Saturday, December 31, 2005

insiden

Akhir Desember ini, student di Maastricht dikagetkan dengan adanya email dari salah satu anggota yang melaporkan tindak ‘pelecehan seksual’ yang dia alami semasa ada di Maastricht. Yang bersangkutan sendiri, sudah pulang ke tanah air. Tentu saja, ini jadi bahasan diskusi waktu kumpul-kumpul kemarin. Siapa sih orangnya ? diapain, kok bisa, dst jadi pertanyaan yang menyeruak.

Dan tauk-tauk Mas Ari bilang, “sebenarnya ada yang bisa kita minta konfirmasi soal ini, orangnya ada di ruangan ini.” Dezig, ya ampun, kok ini kayak scene puncak ala detektif Hercule Poirot karangannya Agatha Christie itu sih. Dan saya ga menyangka saya harus cerita hal yang saya ga suka ini ke publik. Saya memang tahu masalahnya, karena yang bersangkutan cerita pada saya, dan termasuk ada request dari suaminya di tanah air supaya saya bisa dekat dia buat ‘jaga-jaga’ supaya tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan suaminya.

Tapi kalau kondisinya sudah begini, mau apalagi. Saya sendiri ga menyangka beliau akan kirim email berisi hal terebut ke milis. Saya pikir masalahnya sudah selesai sewaktu beliau masih disini, forgive and forget. Suaminya pun sudah terima (katanya) bahwa tidak terjadi apa-apa. Karenanya, waktu teman saya itu menawarkan suaminya untuk bicara pada saya untuk menguatkan bahwa memang tidak terjadi apa-apa, suaminya menolak dan bilang sudah cukup, dia sudah percaya.

Makanya saya terkaget-kaget waktu terima sms dari teman saya itu, straight from Indonesia, bilangn bahwa dia kirim email tersebut atas permintaan suaminya yang masih kecewa dan belum percaya kalau tidak terjadi ‘apa-apa’.

Saya sendiri, waktu teman saya itu masih disini, berpendapat bahwa hal tersebut adalah aib bagi kedua belah pihak yang harus dijaga. Masing-masing sudah punya keluarga, bagaimana kalau berita semacam ini sampai ke istri yang bersangkutan, timbul masalah keluarga, bisa aja kejadian hal-hal yang tidak diinginkan, dan anak-anak akhirnya jadi korban. Mungkin saya berpikir terlalu jauh, tapi itu hal yang mungkin saja terjadi. Saya juga khawatir kalau masalah ini diekspose ke publik, akan jadi cap buruk yang selamanya melekat di dahi orang yang terlibat. Sementara, walaupun saya ga suka dengan apa yang saya tahu, tapi insiden ini bisa aja sebuah kekhilafan. Jauh dari istri, disuguhi tayangan macam-macam setiap hari, baik di televisi maupun di sekitarnya, sementara peluang untuk ‘itu’ tampaknya tersedia, siapapun bisa khilaf. Kalau akhirnya mereka sudah saling memaafkan, ga ada gunanya bukan buat cerita-cerita masalah ini?

Tapi toh, dengan dilempar ke milis, akhirnya masalah ini jadi terekspose ke publik. Akhirnya harus cerita juga karena situasi yang penuh pertanyaan khawatirnya menjurus ke fitnah yang lainnya. Saya cuma bisa bilang bahwa ini bukan tentang kita harus tahu siapa orangnya, tapi sebuah pengingatan supaya kelak hal-hal semacam ini ga terulang lagi.

Berada jauh di negeri orang. Terpisah dari anak, istri, suami atau sahabat-sahabat dan lingkungan yang kita kenal, kadang menciptakan situasi lonely yang membuat kita merasa perlu untuk menjalin kedekatan dengan siapapun yang punya satu kesamaan penting dengan kita. Entah itu sama-sama dari Indonesia, atau sama-sama ikhwah, atau sama-sama seagama. Dan kedekatan itu biasanya berlaku baik laki-laki maupun yang perempuan. Rasanya seperti saudara sendiri, kawan dekat, yang harus saling menolong dan saling menjaga.

Itu hal yang positif tentu saja. Tapi aspek negatifnya juga ada. Dalam kedekatan itu, kadang kita lupa untuk tetap menjaga etika hubungan yang semestinya. Bahwa bagaimanapun, yang kita hadapi adalah istri orang lain, suami orang lain, seorang laki-laki atau perempuan yang jadi ibu atau ayah dari anak-anak yang bukan anak kita. Bukan muhrim. Bahwa bagaimanapun, manusia ya tetap manusia, yang selalu punya potensi untuk khilaf, ga peduli dia ikhwah atau bukan. Karena kadang alasan-alasan kesamaan,serasa saudara sendiri, atau masalah tarbiyah itu, kita jadi ngerasa aman, seakan-akan si Toni a.k.a syaitonirozim itu, ga punya kerjaan lagi.

Omong-omong soal aman, saya sering miris kalau dengar cerita-cerita miring ‘serupa tapi yaaah ga separah itulah’ tentang insiden antar ikhwah yang tampaknya berawal dari rasa ‘aman’ terhadap kemungkinan khilaf ini. Dan saya paling tidak suka jika cerita itu sudah diembel-embeli dengan ‘padahal ikhwah yang bersangkutan punya reputasi yang sudah dikenal’,’ustadz atau ustadzah terkenal’. Saya berharap berita itu bisa sampai ke telinga untuk sebuah pengingatan, bukan karena mereka lupa pada kewajiban untuk saling menjaga aib saudara sendiri.

