Tuesday, January 31, 2006

in a rush ...

Jadinya cuma ingin mengekspresikan kegembiraan dan mengucapkan selamat untuk Hamas (Harakatul Mukawwamat Al Islamiyah) atas kemenangannya dalam pemilu legislatif tanggal 25 Januari kemarin di Palestina.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan kekuatan untuk terus berjuang merebut kemerdekaan tanah Palestina. Amin =)

Thursday, January 26, 2006

In memoriam Clara Ejoru

To our bewilderment and unspeakable sadness last Thursday our dear friend and beloved student, Clara Ejoru passed away at the intensive care unit of the Maastricht Academic Hospital.
Last September, at the age of 54, Clara, mother of four children, grandmother and an experienced Primary Health Care Nurse left the Ugandan district where she was working to join this years Master of Public Health course.

She stood out from the beginning as a woman of great strength and ability - with life and work experience matched by nobody in her group. When Clara spoke, everyone was interested. She talked about the reasons she was so determined to complete this study. One reason was her commitment to finding the best ways for Uganda to fight malaria. Another reason was to set an example for her children, about whom she spoke often, as well as for the people of Uganda. She wanted to show that a person should never stop striving for knowledge and new insights, especially when there is the chance to diminish the suffering of one’s people.

Clara had no difficulties with ‘people skills’. In the MPH groups she was open and cheerful and committed; she warmed to people very naturally, and they warmed to her. Her main challenge was not the people, not the MPH course - but computers. She had virtually no previous experience with the use of computers and had to learn it all ‘from scratch’. She did this with humour and determination, though it added an extra challenge for her along with the heavy schedule of the MPH. At each new achievement she shared her joy and pride with those around her. Her positive way of overcoming difficulties set an example for all of us. She taught us that there is no end to the strength of a dedicated woman.

Clara was not only devoted to her study and her people. She was a devoted to her religion as well. She was a Roman Catholic and an active member of the Christian Charismatic Movement, who also showed a deep respect and interest in other religions and other ways of life. Remembering Clara’s deep faith consoles us, who remain behind. We are sure that even though far from her home and the people she loved, Clara would have felt close to God during her last hours.

Clara, we will miss you. Our memories of you - your commitment, your energy and personal warmth will remain with us. You will not be forgotten. Our thoughts are with you and with your family.

Students and staff of the International Master of Public Health

The funeral service will take place in Uganda. We invite you to a service in Clara’s commemorance on Wednesday January 25th at 2 p.m. in the Meditation Centre (Stiltecentrum) of the Academic Hospital Maastricht. Prior to the commemorance service, between 13.30 and 14.00 hours, is a possibility to pay a last respect to Clara in the mortuary of azM.


*fotonya saya yang ngambil di depan gedung Prof.Debylan. waktu itu saya bilang "lihat, kamu cantik sekali Clara." Hiks, ga nyangka kelak akan dipake untuk upacara pemakamannya. Ga mau lagi deh ngambil-ngambil foto close up gitu ....

Wednesday, January 25, 2006

ekonominya kesehatan ...

Berjalan dalam pagi yang hampir membuat hidung saya beku, ada kesyukuran yang menyelinap halus dalam diam. Tidak terbayang bagaimana rasanya jika masih harus bersepeda menyeberangi sungai atau menunggu bis dalam cuaca seperti ini. Sekarang hanya butuh sepuluh menit berjalan (ala Belanda) dari rumah ke kampus. Gym unimaas juga sama dekatnya. Bisa ikut aerobik atau bulu tangkis seminggu dua kali. Hmm... kalau begitu terus-terusan kemungkinan saya balik ke Indonesia dengan perut kotak-kotak nampaknya besar sekali, yah ?

Unit yang baru sudah dimulai. Tentang economic analysis of health care system. Walaupun tentunya punya peran yang vital, tapi secara personal ini unit non-favorit kedua setelah epidemiologi buat saya. Kuliah pertama diberikan oleh koordinator unit ini, Prof. Wim Groot. Saya pikir sebagai kuliah awalan saya akan dapat sesuatu yang lebih fundamental seperti bagaimana hukum ekonomi memainkan perannya dalam pelayanan kesehatan. Tapi ternyata beliau lebih banyak bicara masalah imbas (impact=imbas ?) ekonomi terhadap sektor pelayanan kesehatan.

Ideal. Jelas banget. Lihat aja aktor yang terlibat; pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan perusahaan asuransi. Maka pasar (market) dalam ekonomi kesehatan adalah interaksi dari ketiga aktor tersebut. Dan sistem pasar ini bisa mengalami kegagalan ketika terjadi perbedaan kepentingan antar aktor yang terlibat atau dikarenakan ketidaklengkapan atau informasi yang tidak simetris antar aktor. Entah apakah dalam relasi pasien-pelayanan kesehatan, atau pelayanan kesehatan-asuransi, atau pasien-asuransi.

Contohnya begini; sebagai pasien tentu yang diharapkan adalah pelayanan kesehatan yang optimal. Penyedia pelayanan kesehatan punya kepentingan untuk memberikan pelayanan sekaligus tetap bisa mengambil keuntungan, sementara pihak asuransi punya kepentingan untuk mempertahankan klaim serendah mungkin.

Untuk pihak asuransi, kegagalan pasar terjadi dalam bentuk adverse selection (seleksi kepentingan) dan moral hazard (kecurangan kali ya?) yang berupa tindakan curang atau informasi yang disembunyikan. Adverse selection itu terjadi sebelum kita sebagai konsumen membeli sebuah produk asuransi. Misalnya, karena saya merasa sehat, masih muda, makan teratur, rajin olahraga, baik hati pula, maka saya merasa tidak perlu untuk memiliki asuransi. I will voluntarily refuse to joint in an insurance. Atau justru misalnya karena kita penderita AIDS atau punya potensi terkena diabetes secara keturunan, kita akan memutuskan untuk punya asuransi.

Tapi moral hazard itu terjadi setelah kita memutuskan untuk membeli asuransi. asumsinya bisa dilihat dari sebuah penelitian bahwa pengemudi Volvo itu cenderung punya kebiasaan mengebut (kecelakaan) dibanding mereka yang naik mobil biasa-biasa aja (fiat, misalnya). Faktor kenyataan bahwa Volvo adalah sebuah mobil yang diklaim punya tingkat keamanan yang tinggi, nilai klaim asuransi yang besar, jadi faktor pemicu yang signifikan terhadap perilaku pengemudi.

