacomb de Paris karena tahun kemarin dia sudah ke Louvre. Catacomb de Paris itu terowongan yang dulu digunakan sebagai pemakaman (travelling in the most artistic city in Europe to see a mass burial place ? what a romantic idea deh sar!) dan saya terus ke Louvre. Jam empat kami janjian untuk ketemu kembali di Trocadero.

Akhirnya; Louvre!
so, here I am. In one of the largers and most famous museum in the world. Dari depan carrousel (arc de triumph mini), tiga piramida kaca yang dibangun IM Pei sudah kelihatan. Bener juga kalau orang Perancis dulu agak-agak ga rela pemdanya bikin rencana menambah piramida kaca seperti itu. Kalau dilihat memang agak-agak ga matching aja dengan lingkungan sekitar. Dikompleks Louvre yang antik itu para piramida yang jadi pintu masuk ke museum jadi seperti bangunan yang nggak jelas apa perlunya ada disitu.

Setelah beli tiket seharga 8 euro, saya mengambil peta museum di meja infomasi. Cuma punya waktu satu setengah jam buat lihat-lihat. Bahkan sekedar skimming pun jelas tidak bisa. Akhirnya dari tiga sayap utama yang ada di Louvre (Richeulieu, Denon dan Sully) saya langsung memutuskan untuk ke Denon. Alasannya, disini ada monalisa-nya Leonardo da Vinci itu (he he he alasan penting dong, nanti kalau ada yang nanya "lo udah ke Louvre belum? lihat lukisan monalisa nggak? wah, lo belum ke Louvre kalau belum lihat monalisa," kan berabe).

Di Hall utama Denon yang jadi pusat perhatian adalah patung Victory of Samothrace, pahatan yunani yang ditemukan tahun 1863 yang melambangkan kebebasan. Karena waktunya sempit saya langsung ke koridor tempat lukisan Itali, yang jelas karya-karya awal didominasi cerita-cerita dari Injil. Banyak lukisan penting, para pelukis penting (ada Botticelli di pintu masuk) yang sayangnya ga bisa dililhat lama-lama dan voila! sampai di deretan lukisan karya Leonardo da Vinci lalu disambung dengan karya Raphael yang mirip abis tekniknya dengan Leonardo da Vinci lalu ke Cavaggio yang mengingatkan saya pada lukisan siapa tuh, yang gambarnya perempuan-perempuan Polinesia itu ? ah, ya:Gauguin.

Dari koridor itu terus berbelok masuk ke tempat lukisan Perancis. Ga familiar dengan lukisan nya kecuali lukisan The Coronation of Napoleon I karya Jacques Louis David dan lukisan Liberty Guiding People karya Eugene Delacroix yang pernah saya lihat di munjid (ensiklopedi bahasa Arab)kakak saya. Lihat jam di HP, waduh sudah jam setengah empat! terburu-buru saya mencari pintu keluar. Waduh, jalan kaki ke Trocadero kayaknya nih. Soalnnya lupa untuk ngecek dimana tempat Metro (trem bawah tanah) dari Louvre ke Trocadero. Ga tahu pula gimana cara naiknya!

Telat setengah jam, huaa Sari dah 'mencak-mencak' lewat sms karena kedinginan. Tapi akhirnya sampai juga. Fiuh!

Skimming Paris
Hari berikutnya agendanya adalah pulang karena kami harus sudah chek in di terminal bus eurolines sebelum jam 11. Alhamdulillah ada si Om yang setuju untuk mengantar kami ke beberapa site yang kemarin belum ditengok. Jadi mampirlah kami ke Arc de Triumph. si Om menganjurkan untuk mengambil foto ditengah-tengah penyeberangan. Boleh gitu om ? "boleh, aja.. turis-turis kalau foto memang disitu" ya sud, karena merasa turis dan turis adalah raja jadinya ga masalah lah foto-foto ditengah lalu lintas gitu.


Dari situ terus diantar lagi ke Louvre untuk foto-foto (kemarin kan sendirian, ga bisa puas foto-foto). Dari situ ke Concorde de lafayette, tugu peringatan (obelisk dari Mesir) tempat louis ke XVI dan Marie Antoinette di guilotinne waktu Revolusi Perancis 1789. Dari situ melewati penjara Conciergerie yang dulu dipakai untuk memenjarakan Marie Antoinette sebelum dipenggal, menuju Notre Dame. Di gereja terpenting dalam sejarah Perancis ini (Napoleon di angkat disini) ada titik yang namanya zero point. Takhyulnya sih kalau menginjak titik ini Insya Allah bisa balik lagi ke Paris. Percaya ga percaya injak ajalah, lha wong ada ditengah-tengah gitu kok, gimana ga keinjak. Tapi yah siapa tahu seandainya Allah mengijinkan bisa lagi lihat-lihat Paris. Bersama xxxx a.k.a "ehem"... mungkin? he he he. Dari Notre Dame, si Om membawa kami ke tugu peringatan tempat dulu berdirinya Penjara Bastille yang terkenal itu. Sekarang penjaranya memang sudah ga ada, tapi katanya kalau malam orang-orang yang mau naik metro dibawah tanah dikawasan mantan Penjara Bastille itu, suka mendengar suara orang menangis atau kisah-kisah penampakan gitulah. Hmm.. Harry Panca kayaknya harus datang tuh ke situ.

Pulang...
Dan akhirnya pulang juga. Ternyata menjalani identitas sebagai musafir itu penting buat refleksi diri. Waktu mengeluhkan fasilitas umum di Jerman yang tidak sebagus di Belanda (duh, kalau di Belanda keretanya ada tatakan makannya, lampu merah ada tombol yang dipencet buat nyebrang, papan nama stasiunnya bagus dan seragam dan bla,bla,bla) hati saya tiba-tiba menegur, apa toh mba, kok membangga-banggakan sesuatu milik orang lain. Saya jadi ingat kalau mau mengeluh tentang pelayanan atau fasilitas yang tidak memuaskan di Universitas saya suka malu sendiri dalam hati. Lha, bisa ada disini aja semua fasilitas dari mereka, bukan punya sendiri. Uangnya juga uang mereka, sudah bisa sekolah gratis juga alhamdulillah.

Dalam hidup kita juga suka seperti itu kan? mengeluhkan hal-hal nggak penting dan lupa, dikasih semua fasilitas kehidupan, itu juga bukannya semua pinjaman dari Allah. Kalau mau membangga-banggakan fisik yang bagus atau kepintaran, loh bukankah semuanya punya Allah ? kok kita dengan belagu-belagunya membangga-banggakan apa yang bukan milik kita ?

Selalu ingat bahwa kita saat ini ada di negara orang juga membuat kita banyak berhati-hati. Kalau mau membeli mantel, membeli sepatu pasti bertanya dulu dalam hati, kira-kira ini akan bermanfaat ga yah di Jakarta? akan menuh-menuhin koper doang ga yah? nanti malah excess baggage, harus bayar denda dsb.

Saya pikir, kalau semua orang ingat prinsip itu. Maka bisa jadi manusia itu tidak akan membuang-buanng diri dalam kenikmatan yangn tidak diperlukan diakhirat nanti. Subhanallah, mungkin itu sebabnya setidaknya sekali dalam kehidupannya, seorang muslim diperintahkan untuk naik haji jika memiliki kemampuan. Sekali dalam kehidupannya, dia berefleksi bagaimana seharusnya seorang musafir dalam kehidupan.

Tuesday, February 07, 2006