Insiden-insiden semacam itu saya pikir salah satu faktornya, bisa jadi ada kebutuhan-kebutuhan—psikis n physic—yang ga mereka dapat dari pasangannya. Karena terpisah jauh, atau karena sama-sama aktivis, jadi lupa, bahwa pernikahan bukan Cuma medan yang harus penuh jargon-jargon perjuangan, tapi juga harus ada hal-hal yang jadi bumbu dan penyemarak. Mungkin bentuknya bunga, ucapan selamat milad, kartu, panggilan kesayangan atau apa kek (he he jadi ngiri waktu ngeliat my orang penting sedunia, pulang bawa se-dozen bungan mawar di hari jarig (milad) istrinya). Dan kalau bumbu-bumbu tersebut tidak tersedia, dan ada pihak lain yang berpotensi menawarkan hal tersebut… yaaaa, kejadian deh.

eh kok ngaco, jadi cerita ke sini

Anyway, teman saya itu, pasca insiden-insiden itu, sering mengeluh pada saya bahwa dia tidak akan pernah lagi berpisah lama-lama seperti ini dengan suaminya. Banyak fitnah dan godaan yang harus dia hadapi. Kalau sudah begini, saya jadi berpikir untung juga yah saya belum punya siapa-siapa secara de jure. tapi pikiran itu langsung keok sama teman yang lainnya yang bilang : justru kalau kita sudah punya ikatan yang legal, atau setidaknya kita tahu for whom im saving my self, lebih mudah jaga hati. Wah, benar juga yah. Kalau yang sudah punya suami aja bisa kejadian hal-hal semacam ini, yang kayak saya, bukannya ge-er, potensi fitnahnya bisa lebih besar lagi---huaaa!naudzubillahimindzalik

Udah ah, banyak-banyak doa
be a good moslemah, jaga diri, jaga hati
Habis mau diapain lagi? *garuk-garuk kepala*

Tuesday, December 27, 2005

Indonesia ?

Di kota kecil semacam Maastricht, dibandingkan dengan Den Haag misalnya, saya merasa orang-orang lebih hangat dan gampang menyapa. Saya pasti bakal mengingat ini sebagai salah satu hal yang saya suka dari etika pergaulan orang Belanda, selain cara pandang yang cenderung down to earth.

Seperti waktu suatu pagi, habis kehujanan, saya pikir yang paling enak tentu adalah minum teh hangat. jadi langsung ke vending machine tempat jual teh, kopi, susu di kampus. Lagi lihat-lihat begitu tauk-tauk ..."goeiemorgen! how are you today ? do you want anything ?" wah, itu kan bapak-bapak yang tugasnya jadi pengisi ulang semua vending machine di kampus. kalau ketemu, biasanya kita cuma saling melambaikan tangan sambil tersenyum. sesekali kalau lagi pingin yah bilang tot straks, tot ziens. "kamu mau apa? hari ini saya yang traktir," katanya dengan ceria. wuaah, beneran nih oom ? "beneran!" aku mau teh deh! met suiker? met melk ? tanyanya lagi. naah, ini namanya rejeki dari arah yang tidak disangka. thank you, this would be a wonderful start for my day, kata saya (dalam hati, besok-besok lagi ya oom!)

Atau waktu antri mengambil kopi di Guesthouse, bersama saya ada anak muda yang juga ikutan mengambil kopi. Setelah mencampurnya dengan krim dan gula, tiba-tiba orang itu mengulurkan tangannya pada saya. Hah? kenapa mas ? dia menunjuk bungkus kosong krim dan gula di tangan saya. Ooooh, rupanya dia mau bantu ngebuangin kertasnya, berhubung tempat sampahnya ada di dekat dia. wuaaah, manis sekali (wink2). Yang manis-manis seperti menolong menunjukkan arah pada oarng yang kesasar (diawal-awal kejadian ini seringkali menimpa), atau menolong menaikkan barang-barang belajaan ke sepeda (ini waktu terlalu semangat belanja sampe lupa kalau ga akan muat di sepeda), menahan pintu untuk orang lain, sepertinya juga jadi sebuah tata krama entah dia laki-laki atau perempuan. Dalam hal lalu lintas, aturan mainnya adalah yang punya mobil mendahulukan sepeda dan pejalan kaki. Jadi kalau sudah melihat kita berdiri di depan zebra cross, mobil akan langsung menahan diri untuk memberi kesempatan yang jalan kaki atau yang naik sepeda untuk menyeberang.

Dan entah karena Maastricht itu kota yang tidak terlalu padat, bukan tipikal kota untuk pendatang seperti Delft, atau juga wajah saya Indonesia sekali, jadi sering banget disapa "Indonesia?!" entah kalau lagi jalan atau sedang naik sepeda. Seperti waktu di stasiun, seorang bule tiba-tiba menyapa dengan ramah "Indonesia?!" saya bilang "ya! saya Indonesia" dia bilang lagi "Selamat datang di Belanda, Assalamualaikum. Mooi (cantik)!" wuah, siapa? saya? Indonesia? Ogah banget dibilang cantik sama orang bule, kan biasanya definisi cantik mereka itu yang aneh-aneh, sementara saya manis begini geto loch (wa ka ka ka).

Walaupun tentu aja yang nyebelin juga banyak (kalau urusan birokrasi, sama aja ngeselinnya kayak di Indonesia), tapi itu hal-hal manis yang kadang membuat saya iri. Kok etika semacam itu sulit sekali didapati yah di Indonesia. Sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak, etika gemar menolong, mendahulukan orang lain, kok hampir-hampir ga kelihatan. Mau menyeberang di Margonda atau di Ciputat aja, aduh ... butuh nyali yang besar. Yang mendisain tata kota maupun yang punya mobil tampaknya lupa kalau pejalan kaki juga punya hak yang sama.