Adverse selection ini bisa menimbulkan kesulitan bagi perusahaan asuransi karena ... (hmm.. gimana yah dia bilangnya..) harga asuransi itu sama untuk setiap konsumen (involved cost), sementara perusahaan asuransi tidak tahu secara pasti berapa pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan untuk tiap individu (expected cost). Karena asuransi itu pada dasarnya adalah berbagi beban, tentu saja ini bisa mengakibatkan beban besar pada pembiayaan kesehatan yang ditanggung asuransi (preminya juga jadi besar). Cara mengatasinya bisa dengan menerapkan compulsory insurance sebagaimana yang terjadi di Belanda, dimana tidak punya asuransi adalah sebuah pelanggaran hukum, atau bisa juga membuat paket-paket asuransi dengan harga yang berbeda untuk pasar usia, kelompok, yang berbeda.

sementara moral hazard dalam skema asuransi muncul dalam bentuk pengabaian terhadap tindakan preventif dalam kesehatan atau bisa juga dalam pemborosan pelayanan kesehatan. Tindakan ini bisa muncul dalam situasi dimana ada konflik kepentingan, ada potensi keuntungan dalam relasi 'perdagangan' jasa kesehatan, dan ada biaya besar yang harus dikeluarkan dalam mencari informasi yang relevan dengan kondisi konsumen asuransi. Maka solusinya yang pertama tentu mengalokasikan dana untuk pengawasan perilaku, ada juga dengan yang namanya risk sharing- and partial insurance (co-payments) atau dengan reward di masa akhir perjanjian berupa bonus bagi konsumen ketika tidak ada klaim atau minimum klaim selama masa perjanjian.

moral hazard juga bisa terjadi dari sisi penyedia jasa kesehatan. Sebagai pihak yang paling tahu tentang kondisi pasien, moral hazard bisa terjadi dalam bentuk intervensi medik yang tidak perlu. Maka untuk mengontrolnya, kita perlu melihat pada skema pembayaran tenaga medik yang digunakan.

Selama ini, ada tiga jenis sistem pembayaran yang digunakan; fee for services (apa bahasa indonesia gampangnya ?), kapitasi dan gaji. Ada beberapa keuntungan dan kerugian dalam skema pembayaran ini. Yang ffs misalnya. keuntungannya adalah adanya insentif untuk produktifitas physician a.k.a dokter, penghargaan secara finansial-lah. Kerugiannya bisa mendorong dokter untuk melakukan intervensi medik sebanyak mungkin, membuat dokter tergoda untuk melakukan intervensi medik seorang diri tanpa me-refer pasien ke pelayanan lanjutan, pada akhirnya kuantitas yang dinilai, bukan kualitas. Sistem semacam ini yang bisa membuat anda dan saya sebagai pasien, cuma kebagian lima menit bahkan kurang untuk curhat pada orang asing berjas putih itu tentang hal-hal pribadi. Sementara kita sebagai pasien dituntut untuk pintar berkeluh kesah dalam waktu sesingkat itu, membedakan mana yang batang (keluhan utama) dan mana yang cabang (keluhan sampingan) in order he can see what's wrong with you.

Lalu ada sistem kapitasi. Dimana yang jadi ukuran adalah pasien. Contohnya di Belanda, setiap huisarts (GP) punya jatah untuk menangani pasien dalam jumlah tertentu dengan jatah harga pengobatan (plafon) tertentu dari asuransi. Setiap orang terdaftar sebagai pasien pada seorang arts (dokter). Saya punya dokter sendiri dimana ketika saya sakit, ke dokter itulah saya datang. Bahkan ketika saya dalam keadaan emergensi datang ke rumah sakit secara go-show(Ini cuma bisa dilakukan setelah jam lima sore atau pada akhir pekan), dokter dirumah sakit tetap akan merefer saya untuk kembali dulu ke GP pada akhirnya setelah memberikan pertolongan seperlunya.

Keuntungannya adalah secara administasi ini sistem yang sederhana untuk dimasukan dalam budget pemerintah atau perusahaan asuransi, juga jadi keuntungan bagi dokter yang melakukan tindakan berbeda (tidak semua tindakan dihitung secara terpisah). Negatifnya adalah mendorong untuk mengumpulkan pasien sebanyak mungkin dan juga mendorong dokter untuk melakukan tindakan seminimal mungkin dan merujuk ke pelayanan lanjutan secepat mungkin (toh, mau dikasih tindakan banyak atau sedikit, dapatnya sama aja).

Lalu ada skema penggajian. Secara administratif dan budget ini mudah dan sederhana. Tapi negatifnya lebih banyak dibandingkan yang lain, dalam skema semacam ini, dokter-dokter bisa tergoda untuk lebih abai lagi karena tidak ada insentif untuk menjamin ketersediaan pelayanan yang mencukupi dari dokter, mendorong dokter untuk melakukan tindakan medik seminimal mungkin, kemungkinan mendorong dokter untuk merujuk pasien ke pelayanan lanjutan juga lebih besar dan yang paling menyedihkan adalah tidak relasi antara 'prestasi' dengan reward bagi dokter.

jadi bagaimana untuk mencapai 'neraca keseimbangan' pasar dimana kondisi itu diartikan sebagai jaminan tersedianya pelayanan yang optimal bagi pasien (kepentingan pasien) dengan biaya yang memuaskan semua pihak (jasa kesehatan-asuransi-pasien) ? ini kan artinya sama saja dengan tidak ada intervensi medik yang berlebihan, tapi juga tetap ada intervensi medik yang dibutuhkan. Tahu kapan waktunya merujuk pasien ke pelayanan lanjutan dan tahu kapan saatnya untuk tidak, dan tentunya kualitas pelayanan kesehatan yang optimal.

maka katanya (Prof.Wim Groot), sistem yang optimal itu merupakan perpaduan dari skema kapitasi (fixed amount per patient) dan fee for services. Kombinasi kedua sistem ini diharapkan bisa menjamin pelayana kesehatan yang optimal. Kapitasi akan mendorong dokter untuk melakukan sesedikit mungkin tindakan dan mendorong rujukan, sementara fee for services mendorong dokter melakukan sebanyak mungkin tindakan dan seminimal mungkin aktifitas rujukan. Sistem kesehatan di Belanda menggunakan kombinasi ini. Misalnya, secara sederhana seorang GP mendapat bayaran sekitar 45 euro per year per patient dan 9 euro per tindakan.

Hmm... dari situ salah satu dasar darimana datangnya tindakan 'konsultasi kejar setoran' atau 'merujuk yang ga penting' yang selama ini banyak kita alami. Ini yang namanya permasalahan sistem. Saya tidak familiar dengan terminologi yang dipakai di ilmu kedokteran. Tapi untuk Eropa, nama Kleinman adalah nama yang populer sebagai orang penting dalam kedokteran yang mengembangkan doctors-patient relationship. Saya bisa bayangkan betapa terdengar sangat idealnya itu di bangku kuliah tapi tidak ketika duduk menghadapi pasien dalam sebuah sistem ekonomi yang tidak tepat.

Jadi ingat juga dengan tempat kerja saya. Indonesia bisa dibilang adalah pasar kesehatan yang tidak lengkap.Mungkin bagi pasien kami, tempat kami adalah sebuah insurance yang tidak mungkin mereka bisa raih dalam kondisi biasa. Ketidaktahuan, antusiasme (?) bisa membuat seorang pasien datang sebulan sekali atau dua kali ke klinik dengan keluhan yang ga jelas. Dengan pasien sebanyak itu saya akan apresiate (eh,ini bahasa indonesia bukan?) sekali pada mereka yang berusaha bertahan untuk meberikan pelayanan secara sungguh-sungguh. Tapi jadi penasaran juga sih, kemarin-kemarin kok kayaknya angka rujukan dan kunjungan yang tinggi jadi semacam 'modal' untuk unjuk gigi seberapa besar tingkatan pencapaian yang sudah dilakukan. Hmm... mudah-mudahan memang karena kasusnya memang harus dirujuk.

*oaahm.. bobok ah...*

Oke ini lanjutan yang kemarin, tapi saya pikir skema pembayaran kombinasi ini bisa dicoba di LKC. Mengingat ada kondisi dimana fixed income mungkin dah mulai tidak sebanding dengan jumlah kepesertaan yang terus meningkat. Setiap pasien dapat jatah first fisit untuk datang satu bulan sekali misalnya--kecuali emergensi, atau berdasarkan pemantauan dokter memang butuh datang lagi setelah kunjungan pertama, dan mungkin untuk beberapa kasus penyakit--tbc ? diabetes ? dunno (butuh analisa epid dan hitung-hitungan yang lebih valid buat tahu angka kunjungan ideal, tapi ini kan andaikan), dalam satu tahun. Kebijakan ini gunanya agar kongruen dengan program edukasi promotif dan preventif, memberikan informasi kesehatan yang peka kultur (butuh community assesment dulu untuk dapat gambaran sosial demografi yang lengkap--optimalisasi tim survey dan kepesertaan--n baca lagi unit 1 soal community assesment dan unit 2 soal research methodology) untuk bisa secara bijak memanfaatkan pelayanan pengobatan dan berperilaku hidup sehat secara bersamaan (hmm,... perlu baca lagi masalah critical anthropology di unit kemarin). Entah, mungkin harus ada pembagian kategori pasien berdasarkan waktu berobat (adopsi dari sistem kapitasi dimana dokter bertanggung jawab atas sejumlah pasien yang terdaftar sebagai pasiennya) sehingga tiap dokter jaga (pagi-siang-malam) bisa memantau kondisi pasien lebih intensif. juga untuk menghindari kejomplangan jumlah kunjungan ? is it a good idea ? atau malah jadi rumit ? terus bagaimana dengan skema pembiayaan dengan asuransi keluarga miskin ? hmmm...gimana kalau konsultasi sama Anya soal kemungkinan ini jadi salah satu usulan master thesis ?

Saturday, January 21, 2006

it's over ...

Pagi ini bangun dengan perasaan dan fisik yang lebih baik.
Perih dimata, pusing dan urat-urat punggung yang rasanya begitu tegang semalaman, sudah mengendur. Disebelah saya sudah ada makhluk berbulu. Ah, boneka gorila yang dikasih Vladimir dan Mariette tadi malam. Mereka beri ini karena tadi malam saya bilang "thank you for letting me hug the doll". Vladimir buru-buru bilang kamu boleh bawa kalau suka, supaya kamu merasa lebih baik, boleh dibalikin empat bulan lagi, kalau mau. Dan begitulah kenapa gorila bermata sayu ini sekarang ada dipelukan saya. I am a 25 years old young lady who slept with an ape doll. sounds cute ?

Kemarin sesudah Jan menyampaikan berita kematian Clara. Anya dan Mariette datang ke kelas untuk memberitahu secara resmi. Clara wafat hari kamis jam enam sore di ruang ICU sesudah sebelumnya dirawat di ruang rawat inap. Pihak rumah sakit tidak memberitahukan penyebab kematiannya, karena selain kami bukan keluarga, dalam akhir hayatnya Clara menekankan pada pihak rumah sakit untuk tidak menyampaikan keadaannya pada siapapun dari pihak fakultas.

Setelah Jan menyatakan bahwa ujian akan dikirim via email, Anya dan Mariette mengundang kami semua ke lantai enam untuk bicara secara pribadi. semua shock dan sedih. Beni dan Elida mengkritik sistem kesehatan yang tidak peka. kenapa dari awal membiarkan wanita tua dengan hb rendah tanpa tindakan medis berarti. saya cuma bisa bilang, Clara orang katolik yang taat, dia pemimpin misi Katolik di kampungnya, jadi tolong dipastikan aja dia mendapatkan perlakuan yang layak sesuai dengan apa yang dia yakini. Anya berjanji untuk menghubungi pendeta. Hari itu mereka mengatur semuanya. termasuk mengatur janji dengan rumah duka di Tongeren agar kami bisa melihat jenazahnya.

Berbaring tenang dengan sweater yang sama di hari terakhir saya melihatnya, dia kelihatan 'berisi' seperti pertama kali kami mengenalnya. Saya mengecup keningnya mengucapkan selamat jalan. Untuk ketiga kalinya saya melakukan ini. Pertama terhadap Bapak saya, kedua waktu saudara se halaqah saya meninggal karena leukimia, dan yang ini... untuk Clara. Orang yang warna kulitnya beda, meyakini hal yang berbeda, bicara dengan bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda, tapi kehilangannya ternyata sama. Isabelle pingsan karena shock dan menciptakan kepanikan lain. Elida dan Astri sibuk menjaga Valentina, bayi Isablle yang baru berumur satu tahun.

Dari rumah duka, Anya dan Mariette membawa kami ke rumah Mariette. Saya sebenarnya sudah begitu capek dan inginnya meminta diantar pulang. Entah apalagi yang harus dibicarakan di rumah Mariette, pikir saya.

Tapi ternyata kumpul2 seperti itu ada gunanya. Karena akhirnya dalam situasi yang privat, hanya kami anak-anak MPH, Anya, Mariette dan Vladimir, semua akhirnya bicara. saya sempat beradu mulut dengan Xu Jing, saling meyalahkan orang lain, lalu menyalahkan diri sendiri, lalu sama-sama menangis. Dia mengkritik bahwa jika saja ini dibicarakan terbuka mungkin ini tidak akan terjadi.