Tapi, saya tetap percaya kok bahwa ini bukan urusan mental yang taken for granted 'yaa emang kayak gitu, mau diapain lagi', saya percaya ini juga urusan sistem hidup yang bisa direkayasa, bisa memaksa tanpa sadar orang untuk berbuat baik. Dan kalau bicara merubah sistem, maka resep Aa Gym itu saya pikir salah satu alternatif yang mujarab. Mulai aja dari diri sendiri, mulai aja dari keluarga sendiri, mulai dari anak sendiri.

karena tiap manusia di beri potensi kebaikan. Tinggal apakah potensi itu bisa hidup dan berkembang dalam sistem yang kondusif. Bicara masalah keramahan, kebaikan hati, jangan salah, orang Asia tenggara, Melayu macam kita, saya pikir punya fleksibilitas dan keterbukaan yang lebih besar terhadap perbedaan dibanding orang Eropa. bukankah our great-great grandfather kita yang katanya pelaut itu adalah orang-orang kepulauan yang dari awal sudah terbiasa dikunjungi orang-orang rambut jagung atau yang matanya sipit atau yang kulitnya keling ? pastinya cuma orang-orang berhati hangat yang bisa membuat orang-orang asing itu mau datang dan datang lagi untuk berdagang, beranak pinak sampai suatu saat muncul ide bagaimana kalau kita jajah saja orang-orang baik hati ini ? he he he

Dan kalau bicara masalah penjajahan, maka mengeruk kekayaan Indonesia secara gila-gilaan untuk mengisi kas negara Belanda, bukanlah hal yang terburuk. Yang terburuk dari peninggalan 350 tahun itu adalah rusaknya sistem kehidupan dan budaya bahari Indonesia, rusaknya mentalitas dan kepercayaan diri bangsa kita. Dan itu .... saya yakin tidak akan pernah terbayar, sebanyak apapun mereka merogoh kantung untuk mengongkosi orang Indonesia untuk kuliah di Belanda. Kalau ingat betapa 'dalam' kerusakan yang ditinggalkan, pastinya sakit hati lah, tapi rugi dua kali kalau dalam sakit hati tidak bisa mengambil kebaikan, bukan ?

Saturday, December 24, 2005

bye ...

"This is it attin...i had to say good bye..." Irene berdiri di tengah kamar. Dalam balutan T-Shirt dan celana jeans, tanpa make up, wajahnya kelihatan jauh lebih muda. Wah, kok tiba- tiba jadi terharu yah. Kami berpelukan "thank you for being such a nice roomate" bisik saya. "Succes..." Kami terus cengengesan gak jelas.
Ini, orang yang dari awal saya sudah ketar ketir bakal bawa cowok ke kamar,yang dari awal saya bayangin yang 'gawat-gawat' tapi akhirnya ... empat bulan terlewati dengan baik-baik saja.
Kami memang berbeda, tapi saya tidak bisa bilang hal-hal yang jahat tentang gadis ini. Masih ingat waktu pertama kali duduk bareng saling tukar informasi kebiasaan dan keseharian masing-masing, langkah yang saya pikir sangat cerdas untuk menghindari alis yang terangkat. Masih ingat waktu dia minta ijin kalau ada teman cowoknya yang akan datang dari Madrid dan mau nginep di kamar, dan entah bagaimana ekspresi yang saya tampakkan, tapi dengan paniknya dia langsung bilang "no,no,no! he's not my boyfriend!" dan cowok itu, entah bagaimana tidak pernah sampai ke kamar kami, walau saya bilang "yaaah, kalau dia penting sekali buat kamu, aku ga keberatan dia tidur di kamar buat istirahat tapi setelah aku pergi kuliah".
Komunikasi yang kami lakukan lebih banyak bersifat metakomunikasi. Minggu ini dia buang sampah, oke kalau begitu minggu depan giliran saya, dan minggu depannya dia, begitu seterusnya. Begitu juga soal bersih-bersih kamar dan stove. Dia lebih jarang bersih-bersih, tapi kalau bersih-bersih hasilnya kinclong sekali sampai saya ga akan tega pakai kompor buat masak. Jadinya heran juga waktu Ayako tanya apa kami bagi-bagi tugas. Ga tuh, cuma saling ngebaca aja satu sama lain.

Kami sama-sama suka masak (ehmm, buat saya sebenarnya 'kepepet untuk masak'), saya akan dengan senang hati menyisakan sepotong dua potong kue untuk dia cicipi, tapi dia tidak akan pernah menawarkan masakannya buat saya "You not eat, what I eat", katanya. Jadilah kulkas kami isinya barang 'halal dan haram' he he... rak atas jatah saya, sementara daging-dagingan dan bir-bir-an milik dia ada di rak bawah.

Dia bangun jam satu siang, saya bangun subuh. Tapi kalau bangun, saya ga berani nyalain lampu kecuali lampu belajar sampai dia bangun. Saya tidur jam setengah sebelas, dia tidur jam empat. Dia akan matiin lampu kecuali lampu belajar kalau saya sudah menunjukkan gelagat mau tidur. Suatu kali sepupunya datang, nyalain komputer dan mp3, begitu saya mau shalat, saya dengar dia minta sepupunya dalam bahasa spanyol, buat matiin musik. Ini memang request dari awal. Kamu boleh dengerin lagu kapan aja, kecuali kalau aku lagi 'pray' tolong di kecilin ya volumenya.

Saya juga ingat betapa entengnya waktu dia cerita,"My parent is a catholic but they dont practice. so I am .. what you call in english? hmm... Atheis" sementara saya berusaha keras pasang tampang penuh pengertian sambil dalam hati berseru-seru "what?! gila lo yeh, emangnya gampang apa jadi atheis?!memangnya mudah nemuin jawaban buat semua persoalan di alam yang maha dahsyat ini sendirian?!"

he he
dan empat bulan akhirnya berlalu tanpa konflik berarti. Alhamdulillah.Pelan-pelan, saya lepas papan nama yang dia buat untuk pintu kamar kami. Witing tresno jalaran soko kulino,itu teori yang masih valid juga rupanya. Koridor kami tambah sepi. Tetangga kiri kanan sudah kosong. Tiba-tiba mata saya menghangat...

Sendirian itu
tidak selalu enak

Wednesday, December 21, 2005

Nggak Jelas ?