Tentu saja, secara logika saya mendukung semua pernyataan Xu Jing. Bahkan kenyataannya itulah yang saya pikirkan dan itulah yang saya dan teman-teman lakukan terhadap Clara. Berusaha membujuknya untuk bicara pada pihak fakultas, atau jika tidak mau maka ijinkan saya bicara untukmu pada Anya atau Ria, membujuknya untuk istirahat, membujuknya untuk mendiskusikan ini dengan teman-teman, meyakinkan bahwa tidak ada yang akan terjadi jika pihak fakultas tahu kalau kamu sakit. Tapi saya pikir Clara bukan anak sekolahan kemarin sore. Dia perawat senior berpengalaman, single mother dari empat orang anak yang berpendidikan tinggi, setidak rasional apapun keputusan yang dia buat, itu adalah keputusannya. Apa yang bisa kamu lakukan ketika kamu sudah memberikan berbagai macam tawaran pada seseorang dan orang itu memilih menolak semua tawaran itu ? Bahkan sebenarnya kami sudah ke kantor Anya untuk bicara soal kondisinya dengan kesimpulan, jika Clara marah, saya yang akan bicara kepadanya. Tapi waktu itu Anya tidak ada dan Clara benar-benar marah ketika tahu saya mendiskusikan kondisinya dengan teman-teman. "I dont want people walking around talking about me and my condition!"

Saya ingat pada keluhannya terhadap Xu Jing yang dianggapnya melanggar wilayah privacy-nya dan otoritasnya. "She dont think I can think for myself, Attin. eventhought I am poor, this mind is working." saat itulah saya tahu apa arti otoritas pribadi buat Clara. Dan yang saya lakukan adalah tetap menjaga kehormatannya sebagai individu. Seaneh apapun, sesulit apapun saya untuk mengerti keputusannya untuk tetap merahasiakan penyakit dan kondisinya.

Acara curhat di tempat Mariette itu jadi semacam 'echoing my heart'. Apa yang Xu Jing katakan adalah suara hati saya yang menggedor-gedor menyalahkan diri saya, dan apa yang saya katakan terhadap Xu Jing adalah kata-kata untuk diri saya sendiri. Dan itu membuat saya merasa lebih lega.

Kami sudah melakukan banyak. Kami tidak membiarkannya kedinginan, kami tidak membiarkannya kebingungan, kami carikan dia rumah, kami carikan dia barang, kami berikan dia baju, kami bantu dia bertahan di negeri ini. kami tidak membiarkannya sendirian.

dan itu
sudah cukup.

itu yang terbaik yang bisa kami lakukan.

dan akhirnya segalanya hanyalah milik Allah
dan akan kembali pada Allah.

Friday, January 20, 2006

Clara Ejoru

"My name is Clara Ejoru, i come from Moyo, Uganda." berkulit hitam legam, wanita bertubuh mungil itu tersenyum malu-malu menampakkan barisan gigi putihnya. Usianya sudah pertengahan 50-an. Hanya beberapa tahun lebih muda dari ibu saya. Seumur itu, rata-rata ibu-ibu yang saya kenal sudah berpikir tentang naik haji, hidup tenang bersama cucu, dan bukan terbang ribuan mil jauhnya, dari negara dimana komputer cuma ada kantor pejabat ke sebuah negara dimana sekedar janjian ketemu harus diatur lewat email, buat belajar lagi jadi master.

Itulah makanya, dalam perjumpaan pertama, kami yang dari Indonesia dengan terus terang bilang pada Clara bahwa kami sangat kagum dan respek pada keberadaannya. Tak peduli betapa ketinggalan jaman atau kelihatan miskin dirinya dengan sendal sepatu murah yang dia pakai.

Clara belajar keras. tidak hanya untuk kuliah tapi juga untuk bertahan hidup di negeri datar ini. dia tinggal di perpustakaan lebih lama dibanding kami yang masih muda-muda. kalau akhir pekan kami jalan-jalan atau sekedar bersenang-senang, Clara memilih tinggal di kamar atau pergi ke perpustakaan hingga tutup. Belanda tidak terlalu bersahabat buat Clara. Dari hari pertama kedatangannya, dia tidak bisa tinggal di Guesthouse karena dia tidak bisa melakukan aplikasi via internet dari kampung halamannya. Pihak kampus akhirnya bisa meloby Hotel Randwijk untuk memberikan dia kamar. Tentu saja dengan harga yang memakan habis hampir tiga perempat uang beasiswanya. Pada saat bersamaan, di kampung halaman ada anak yang menaruh harapan besar pada dirinya. Sisa uang beasiswa habis dikirim untuk membangun rumah mereka yang belum selesai, dan hanya tersisa sedikit saja untuk sekedar bertahan hidup.

Kami begitu menyayanginya. Elida mengajarkan bagaimana menggunakan email, mengetik dengan menggunakan word, membantunya lebih familiar dengan komputer, Astri sering menghadiahi masakan lezat, Beni membimbingnya belajar SPSS. Melihat sepatu sendalnya, saya lepas sepatu sneaker saya yang nyaman dan hangat dikaki buat dia. Suatu hari, Elida memberi tahu bahwa di kamarnya ada baju-baju hangat peninggalan mba Astrid (mahasiswa tahun lalu) untuk saya. Tapi akhirnya kami putuskan bahwa Clara lebih butuh. Dan rasanya hati kami sudah cukup hangat melihat binar dimatanya ketika memilih baju-baju tersebut, "Oh God bless Indonesia, how can I say thank you ?" lalu kami bilang, kalau besok minggu kamu ke gereja, bilang terima kasihnya sama Tuhan aja.

Lewat rencana Allah, akhirnya ada kamar di sebuah rumah yang letaknya dekat sekali dengan kampus. Akan sangat ideal untuk Clara yang tidak bisa naik sepeda dan tidak bisa berjalan jauh sekuat kami. Dengan hati berbunga, saya menemaninya menemui landlady dan menandatangani kontrak. dengan harga sepertiga dari yang ia bayar untuk Hotel Randwijk, saya bayangkan akan ada banyak mimpi yang bisa ia wujudkan di kampung halaman.

Diakhir masa liburan, bulak-balik kami bersepeda mengangkuti barang-barang dari Randwijk ke tempat barunya. Juga sukses membujuk Bang Hasanul untuk membantu mengangkut kopor dan barang besar dengan mobilnya. Now, everything will be just fine for her, pikir saya. "Kita akan tinggal dekat sekali, Clara. Kalau ada apa-apa saya akan mudah menghubungi kamu," kata saya. Bersamaan dengan itu, dia mulai mengeluh sakit. Mulai dari athlete foot, batuk ringan, anemia sampai kenyataan yang dia bawa dari Uganda, malaria.

Dan tiba-tiba semua berjalan begitu tidak seperti yang diharapkan. sistem kesehatan disini yang berjalan pada notion pengobatan seminimal mungkin, perawatan berdasarkan pemintaan pasien, berbenturan dengan kultur kesehatan negara dunia ketiga, membuat semua orang jadi frustasi. Lima kali bulak-balik rumah sakit hasilnya cuma tagihan dan tagihan tanpa pengobatan berarti. Clara bilang "saya anemia, saya malaria," dokter berkata "Anda tidak apa-apa."

Dia semakin lemah. "Kamu lihat Attin, dulu saya berjalan begitu cepat, sekarang saya hanya mampu berjalan pelan-pelan, bagaimana mungkin saya tidak apa-apa?". Beberapa waktu dia mengeluh bahwa dia memuntahkan semua yang dia makan. "Aku berdoa pada Tuhan, bahwa kalaupun aku sakit, setidaknya biarkan aku bisa makan," keluhnya. Saya menggigit bibir saya menahan tangis sambil menyuapinya sepotong demi sepotong pisang suatu malam.

Suatu pagi saya datang dan cuma bisa meringis waktu dia menyambut saya dipintu dengan senyum lebar sambil berkata"Now, here comes the daughter of Allah," lalu dia membimbing saya untuk duduk. "Aku ingin cerita sebuah kisah dari Injil untuk kamu," sebagai orang katolik yang taat, saya tahu bahwa salah satu kesamaan antara saya dan dia adalah tentang bagaimana penghayatan agama dalam kehidupan kami. Air mata saya meleleh ketika dia selesai bercerita. Tak seujung kuku pun saya merasa apa yang saya lakukan bernilai sama dengan kebaikan yang dia ceritakan dalam kisah itu. Saya cuma bisa bilang bahwa kamu, Clara, seperti ibu bagi kami, bagi saya. Dan sebagaimana kami tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada ibu kami, saya pun tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.

Suatu sore, selesai mengikuti kuliah Prof.McKee, dia mengajak saya bicara empat mata. "Ini tentang penyakit saya, saya mau cerita pada kamu tapi saya tidak ingin Anya, Ria atau teman-teman kita tahu soal ini." Dengan napas satu-satu susah payah dia bercerita dan akhirnya saya bilang saya tidak bisa simpan ini sendirian. Pihak fakultas harus tahu, saya takut tidak bisa meneruskan kuliah, dia bilang. prioritas kamu sekarang bukan belajar, tapi sembuh, kata saya bersikeras. Kamu wanita yang berani, kamu terbang ribuan mil jauhnya dari negera kamu untuk belajar, kalaupun akhirnya kamu gagal, itu semua sudah cukup. Kamu sudah berusaha. Kata saya berusaha membujuknya. Kegundahan sore hari itu disambung dengan kepanikan lain. Terlalu lemah, Clara meminta saya mengantarnya pulang dengan sepeda saya. Setelah jatuh bangun dengan sepeda saya yang kecil, akhirnya kami putuskan bahwa saya akan mengantar tasnya ke rumah dan kemudian datang lagi untuk menjemputnya. "You just wait for me inside the library, it's too cold for you to wait outside, okay ?"

Kembali dari rumah, bergegas saya ke perpustakaan. Dia tidak ada. Bulak-balik mengelilingi kampus, ke rumah sakit, kembali ke rumah,dia tidak juga ada. Sementara kunci rumahnya ada di saya. Panik. jelas. Berapa kali dalam hidup kita pernah meninggalkan wanita tua dengan sakit berat dimalam musim dingin. Setelah menghubungi keamanan kampus, saya menelpon Elida dan Astri, "Dia sakit serius, gimana ?!" Akhirnya Astri dan Elida datang. kami putuskan mereka berdua mencari di kampus, saya kembali ke rumah. Siapa tahu dia sudah pulang. Dan disana ... duduk bersandar keletihan dipagar rumah, siapapun bisa menyangka dia 'junkies' yang mabuk berat, dan bukan wanita tua yang butuh pertolongan. "Oh,Clara,Clara I am so sorry, I couldn't find you, Im so sorry ..." saya memberi kabar ke Astri. Beberapa menit kemudian, mereka datang ke rumah untuk membantu. Bersama kami meyakinkan dia untuk jangan memikirkan kuliah, untuk fokus pada kesehatannya.

Esoknya saya datang lagi ke rumah. Clara kelihatan sudah lebih kuat. Tapi pagi itu dia bilang dia kecewa pada saya yang dalam waktu sehari sudah memberitahu orang lain tentang penyakitnya. Saya berkeras pada pendirian saya bahwa saya tahu mana yang harus saya ceritakan mana yang tidak. Dia menutup penjelasan saya dengan keras kepala "Now, this is my life, this is my decision. I am through and there is no one can change it. I will go on Monday to lecture, i will go for the exam." Dengan menahan marah saya tinggalkan dia. Kesal. Tidak tahukan dia betapa khawatirnya saya, kami, tentang dia ? tidakkah sedikitpun dia melihat niat baik dalam tindakan saya. Pagi itu saya tinggalkan dia dengan niatan tegas, baik Clara Ejoru, kalau kamu tidak ingin saya ikut campur, maka baiklah. Saya tidak akan pernah ikut campur!

Tapi senin dia tidak datang. Dan kemarahan saya mencair jadi kekhawatiran ketika sore, selesai kuliah, kami melihatnya di perpustakaan. . Masih dalam sisa-sisa kemarahan, saya berusaha tega dan berkata, kami sudah ke Kringloop hari minggu untuk membeli barang-barang yang kamu butuhkan, semua dibayar dengan uang saya. Ini ada tagihannya. Tapi saya langsung mengeluh dalam hati bahwa seharusnya saya tidak bersikap seperti itu. Dia lemah, bahkan terlalu lemah sehingga kami semua membantunya memakaikan jaket, syal dan tutup kepalanya."Saya temani kamu pulang yah, saya tidak akan naik sepeda, tapi kita jalan saja," kata saya melembut. Dalam perjalanan yang rasanya seabad itu dia berkata, bahwa dia sudah melupakan ide bodohnya untuk terus kuliah,"I think you are right, my health is more important right now." Sampai dirumah, setelah selesai menyiapkan makan malam untuknya, saya berpamitan pulang. Masih berusaha menjaga jarak agar tidak terkesan mencampuri urusan pribadinya dan kemudian meminta maaf."Saya tahu kamu kecewa dengan keputusan saya memberi tahu kondisi mu pada teman-teman kita, tapi Clara, ini terlalu berat buat saya tanggung sendiri. Mereka harus tahu, fakultas harus tahu, sehingga mereka bisa memutuskan langkah terbaik untuk kamu. Saya akan merasa bersalah jika sesuatu yang buruk terjadi dan kami tidak melakukan apa-apa untukmu." dengan lemah dia mengangguk. "I understand, Attin. It's ok. God bless you, God bless you" tutupnya. saya masih merasakan kekecewaan itu.