Kelihatannya, dikebanyakan orang, yang namanya belum punya pasangan alias jomblo (katanya siy itu istilah ngga bagus yah, di budaya tertentu, artinya kira kira “nggak laku” tapi jadi nge-tren sebagai orang yang ngga punya pasangan hihihi) biasanya ribut ribut masalah “nggak jelas”.
Umumnya, yang disebut sebagai hal yang “nggak jelas” itu adalah ketidak-konsistenan dari sikap seseorang yang “dimaksud” sebagai pasangan. Saya gunakan tanda kutip sebagai tanda bahwa banyak hal yang melatarbelakangi dan membumbui kata dimaksud itu. Misalkan saja, seseorang yang bermaksud menjadikan seseorang lainnya (ribet deh, bahasanya! Hehehe) sebagai pasangan menemukan sikap yang tidak kondusif (apa siy!? Hihi) dari seseorang yang “dituju”nya.
Niat menjadikan pasangan ini sekurang kurangnya ada 2: Ada yang untuk pasangan hidup dalam arti serius ingin menikah dengannya atau hendak menjadikannya pasangan “setengah hidup”. Maksudnya, kalau cocok menikah boleh juga, kalo ngga ya temenan aja. Hehehe. Ketidakjelasan ini kadang imbas dari karakter dan kebiasaan seseorang. Baik yang menginginkan seseorang menjadi pasangan maupun yang menjadi “yang diinginkan”.Misalkan saja. Ada orang yang salah paham dengan sikap seseorang yang awalnya tidak diinginkannya menjadi pasangan alias ‘temenan’ saja. Namun lambat laun ia menjadi berpikir untuk menjadikan temannya itu menjadi orang yang diinginkan menjadi pasangannya. Dengan sekian kualifikasi ternyata sang teman masuk ke dalam kategori pasangan yang ideal bagi seseorang itu. Ditambah lagi sang teman itupun disinyalir menginginkan hubungan mereka lebih pasti dari “apakah sekadar berteman” atau “diseriusin” saja.
Singkat cerita, ternyata sang teman itu menikah dengan orang lain. Dan ternyata lagi, salah seorang teman saya bilang, tidak hanya si seseorang itu yang menyangka bahwa si teman menginginkannya sebagai pasangan. Tapi lebih dari satu orang! Hehehehe.Itu baru satu contoh.
Contoh lain. Misalkan seseorang bernama Rani menaruh perhatian pada si Rano. Singkat cerita (kali ini bener bener singkat. Hihihi) mereka “selisipan” jalan. Rani lebih dulu menginginkan Rano sebagai pasangannya. Dan berhenti berharap karena menurutnya Rano tidak juga “ngeh” akan penantiannya. Saat Rano berganti menginginkannya sebagai pasangan (bukan pasangan hidup. Karena cerita ini cerita teman saya jaman SMP. Hehehe. Jadi dapat dipastikan mereka belum berpikir untuk berpasangan sebagai teman hidup)Tapi, Rani tidak lagi menginginkannya. Ia sudah mendapatkan calon pasangan lain yang diperkirakan lebih menjanjikan suatu hubungan yang jelas.
Sampai hari ini saya dan teman teman masih suka menceritakan hal itu sambil tertawa tawa. Lucu sekali. “Selisipan suka”. Sembari tidak satupun dari mereka yang mengetahui hal itu. Kok bisa? Iyalah. Masing masing pihak cerita ke temannya tanpa konfirmasi kepada yang berwenang alias bukan langsung ke masing masing orang yang mereka tuju.
Herannya. Sepertinya urusan “nggak jelas” ini kadang memang bisa jadi topik biasa dikalangan orang orang yang belum punya pasangan tetap (pasangan hidup atau “setengah hidup” itu) bahkan sampai saat ini, saat sudah tuwir (baca: tidak muda lagi) begini, saya masih saja menemukan urusan seperti ini di antara kenalan saya yang sama tuwir-nya sama saya. Hihihihi.Saya mengerti siy mengapa ketidakjelasan ketidakjelasan itu bisa hadir. Ada yang beda banget karakternya. Sampai sampai yang bermaksud sekadar baik jadi dikira “ada apa apa” atau sebaliknya. “ada apa apa” tapi dikira “sekadar memang tipikal baik hati dan gemar menolong” hehehe.
Ada yang memang malas mengklarifikasi. Atau gengsian. Atau memang senang aja memanfaatkan situasi “nggak jelas” tanpa berpikir untuk serius memikirkannya lebih jauh (kurang ajar yang ini mah. Hihihi)Entah apa sebabnya, paling tidak ke“ngga jelas”an ini bisa ditanggapi dengan 2 cara: Minimal loh. Cara pertama: Ya Tanya aja. Susah amat. Hehe. Cara kedua: Ya cuekin aja. Kalo tauk “ngga jelas” itu ngga enak kenapa harus pusing pusing mikirin yang “nggak jelas”? Hihihihi.

sambil makan bakwan jagung baca postingan di blog lama si
Ge, sahabat yang dengan manisnya suka manggil saya dengan sebutan 'sekeping hatiku' (duh, Ge..aku padamu deh). Jadi terpikir soal urusan ga jelas ini. Buat saya hal-hal semacam itu, sudahlah cukup jadi jatah siklus-ujian-standar pendewasaan dari Allah buat anak kuliahan semester dua atau tiga (there's always time for stupidity for everyone, ya kan?) . Kalau sekarang ? hmmm ...hare gene masih ga jelas ?

katanya, orang beriman
tidak melakukan
kesalahan berulang (Brothers)

jadi

maap-maap

ga berminat.

Monday, December 19, 2005

Ke Kringloop

Setelah dua hari bermalas-malasan di kamar, akhirnya saya nyerah juga. Tidur tengah malam bangun jam sembilan pagi memang menggiurkan, kalau cuma dilakukan sesekali. Tapi kalau tiap hari ? wuah, maaf-maaf deh, nggak kuat aja. Jadi pagi ini diputuskan buat mengganti udara di paru-paru saya (hiperboliknyaaa!). Musim dingin seperti ini memang siapapun bawaannya malas buat keluar rumah. Tapi toh ga jadi alasan buat ga beraktifitas. Jadi setelah sikat gigi, ganti baju langsung rapi-rapi pake mantel ke bike sheed. "Ayo Traxxy, udah cukup malas-malasannya, let's do some exercise!" mau kemana kita ? hmmm... ke Brusselsport mungkin. Sabun mandi habis, jadi kayaknnya belanja di Etos. Setelah itu bolehlah lihat2 di C1000 walaupun ga ada niatan belanja, kita masih punya cukup stok makanan. Setelah itu gimana kalau ke Kringloop? toko second hand, dan mulai berburu barang-barang yang mungkin nanti diperluin kalau pindah ke tempat baru nanti ? goed? Jadi berangkat deh kita berdua ke Brusselspoort. Menghabiskan waktu yang lumayan lama buat memilih sabun dan shampo di Etos (sambil mikir-mikir mau beli maskara ga yah ??? ha ha ganjen!), trus ke C1000 beli mie (ini perlu untuk keadaan gawat darurat), wafel (ini buat sarapan). dah terus ke Kringloop. Toko barang second hand ini ga jauh letaknya dari guesthouse. Diperjalanan saya mereka-reka apa yang kira-kira dibutuhkan. Tempat sampah, karpet mungkin kalau ada, lampu belajar... dan sampailah di Kringloop.

Sebenarnya, saya agak sedikit menyesal baru menemukan toko ini agak terlambat. Walau dekat dan tiap hari saya lewat, saya tidak pernah sadar keberadaannya. Kalau saya berangkat, toko ini masih tutup, dan ketika pulang, saya akan di jalur sebrang. Maka saya tidak sadar akan keberadaaannya. Baru setelah di beri tahu Nurul, saya 'ngeh' akan toko ini. Isinya barang-barang second hand yang masih lumayan bagus. Kalau punya 'mata yang bagus' ga kecil kemungkinan bisa menemukan barang-barang yang oke punya.
Isi tokonya ga jauh dari bayangan saya tentang bagaimana toko second hand seterusnya. isinya seperti toko Curious Goods-nya film horor Friday the 13th (hiiiii... ). Mulai dari yang kecil-kecil seperti asbak, tempat anting,koin, figura, jas,selimut,mainan anak,boneka, komputer,kulkas, sampai barang yang saya tidak tahu apa gunanya, ada disini . Oh, ya kenapa menyesal ? karena kalau saya tahu lebih awal mungkin saya ga akan merogoh 24 euro buat beli sepatu boot dan 29 euro buat beli winter jas di C&A (ini setelah bersabar menunggu kortingan dari 39 e). Meskipun affordable dalam budget, tapi kalau ada yang murah kenapa tidak ? diawal-awal (dan sampai sekarang) masih suka punya kebiasaan secara otomatis mengkonversi euro dalam rupiah. Jadi reaksinya akan langsung; yang bener aja! mahal amat! atau; ga kira-kira! atau; kalau di Jakarta aku bisa beli cendol berapa bungkus dengan uang segitu! atau kalau di Indonesia cuma segini harganya dst,dst sehingga saya akan berakhir dari beberapa list barang yang mau dibeli jadi satu atau dua atau bahkan tidak beli apapun. Lalu kok bisa beli sepatu dengan harga segitu ? he he itu yang namanya pembeli melankolis. Waktu lebaran sedih aja karena ga kerasa sudah lebaran. Jadi untuk menghibur diri, balik deh ke tradisi kanak-kanak :beli sepatu baru! terus soal mantel ... habis bagus aja ha ha ha... nah ada saatnya kan kita jadi pembeli tidak rasional ? tapi ga kok, mantel yang saya beli itu panjang hingga ke lutut jadi berguna banget dimusim dingin begini. kalau kehujanan, setidaknya cuma seperempat rok saya yang basah. Tapi tetap, kalau ke Kringloop harga segitu sudah dapat mantel berapa yah? mungkin modelnya ketinggalan beberapa zaman, tapi tidak sampai ke zaman batu toch? huaah.. sudah ketularan Belanda niy, jadi pelit, eh .. berhati-hati menggunakan sumber daya.
Keberadaan toko-toko second hand macam Kringloop di Belanda ini salah satu petunjuk bagaimana mereka sangat maksimal dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Waktu makan malam di Anya, kami ngumpul diruangan dengan penerangan yang 'secukupnya', waktu salah satu teman kami secara tidak sengaja menekan tombol lampu, tiba-tiba living room itu jadi terang benderang, tapi Anya minta lampunya di matiin aja,"it;s agains our idea about saving energy", katanya.. ya ampun. Tapi cerita ini lain kali aja.
Akhirnya di Kringloop itu ketemu juga barang yang dicari. Lampu belajar (3,50 e), tempat sampah (1 e), karpet(3e)--ini setelah dibantu yang punya toko mengaduk-ngaduk bergebung-gebung koleksi karpet mereka di gudang berdebu, beberapa dekorasi tapi fungsional (tempat naruh bunga kering--biar nanti kamarnya ga terlalu bau saya he he he), vas, kotak kecil, porselen anjing laut sama anaknya (naah... yang ini fungsionalnya relatif). Karena barang bawaan lumayan banyak, saya putuskan untuk membawa nya dua putaran. Saya meminta ijin kepada yang punya toko untuk titip karpet dan akan saya ambil setelah saya mengantar semua barang-barang ini ke guesthouse saya. fiuuh, capek juga. Sudah, kita cukupkan aktivitas diluar sampai sini ya ...

Sunday, December 18, 2005

Kenapa ya?

Ada yang tanya, kenapa sekarang blog ini isinya makanan melulu ? "biasanya ada sesuatu yang aku rasa setelah baca tulisan kamu..."

zeg.

dalem bo.

Tapi kenapa ya? terlalu sibuk untuk merenung ? terlalu lelah untuk membaca sesuatu yang baru ? bukannya tiap hari juga belajar hal yang baru ? ketemu hal-hal menarik yang baru ?betapa sering saya kepingin menuliskan suatu hal yang saya dapati menarik dari kuliah saya, tapi selalu berujungan pada Oaaaahm.... ngantuk ah!

tapi terima kasih masukannya

Kadang ... cuma ingin menikmati kesenangan-kesenangan hidup yang sederhana. Sesederhana kenikmatan dalam menemukan kenyataan, bahwa klepon, tempe mendoan, keripik singkong yang dulu hal biasa tanpa keistimewaan di meja makan, merasakan kehadirannya disini adalah sebuah 'petualangan' dan barang mahal. Dan saya jadi berpikir tentang banyak hal-hal sederhana 'diluar sana' yang ternyata begitu istimewa ketika saya ada 'di dalam sini'. Ternyata perpisahan, menarik diri dari realitas keseharian, adalah sebuah kebutuhan agar kesadaran itu tetap terjaga. Ketika kita punya kesadaran tentang betapa berharganya realitas 'sederhana' diluar, kita jadi lebih mudah bersyukur. Dan ketika kita mudah mensyukuri hal-hal yang kecil, maka akan terasa betapa banyak hal luar biasa yang kita punya.