Selasa pagi, sengaja saya berjalan ke kampus melewati rumahnya. Ragu-ragu saya memandang jendela kamarnya. Akhirnya saya putuskan untuk memencet bel. lima menit. pencet lagi. Sepuluh menit, lima belas menit. tidak ada yang turun membuka pintu. Mungkin dia terlalu lemah untuk turun, pikir saya. Mungkin dia masih marah. Maka saya lupakan Clara beberapa saat.

Rabu siang kembali saya datang. Kali ini yang membuka pintu si Jack, anak ekonomi tahun pertama yang tinggal juga dirumah itu. "Clara sakit, kita mau ke rumah sakit." Bergegas saya ke kamarnya, "I will go to the hospital with Jack, I will tell you what the doctor said, but now let me handle it my self," katanya lemah. Saya hanya mengangguk sambil berkata, tentu, tentu saja. Tapi sebelumnya kamu harus pakai jaket yah. Lihat, ini syal tebal dan topi wol yang kamu pinta. maaf, saya pakaikan yah, mana sepatu mu ? oh itu dia, saya pakaikan juga, ok. Mulut saya mencerocos sambil tangan saya bergerak ke sana kemari memakaikan bajunya dalam kamar yang kini kelihatan kumuh dan berantakan.

Setelah selesai, saya dan jack memapahnya ke bawah. apakah saya ikut ke rumah sakit? tapi ada janji ketemu dengan Mickey untuk SPSS. Akhirnya saya bilang pada Jack, ini nomor saya, kalau dia dirawat kalau ada apa-apa, telepon saya. Tidak yakin dengan keputusan yang saya buat, dengan khawatir saya memandangi Clara yang susah payah bertahan diatas sepeda sambil memeluk pinggang Jack.

Sorenya saya kembali lewat rumah Clara. Pastinya belum pulang dari rumah sakit. Berusaha menghubungi Jack malam itu. dikirimi SMS, di telpon, anak ini menghilang entah kemana. Jumat saya ujian, konsentrasi saja dulu. Kamis pagi saya lewat rumahnya. Tapi hanya memandangi dan kemudian memutuskan untuk melupakan Clara sejenak. Kamis itu habis untuk membaca diperpustakaan. Sorenya kembali lewat rumah Clara. Kali ini memutuskan diri untuk memencet bel. tidak ada yang turun. menelpon Jack. mailbox. Gelisah saya pulang, tapi kemudian melanjutkan untuk belajar.

Dan jumat pagi ini, datang pagi-pagi di tengah jalan berpapasan dengan Jan vd Made. Didalam kelas, saya yang pertama datang. "Did you know already what happen ?" tanyanya "today we having exam in this room, right?"saya balik bertanya. "No, its about Clara. She died last night."

begitu saja.
dan begitu banyak pertanyaan dan penyesalan yang muncul menggayuti air mata. mestinya saya tidak perlu marah, mestinya kami tidak memperdulikan permintaannya dan memberitahu Anya seawal mungkin, atau juga mestinya saya tidak membuatnya kecewa dengan bercerita soal penyakitna, mestinya saya mengantarnya ke rumah sakit, mestinya saya tidak se egois itu, mestinya saya lebih peduli ....

menangis ...
saya merasa harus keluar dari kondisi emosi ini terlebih dulu dengan menuliskannya...

Monday, January 16, 2006

dari sebuah kuliah

Beberapa hari yang lalu, ada dosen tamu datang ke Maastricht. Namanya Prof. Martin McKee. Beberapa tulisan maupun hasil penelitiannya banyak dipakai dalam literatur yang kami gunakan. Dia datang ke Maastricht berkaitan dengan penganugerahaan doktor honoris causa dari unimaas di ulangtahun unimaas yang ke-30.

Karena kuliahnya tentang review kondisi kesehatan masyarakat di Eropa, Prof.Hans Maarse dan Prof. Jan van der Made yang jadi lecture dan tutor di unit health policy analysis ini ngewanti-wanti kami semua untuk datang. Jadi datanglah kami semua ke sana. Hmm.. ternyata masih muda juga profesor McKee itu. Bayangan saya tentang professor itu kan idealnya yah setua dan sewaskita Hans Maarse atau Jan vd Made lah. Anyway, kuliahnya ternyata tentang gambaran umum permasalahan kesehatan yang muncul di Rusia pasca glastnots dan peresteroika atau dengan kata lain setelah bubarnya Uni Soviet. Terutama sih soal konsumsi alkohol dan surrogate alkohol yang tumbuh jadi penyebab kematian yang signifikan di Rusia sekarang.

Menarik juga, tapi saya pikir penjelasan beliau dalam waktu yang singkat itu menggunakan perspektic biomedik yang kental. Saya sendiri dalam kepala lebih tertarik untuk tahu kenapa permasalahan ini bisa muncul jika dikaitkan dengan perubahan dalam aspek politik, sosial kultural yang terjadi di Rusia. Karena sedikit banyak, saya pikir ada kesamaan kondisi antara Rusia dan Indonesia. Dua-duanya ada dalam pergulatan sosial yang berefek pada kondisi kesehatan masyarakat yang tidak menggembirakan. Rusia jadi topik penting bagi masyarakat Uni Eropa mengingat posisinya sebagai tetangga terdekat dan ketergantungan gas orang Eropa pada Rusia.

Hal menarik lain dari kuliah itu adalah kentalnya nuansa ide eropa sebagai suatu nation di bawah EU. Baru sekarang ini saya sadar bahwa dalam homogenitasnya, Eropa, bagaimanapun punya aspek multicultural didalamnya. Kenyataan bahwa ada kehadiran komunitas migranTurki, Maroko, Afrika, dalam jumlah yang signnifikan di Eropa, sementara dalam waktu bersamaan masyarakat Eropa sendiri kesulitan menerima mereka sebagai orang Jerman,Belanda, Perancis, jadi sebuah pe-er besar bagi UE. Kenyataan bahwa ketertinggalan masyarakat kawasan selatan dan timur Eropa dibandingkan dengan mereka yang di Utara jadi proyek besar. Jadi ingat sama regulasi prioritas orang uni Eropa dibandingkan dengan orang non EU. Jadi gini sederhananya, di Belanda kalau ada sebuah perusahaan cari karyawan, maka yang jadi prioritas adalah orang Belanda. Kalau ga ada orang Belanda yang layak untuk posisi itu, prioritas selanjutnya adalah orang dari negara-negara Uni Eropa. Kalau ga ada juga, baru orang diluar UE. Setelah diterima, perusahaan pun harus memberikan bukti pada negara bahwa dia sudah menghabiskan waktu sekian bulan mencari orang Belanda dan orang UE, tapi ga ada yang cocok, dan cuma mas dari jawa ini (misalnya) yang paling cocok dengan yang mereka inginkan. Pemberlakuan Euro tentu saja salah satu policy dalam mengkatrol ketertinggalan ekonomi negara eropa di kawasan tertinggal.

Saya jadi terpikir duh, asyiknya kalau orang Asia Tenggara dengan ASEAN-nya itu bisa kompakan seperti UE itu, enak kali yah. Yah, maju bareng-bareng selalu lebih elegan dibanding mengangkat hidung sendirian kan, bukan begitu Pak Cik ? mungkin ga yah, negara-negara di Asia Tenggara itu kelak bisa kuat kembali dengan jati diri dan kultur kebahariannya. Dengan keyakinan, nilai dan budaya yang unik, eksotik, diakui dalam pergaulan internasional sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan politik yang diperhitungkan. Dulu itu termasuk mimpi para pendiri ASEAN ga yah ? Kalau saja waktu bisa diputar kembali, kita lupakan saja ide berhutang dan bersikukuh dengan go to hell with your aid-nya Soekarno, coba Soeharto itu tahu kapan waktunya mundur dari permainan politik, lalu memilih cara halus jadi menteri senior saja seperti Lee Kuan Yew, coba dan andaikata ...mungkin petani kita bisa jadi petani kaya seperti di Bonanza itu. di subsidi habis-habisan tanpa harus berpikir tentang membeli pupuk mahal, jadinya tidak ada cerita balita mati karena malnutrisi seperti di tanah Gora itu. Mungkin nelayan kita bisa jadi nelayan yang kaya sehingga tidak perlu pakai formalin untuk mengawetkan tangkapannya sehingga kita jadi lebih familiar dengan hasil laut dan mampu menyebutkan setidaknya tujuh jenis ikan tanpa harus menyebut ikan teri dan ikan asin sebagai salah duanya.

hey, berkhayal tidak dilarang bukan ?

Kembali ke kuliah Prof.Martin, di akhir sesi diskusi, Prof.Hans yang jadi moderatornya mengajukan pertanyaan yang jawabannya masih menggantung dibenak udara setiap praktisi kesehatan masyarakat. Lalu apa setelah semua penelitian itu ? karena kesehatan masyarakat semestinya tidak berhenti pada penemuan scientific tentang bagaimana tinggi rendahnya konsumsi alkohol berelasi pada kasus sirosis disebuah negara. Kerja besar selanjutnya adalah bagaimana penemuan-penemuan ilmiah itu bertransformasi menjadi sebuah kebijakan kesehatan yang strategis. Duh, kebayang-nya ngeri banget. Disitu lahan mainnya tentu aja sudah menyentuh lobby terhadap kebijakan politik, kepentingan ekonomi yang level-nya makro-makro (sementara saya anak kemarin sore gitu looh).

Makanya, tiap kali ada pertanyaan habis apa setelah ini, jawaban saya definit, insya Allah kembali ke LKC. saya pikir itu akan jadi ajang yang bagus untuk latihan, exercice of power, exercise of knowledge dalam dunia yang real. Walaupun, terus terang saya masih terus bergulat dengan ide kosong tentang bagaimana merealisasikan semua yang saya dapat disini jadi sebuah karya yang bisa menghasilkan manfaat secara nyata di tempat itu.

fiuh, doain aja yah

Sunday, January 15, 2006

indonesia (??)

Dulu, waktu masih suka nonton CNN bersama Ayako atau Irene, entah kenapa saya selalu memalingkan wajah tiap kali ada berita tentang Indonesia. Jika tidak tentang bom, konflik yang disebut-sebut berlatar belakang agama di Poso, Aceh yang ga jelas, pasti flu burung atau korupsi. Dan yang bikin merah muka semua itu pasti ditambah catatan kaki 'as the largest moslem country in the world'. Rasanya betapa jauhnya bangsa kita dari peradaban. iklan Malaysia yang mengkalim trully asia itu hilir mudik setiap harinya di layar dunia. tapi Jakarta sudah tak pernah di sebut-sebut dalam ramalan cuaca kota-kota dunia. Kini baca berita soal formalin, bakso tikus, sampai majalah Playboy Indonesia ...

merintih sedih tentang sebuah masterpiece Allah di rantai khatulistiwa yang kita sia-siakan dengan bodohnya ...

yang melintas dalam hati adalah puisi ini;

I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-dera
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Ulyses dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomorsatu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupudan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusatbelanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,sekarang saja sementara mereka kalah,kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa EfekJakarta secara resmi,

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, limabelas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cumakarena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antar bangsa, lagi pula PialaDunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, HaurKoneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian,ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan,

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelamditumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Ulysses dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Taufik Ismail, 1998— dikutip dari buku MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA, SERATUS PUISI TAUFIQ ISMAIL, 1966 - 1998

Wednesday, January 11, 2006

never on (in) netherlands

Jadi impulsif di negara kayak gini, jarang-jarang berakhir dengan sesuatu yang indah. Gini loh, saya selalu suka sesuatu yang jelas dan terencana, tapi bukan berarti saya ga punya kesadaran bahwa hal-hal yang diluar rencana bisa aja terjadi. juga bukan berarti saya ga punya ruang buat yang spontan dan impulsif punya (ini mah sering malah) dan sering juga saya mengagumi diri saya akan kemampuan merekayasa kondisi itu jadi petualangan yang lucu-lucu kalau diingat. rekayasa itu maksudnya, dalam situasi-situasi yang bikin bete, otak saya biasanya akan bekerja memanipulasi kenyataan pahit itu jadi sebuah pengalaman yang bernilai adventureous. Tapi satu hal yang jadi prinsip saya, impulsif dan asumtif itu boleh-boleh aja kalau hanya melibatkan diri sendiri, tapi kalau sudah berhubungan dengan orang lain, ya liat-liat dulu.