Memasak itu juga tentang pengetahuan betapa itu semua tercipta dari proses yang tidak mudah. Untuk bisa merasakan kue cucur, ternyata kita harus menunggu kurang lebih 30 menit, teknik mengaduknya berbeda dengan tujuan tercipta serat-serat halus ketika di goreng nanti. Ternyata ada begitu banyak kerja di balik kue jelek--tapi lezat-- berwarna coklat penuh minyak itu. Dan dalam hidup, ada saatnya kita harus bersabar, menanti, mengaduk dengan teknik tersendiri hingga akhirnya 'kue-nya' pun jadi.

Jadi memasak itu saya pikir seperti menjalani hidup.

Tidak sekedar ukuran berapa sendok teh garam yang harus kita gunakan, tapi juga tentang melatih indera pengecap dan rasa sebanyak apa kita mau mengkombinasikannya dengan gula. Hingga pada akhirnya ketika kita makin terlatih, memasak adalah persoalan naluri. Karena ada masanya ketika kita menghadapi persoalan dan tantangan hidup, yang kita andalkan sebagai alat tiada lain naluri kita sendiri. Karena betapa banyak hal-hal yang tidak bisa dikalkulasi.

Memasak itu resep suksesnya kita dapat dari ibu, teman, majalah, Rudi Choiruddin, Siska Suwitomo, significant others. Tapi keistimewaannya selalu terletak ketika rumus baku itu bertemu kreativitas kita. Hasil akulturasinya bisa rasa baru yang dipuji orang, tapi bisa juga cuma jadi eksperimen gagal. Yang terakir, tentu harapannya adalah kita boleh gagal waktu mencoba resep yang pertama, tapi ketika kita mencoba untuk kedua kalinya, kita sudah tahu apa faktor penyebab kegagalannya. Mungkin karena kurang sabar menunggu bawangnya matang, mungkin airnya kurang banyak, lain kali garamnya se sendok, kali lain tidak usah pakai kaldu tapi gunakan saus tiram.

kalau masih gagal juga ?
Coba saja resep yang lain. Kita masih bisa hidup tanpa makan sayur asem, toch ?

*buat yang tanya .... hmmm ...yang jelas, karena ini blog saya, dengan berat hati saya harus bilang, pasrah aja ya apapun isinya ya ... he he he

Saturday, December 17, 2005

Dinner MPH

Waktu di tanya mau bawa apa ke makan malam ke tempat Anya, dengan pedenya saya langsung bilang "Aku bikin klepon deh!" padahal sumpe, kagak pernah punya pengalaman bikin klepon!pernah ngeliat sih dulu gimana si mamah bikin, tapi itu waktu jaman-jaman es de dulu. Tapi, aaah! percuma jadi penonton setia ibu Siska Suwitomo kalau bikin klepon aja ga bisa mah! Lagi pula saya pikir klepon itu Indonesia banget. dengan kelapa di luar dan didalam, it's so archipelago. jadi, mari kita liat apa yang kita punya di lemari:
santan kara (sip!)
pewarna pandan (sip!)
kelapa parut (ini beneran ada, di jual, tapi udah dalam bentuk dalam kemasan jaim
nan rapih. beda dengan produk kita yang segar, alami bin berantakan, hasil parutan
abang-abang di pasar)
gula merah
garam
tapi ga ada tepung ketan, eh bener kan pake tepung ketan?

akhirnya diputuskan benar. Jadi pulang kuliah hari terakhir sebelum liburan natal, langsung ke San Wah cari tepung ketan. pulangnya kehujanan, ketiup angin, basah dari ujung kepala sampai ujung kaki. benar-benar perjuangan untuk sebuah klepon.

Sampai di kamar langsung beraksi. Gula merah di kikir, lelehin santannya, campur sama air, buka tepung ketannya, siram! wah ... kok jadi encer gini? nggg ... tambahin .. sagu ? tambah sagu. hmmm... tidak lebih baik. terigu, mungkin? tambah terigu. lumayan, tapi tetap ga meyakinkan. lengket ga bisa dipulung. tambah lagi? nanti jadi siomay dong? tambah lagi ini, tambah lagi itu. akhirnya walaupun agak ga yakin ya sudahlah. didihkan air. pulung, isi dengan gula merah, masukkan ke air mendidih. pulungan pertama gagal, keburu berantakan sebelum masuk air. Tambah ini itu lagi. coba lagi, yes! bisa. Deg-degan mengamati nasib mereka di air mendidih. kalau semua berjalan sesuai rencana, maka dalam waktu beberapa menit akan ada bola-bola klepon mengapung di air mendidih. itu dia! diangkat dan melihat hasilnya. loh, kok ga bulat sempurna ya? mblabar mbleber gini kayak lukisan Salvador Dali ?Irene terbengong-bengong melihat saya. "are you ok?" ya, ya .. im fine. just have some feeling it shouldn't be look like this...

tapi pantang mundur deh, udah terlanjur.
Toh, saya masih punya Plan B, bikin Lumpia incase terjadi apa-apa sama Klepon. Akhirnya setelah satu jam-an, kleponnya jadi juga. Wuaw! not so bad after all!

Habis itu langsung di sambung dengan bikin Lumpia ala saya. Sebenarnya ga suka lumpia yang isinya rebung itu. baunya aneh aja. Lagi pula rebung disini mahal dan agak susah nyarinya. makanya saya selalu bikin dengan kentang dan wortel, sayuran favorit. kombinasi mereka berdua selalu enak dan warnanya juga cantik. Dan berdasarkan pengalaman, lumpia coba-coba ini tidak mengecewakan rasanya di lidah internasional. Jadinya, kalau di bawa ke international dinner seperti ini, tidak malu-maluin harkat dan martabat bangsa *gubrak!*
dan inilah lumpianya ....
oh ya bahan-bahannya?
kulit lumpia (dah jadi dong, mau bikin sendiri gitchu? ma kasi deh)
wortel dipotong kotak
kentang dipotong kotak (tp kalo mo improfisasi bikin segitiga, setengah lingkaran,jajaran genjang, juga boleh)
bawang bombay
bawang putih
merica
garam
gula
daun bawang
telur

selebihnya tau laah diapain ....
akhirnya dua-duanya di bawa ke tempat Anya. Hasilnya ? he he he... seperti yang diharapkan.
Oh ya, Caroline dari Colombia bawa starter chip n dip pake alpukat, Issabel dari peru bawa kentang mayonaisse isi ayam, Catherine bawa vlai buat dessert, Marriette bawa puding semolina (?) tradisional dutch, bergizi dan katanya biasa dikasih buat anak-anak, astri bawa tempe mendoan dan tumis kangkung, elida bawa ayam bumbu bali, Xu Jing bawa semacam dimsum isi jamur dan udang, Else bikin sup prei, beni bawa nasi (yaaa harap maklum saudara-saudara he he). Ga semuanya di foto, karena kelupaan. tapi, tanpa bermaksud ethnosentris, masakan Indonesia is the best!

Tuesday, December 13, 2005

Nothing Like Holiday ...

Diseases due to malnutrition are far from eradicated. Recent studies concerning the industrialized world predict that in the near future four out of ten people will be overweight. In many developing countries obesity is a serious problem as well. However in those countries obesity is not the only problem concerning people’s diets. In those countries public health officers are often confronted with kwashiorkor, marasmus, iron deficiency and other diseases due to an inadequate diet. In many communities it is women and female children who run the highest risks of such diseases.

You work as the public health officer for an NGO in the southernmost district of North Z*. In your daily work you are far too often confronted with (mostly female) patients who suffer from symptoms that, in the medical handbooks, are ascribed to insufficient diets*.

After years of discussion the North Z’s Ministry of Health finally agrees to (co-)finance a multi-disciplinary research team, including two experienced researchers. They will have to get insight in the background of the insufficient diets of the women and girls in your district. The idea is that in a later stage interventions based on the findings of each of these studies will be designed (and maybe even implemented).

You are asked to select the two most promising candidates for the research posts. After having shifted through a huge amount of applications you pick out three interesting candidates. One is a social psychologist. The second has been trained in the explanatory model approach. The third one is a so called “critical anthropologist” specialized in gender issues and other forms of social differentiation.

You select two of them.

Since you are also responsible for supervising them you write each of the two a letter describing briefly the (diet-related) problems you are facing and explaining what your expectations are with regard to their research projects. In the letter you suggest some preliminary research questions, each of which is accompanied by a short explanation. Of course you try to get the most out of each researcher and therefore you encourage them use their own particular expertise/approach to the fullest. That means that your suggestions for the preliminary research questions (and the short explanations) correspond with the approach the researcher is familiar with. In your letter you also express your concern about the shortcomings of the researcher’s approach. You explain what your critique is and you suggest ways in which these shortcomings could be dealt with.


* You can pick your own example of a country and a district. You are also free to choose the dietary problem that you feel is most relevant to your example. You are also allowed to choose an entirely different topic, but please discuss that with me first!


Formulate the answers to these questions on approx. 10 pages. Font: 11 pnts. Space between lines: 1½.

Hand in your paper before the fifth unit starts. You can leave your paper in my mailbox. Of course you can also hand it over to me personally.
Good luck, and do not forget to enjoy your holidays as well!!!

Oh dont worry, Anya

We'll just gonna having fun. no doubt

Saturday, December 10, 2005

MAKAAAAAN!!!


Gak tahu kenapa habis lihat YM kok malah jadi agak lonely dan senewen, am I on my periode already? jadinya daripada bete, mendingan kita masak-masak...hmmm tempe mendoan ?there's no remedies of homesick like tempe








how about this fancy 'looks like' cake fruit ? ini cuma hun kwue a.k.a ongol-ongol yang di furnish pake buah kiwi yang udah kematangan, terlalu lama di simpan di kulkas. ternyata, penampilannya lumayan juga ...



Ini kue ketan srikaya yang asli lekker banget. Yang buat... pastinya highly profesional bukan amatiran yang baru kenal kompor kayak kita kali yeee... ini dikasih Nurul pas tadi siang main ke rumahnya.









Lalu giliran main course-nya. well, sebenarnya tadi ke tempat Nurul karena lagi ngidam pingin banget makan udang. Dan pucuk di cinta ulam tiba (saaaah,bahasa-nya kita) beliau punya. Tadinya mau bikin udang pakai saus asam manis, tapi karena keburu maghrib ya sud deh, di ceburin aja langsung udangnya.

dan VOILA!!

Kira-kira, siapa yah yang enak buat diajak makan bareng ? apakah ....

Bapak ini ?

Mas yang ini ?

atau ....

yang ini ??


he he ...

nggak kok... panggil AYAKO!!!!

Thursday, December 08, 2005

Time Fly ...

Karena kangen, selasa malam saya dan Ayako sepakat untuk makan malam bareng."just have light dinner talk as we use to do" tulisnya dalam email. ya ampun,, sebulan ini rasanya kayak kuli, pergi pagi pulang sudah gelap. Ayako juga lebih banyak tenggelam di perpustakaan. kami jarang ketemu kecuali dalam keadaan terburu-terburu di koridor.