Tapi disini ...
saya males buat berimpulsif ria karena beberapa pengalaman menunjukkan betapa bikin bete bin nyiksa diri sendiri juga kalau mengikuti keputusan semacam itu, misal:

-waktu kepikiran mau beli sepeda baru buat gantiin si traxxy, saya janjian sama anak Portugal buat ketemu di bike sheed guesthouse pagi-pagi buat nego harga. besoknya, dengan mengesampingkan 'keharusan normatif musim dingin' karena berpikir yah paling cuma sepuluh menit diluar, instead of berpakaian lengkap, kucluk-kucluk saya datang dengan pake training,bersendal jepit, dan jaket tipis. Dan sialnya ditengah transaksi, turun salju! seetelah bikin keputusan kilat (sorry, it's a good bike, but i think we dont have chemistry...=b) saya langsung lari terbirit-birit balik ke kamar*untung jempol gw ga kena frosbite*--moral lesson: jangan sekali-kali berpikir untuk men-dua-kan sepedamu, kualat (oh, maaf ya traxxy-ku)

-waktu mau berangkat ngaji ke tempat Bang Hasanul. instead of ngecek jadwal jam berapa bisnya nyampe di halte, dengan pedenya melenggang sambil berasumsi, yah, kalau ga salah dulu menit ke lima belas setelah jam enam ada bis. hasilnya: setengah jam nahan dingin di tengah udara 2 derajat nungguin bis. moral lesson: jangan bikin pengajian malam-malam di musim dingin dong, bang!*he he he*

-waktu berpikir tentang 'mau ngapain yah sebelum kuliah' dan kemudian muncul ide spontan, ke centrum aja yuk, pagi-pagi, gerimis, kehujanan, ke centrum jam sepuluh pagi... loh kok sepi? lupa, ini hari Senin, toko-toko disini baru buka jam satu, jam sebelas-lah itu yang paling top. hasilnya ngedumel sendirian tentang betapa ajaibnya orang-orang pemalas ini pernah ngejajah bangsa kita yang rajin-rajin itu, begitu lama

-Waktu bersemangat sekali mau kuliah sampai melupakan jadwal kuliah dan berasumsi paling sama kayak kemarin, saya datang ke kampus jam sembilan pagi, pas datang ke ruangannya baru lihat jadwal, ternyata: kuliahnya jam setengah tiga sore *huaa!!!aaaaarrrrrrggh!*

betenya, kalau di Indonesia, ga ada persiapan outfit yang makan waktu untuk sekedar keluar rumah. ga ada udara dingin yang harus dihadapi. Jadi bersikap implusif bin asumtif itu kadang-kadang ga bikin kita segondok ini. Mau naik angkot, tinggal nongkrong di pinggir jalan, mau naik KRL, tinggal beli tiket. toch, kalau melihat jadwalnya juga percuma karena tidak bisa diandalkan.

Makanya, disini perencanaan itu jadi bagian penting kalau ga mau rugi waktu dan nyiksa fisik. aktivitas diluaran itu harus benar-benar optimal dan menghasilkan. Ini yang membuat mereka jadi orang-orang yang efektif dan efisien dalam melakukan segala hal. Saya mulai sadar betapa saya mulai tidak familiar dengan sikap impulsif ini waktu seorang teman memberi kabar, besok dia mau datang ke Maastricht, minta petunjuk naik apa dari mana, dan mengingat keharusan menghormati tamu, tentu saja saya sudah menyiapkan dan mengatur semua perencanaan hari itu according to my friend yang akan datang ini. Termasuk rencana menjemputnya di suatu tempat dan mengecek jadwal bis. lewat satu jam dari yang dia janjikan akan datang, ada telepon datang;"maaf, kita ga jadi datang yah, langsung jalan2 ke centrum niy ..."waduh, memang rencananya gimana sih?

huhuhu ....
kalau di Indonesia yang ga harus keluar dingin-dingin sih ga bete-bete banget...
tapi ....
ini Belanda geto loch

Thursday, January 05, 2006

tentang doa

Waktu beres-beres buku, tiba-tiba lihat buku yang pernah dihadiahin 'bunda' waktu mau berangkat dulu. Ada kertas dengan catatan kecil. Isinya doa shafar (perjalanan). Saya ingat, ini kalau nggak salah diambil dari sebuah buku punya mamah. Sebelum pesawatnya take off dari Soekarno Hatta, bulak-balik saya baca

Dengan Nama Allah, dengan Allah, dan Allah Maha Besar. Aku bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah yang Maha Tinggi, Maha Agung. Apa yang dikehendaki Allah itu pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah, tidak akan terjadi. Maha Suci Zat yang menundukkan semua ini bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali pada Tuhan kami. Ya Allah akku memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan, ketakwaan dan amal perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah bagi kami perjalanan ini dan dekatkanlah jauhnya untuk kami. Ya Allah, Engkau sahabat didalam perjalanan ini dan pengganti di keluarga dan harta. Ya Allah aku berlindung diri kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, kegagalan dan pemandangan buruk pada harta dan anak

lalu ada doa ketika memasuki sebuah kota/negeri yang baru

Wahai bumi Tuhanku, Tuhanmu adalah Allah. Sesungguhnya aku berlindung diri kepada Allah dari keburukanmu, keburukan apa saja yang ada padamu, keburukan apa yang diciptakan padamu dan yang berjalan di atasnya.

Ya Allah, beri kami ketenangan didalamnya dan berilah kami rezeki yang halal didalamnya. Ya Allah aku meminta kepada-Mu kebaikan kota ini dan kebaikan apa saja yang ada didalamnya. Aku berlindung diri kepada-Mu dari keburukan kota ini dan keburukan apa saja yang ada didalamnya.

ada masanya ketika hamdallah tak cukup lagi untuk semuanya

Ah, doa.
salah satu hal terindah yang Allah hadiahkan untuk manusia.
tak pernah rugi jika meminta.
diberi jadi sebuah kesyukuran
ditahan jadi tabungan akhirat yang meringankan
-----------------------------------------------------------------------
dan ketika ada yang bertanya "kapan balik ke Indonesia?"
semoga saja itu kerinduan suci yang melangit menjadi doa
*berdoa*

Tuesday, January 03, 2006

pindahan

yeap, akhirnya pindah juga ...
ga bisa komen banyak kecuali, semua udah di atur sama Yang Memelihara Semuanya
abis, ga nyangka juga perkara niatan pindah ini bisa juga merembet ke kepentingan orang lain. Saya selalu percaya bahwa jalan keluar buat orang lain, rejeki orang lain, bisa jadi diciptakan lewat kita. kita cuma bertindak sebagai perantaranya aja. termasuk soal mencari tempat tinggal ini.Dan kemudian kita tinggal ternganga melihat design besarnya (oooh, jadi ini maksudnya ...). Allah itu memang sayang sama semuanya.

Okeh, Insya Allah semua sudah dipertimbangkan baik-baik, termasuk memanfaatkan sesi email-email panjang dengan 'susu-coklat-hangat-ditengah-hujan-lebat' (ya ampun, saya harus mulai mikirin panggilan kesayangan yang lebih pendek buat mereka) tentang apakah sebaiknya memang saya pindah ke A atau ke B. Jawaban terpenting yang saya tangkap "jangan pernah main-main sama kondisi ruhiyah, ya sayang"
jadi, welkomthuis ...
and to all my friends, enjoy your new place yaah