Jadi gitulah, ternyata kangen itu tiga setengah jam lamanya. Jam setengah delapan kami mulai makan-makan di tempat saya dengan sushi, ayam jamur dan salad. Ngobrol-ngobrol tentang habis kuliah ini mau gimana dan jadi apa, sudah ke Winterland blum, punya foto Zwarte Piet?, historical speech of Limburg, Indonesia, Jepang, siapa yang paling cool, Leonardo Dicaprio atau Josh Harnett yang main di Pearl Harbour itu, sampai kemudian sampai pada kesepakatan ga ada yang ngalahin bapak-bapak ganteng era 80-an macam Sean Connery, Harrison Ford dan Robert Redford. Jam sebelas malam, baru sadar kalau kami sudah lama sekali menghabiskan waktu di meja makan.

Hmmmf... ga terasa sudah masuk empat bulan. sepertiga dari perjalanan. Di guesthouse semua sudah mulai siap-siap. ada yang mau liburan natal, ada yang pulang, banyak juga yang pindahan. Callista menghadiahi saya sumpit cantik karena besok dia pulang. Karen, Mei Ting sudah mulai nge-pack, balik ke Hongkong dan Singapore. Irene tanggal 23 nanti akan kemali ke Madrid. Mereka semua anak-anak short course 4 bulanan. Yang lain sudah merencanakan main ke Finland, Paris, Venesia. "do you plan to spend your christmast holiday somewhere?" tanya Charrissa. Cuaca dingin begini sapa juga yang seneng jalan-jalan. Maastricht aja belum khatam di jelajahi. Saya dan Ayako punya rencana untuk mengunjungi beberapa kota di provinsi Limburg seperti Hasselt dan Heerlen. Mungkin juga ke Achen lagi buat mulai koleksi oleh-oleh buat semua yang dikangenin. Tapi yang jelas, ada agenda khusus dengan teman di Amsterdam dan Delft buat ziarah ke Granada di Spanyol.

Ayako dan juga saya, ga berhasil meminta pindah ke kamar single di guesthouse. Ayako, alasannya ingin kamar yang lebih murah, saya pindah karena ga ada jaminan dari guesthouse kalau roomate saya selanjutnya adalah muslim. Yang terakhir ini jadi penting buat saya setelah mengevaluasi dampak ruhiyah setelah empat bulan yang kayaknya ga terlalu menenangkan. Jadilah kami berdua harus membuat keputusan yang sebelumnya kami pikir sudah selesai, tidak ada diskusi. Pindah dari guesthouse yang nyaman dan mahal ini. Maybel dan Eric, karena cukup sabar dan cukup cepat bergerak, akhirnya berhasil pindah ke kamar yang lebih murah.

Anya sudah memberi kuliah tentang persiapan membuat master thesis yang prosesnya dimulai Januari nanti.

akhirnya ...

sudah empat bulan

Saturday, December 03, 2005

Natal

Desember berarti Natal. Centrum sudah ramai dengan hiasan natal. di Guesthouse saya dua pohon natal sudah bersinar-sinar dengan cerah. Tipikal natal banget lah. tapi ada yang beda antara Christmast di Belanda dan di negara lainnya. Disini anak-anak dapat hadiah Natal dua kali. Yang pertama tanggal 6 Desember dan yang kedua tanggal 25 Desember itu. Kok bisa ? bisa, karena disini ada yang namanya Saint Nicholas dari Spanyol dan datang naik kuda (yang datang tanggal 6) dan ada yang namanya Kerstman (Bapak Natal a.k.a Sinterklas) dari North Pole, datang dengan kereta salju yang datang tanggal 25. Ada satu lagi karakter yang populer (bahkan sepertinya lebih populer dari dua tokoh lainnya) yaitu yang mereka sebut Zwarte Piet (Piet Hitam).
Dulu, berdasarkan gambaran disebuah buku terbitan tahun 1850, katanya Zwarte Piet (Pete) itu budak Saint Nicholas yang kemudian dibebaskan dan akhirnya mengabdi sebagai pelayan Saint Nicholas. Biasanya orang tua akan cerita pada anak-anaknya, bahwa kalau tahun ini mereka baik, Zwarte Piet dan Saint Nicholas akan memberi hadiah, tapi jika mereka nakal, Zwarte Piet akan memukul mereka dan membawa mereka ke Spanyol. Kenapa Spanyol ? ini ada kaitannya dengan sejarah reconquista di Spanyol, tempat paling logis buat orang Eropa saat itu tentang darimana asalnya budak kulit hitam.

Aneh juga sih, melihat cerita aslinya Zwarte Piet ini kelihatannya tidak terlalu menyenangkan. Tapi justru dia yang mondar-mandir di televisi jadi bintang iklan, film kartun, show. Saint Nicholas-nya sendiri kayaknya cuma jadi pelengkap penderita aja.Orang Belanda tampaknya juga menikmati sekali men-cat wajah dan tubuh mereka dengan warna hitam, bibir merah menyala dan berpakaian serba warna-warni mencolok mata. Clara sampai terkaget-kaget waktu melihat seorang pelayan wanita di Kruidvart memakai kostum ini. Dia bilang kok bisa-bisanya orang ini lebih hitam dari saya, padahal saya dari Afrika! he he si ibu nih, suka polos aja.

Waktu bicara tentang ini sama Catherine, saya tanya apa hubungannya Zwarte Piet dan Saint Nicholas dengan ajaran kristen. Dia bilang ga ada. Desember ini sendiri asal mulanya kan memang dari pesta pagan di musim dingin. Dalam tradisi Belanda, Saint Nicholas ini juga banyak kesamaan dengan Wuotan/Odin. Odin juga punya semacam asistan yang berperan jadi 'social control', sama-sama hitam juga, cuma namanya Hugin/Munin. Waktu 'Kristen' datang, ya jadilah cerita ini termasuk yang diadopsi.

Walaupun ada kritik tentang penggambaran Zwarte Piet yang disebut-sebut agak berbau rasis, tapi tokoh ini tetap bertahan tuh. Mungkin karena kehadirannya jadi alternatif karakter Natal yang mendunia saat ini; Sinterklas. Kalau mau tahu lebih lengkap ceritanya, ada disini ya http://en.wikipedia.org/wiki/Zwarte_Piet#Origin