Tuesday, September 27, 2005

Jago Masak *katanya,katanya ...*

Tadinya mau nulis tentang min haysu la yahtasib (rejeki dari arah yang tak disangka2) hari ini, karena ketemu lagi sama anak Perancis keturunan Senegal yang namanya Khadijah di koridor waktu mau belanja ke ALDI --itu kayak Alfamart di indonesia.. Dia senang banget ketemu saya *ge-er mode ON* karena ternyata dia muslimah dan sebel aja sama semua sistem di Belanda yang dia bilang -- jangan bilang2 yak, ini si Khadi loh yang ngomong--norak. Karena dia pernah tinggal di London dan Amerika tapi dia tidak pernah menemukan negara sepelit ini sama rakyatnya kecuali Belanda ("arrgh, this country took to much from their people"). Kita pertama kali ketemu waktu saya nongkrongin mesin cuci. lalu muncul anak kulit hitam seperti boneka barbie yang cantik dan mungil itu, bertanya gimana caranya menggunakan mesin cuci *idih, kirain akika aja yang datang dari udix, ternyata situ juga yah ?*

Dia balik lagi buat menemani saya belanja. Dan pulangnya dia mengajak saya buat makan siang di kamarnya. African food! nyam,nyam

Tapi ada yang menarik malam ini karena sore ini, pulang dari kampus, ketemu Ayako diruang tunggu depan Guesthouse lagi belajar dan dia bilang bahwa nanti malam, anak-anak Hongkong dan Singapore yang tinggal satu koridor sama kita berdua mengundang makan-makan. wah, ini yang ditunggu-tunggu. Sebab lama sekali ingin kenalan sama my fellow country asian women itu. Ada empat-lima dengan saya- orang asia di koridor saya, tapi selama ini kami cuma saling ber hai-hai saja, cuma baru kenalan sama Ayako dan anak Hongkong yang namanya Karen. Dan malam ini akhirnya kesampaian juga. Ayako bilang bahwa anak-anak Hongkong itu sekarang sedang belanja.Saya ingat-ingat apa yang ada dalam kulkas. Pisang tanduk --yang sedianya mau dibikin kolak--sama kulit lumpia (again!) dan tentu aja keju. Saya ingat Ayako pernah bilang bahwa dia kangen ingin makan lumpia yang isinya pisang *twink2, bright idea*, Okay, Aya i'll make some banana lumpia for u gals...

Jam enam, lagi sibuk-sibuk goreng, pintu kamar saya diketuk, ternyata Ayako dan serombongan anak Hongkong. Kenalan-kenalan, langsung tau ada Mei Ing dari Singapore, dan Wen Shen (Wendi) dari Hongkong dan tentu aja Karen. Di meja ada surimi lumpia sisa kemarin yang baru diangetin di microwave, dan tanpa malu-malu langsung diserbu. Semua pada bilang enak-enak, kamu jago masak yah ?! saya bilang ah, nggak. itu cuma coba-coba *merendahkan diri-menaikkan harga tapi kayaknya hampir kejedot eternit tuh* dan saya jadi malu hati aja waktu buka lemari dapur dan mereka langsung ber 'Aaahh..", "Ooouh ..." karena melihat bumbu-bumbu dan persediaan makanan saya *hik,hik... ini kan persiapan kalau nanti ada perang Belanda-Indonesia...* terus mereka observe sekitar dapur dan melihat kacang merah yang saya masak sembarangan pake pasta tomat dan kentang. Ayako langsung volunteer menawarkan diri buat nyobain, dan "Attin, can I have some of it for me ? because this is very good" bawa,bawa,bawa sana, sure,sure ... langsung saya bagi dua makanan yang menurut saya sih rendang gatot (gagal total) itu. Waktu mereka tanya itu apa namanya--saya mau bilang rendang tapi takut dikutuk jadi batu karena kualat ama orang awak-- saya cuma angkat bahu dan bilang "another of my experiment." Dan mereka langsung ber "Aaaah ..."

Jadi begitulah, sore itu saya didaulat sebagai pemasak terbaik around our block. Mei Ing terbelalak takjub waktu dia tanya saya bisa bikin pisang goreng nggak dan saya bilang bisa. Dan dia langsung kabur menarik-narik Wendi sambil menunjuk-nunjuk saya dan bicara dalam bahasa mandarin dengan menyebut-nyebut 'pisang goreng!' lalu Wendi terbelalak juga menatap saya seakan-akan saya baru menemukan mesin fotocopi yang bisa dipakai buat nelepon.

Doo, si Eneng, yang begituan mah di Indonesia sepotong kue-lah, piece of cake..., mamang-mamang juga bisa. Tapi disini, tukang gorengan ini berganti nama jadi 'she's a great cooker!'

ya ampun, kalau mereka ketemu Rudi Choiruddin, dibikinin patung kali yak tu orang *gubrak!*


Saturday, September 24, 2005

Weekend Dinner

Jumat malam ini ada makan malam bareng lagi. Minggu kemarin di kamar Ayako yang tinggal satu blok sama saya di P-Building, cuma beda beberapa kamar. Makan kari ala jepang, nasi, jus yang dibawa Astri, dan bakwan jagung bikinan saya.

Jadi minggu ini, giliran Astri yang kebagian tempat. Dia tinggal di guesthouse, masih satu kompleks, tapi beda gedung. Dan lebih menyenangkan karena ada communal kitchen dimana setiap penghuni harus masak disatu tempat dan mereka bisa ketemu. Tidak seperti ditempat saya yang semua punya dapur masing-masing. Jadinya lebih individualis dan sendiri-sendiri (apa bedanya yah ?)

Malam ini menu utamanya-- untuk bikin kesan yang unik buat Ayako-- adalah tumis kangkung. yeap, barang murah yang kadang dipandang ga elit sama sebagian besar kita di Indonesia, kini adalah bagian dari klan hidangan mewah yang kehadirannya mengobati rindu pada kampung halaman (jieee..., iyalah seikatnya 0,95 sen euro! hampir sepuluh ribu!).

Buat beli semua keperluan itu, saya, Dani dan Ayako ke toko cina San Wah. Itu toko yang pokoknya surga banget deh (hihihi hiperbolik banget yah) karena mulai dari lada, lengkoas, kecap-sambal abc, indomie sampai kacang garuda, semua ada disini. Dani, yang saya yakin seumur-umur ga pernah masak, sampe semangat ngeborong indomie, saya cuma ngewanti-wanti seperti nenek-nenek cerewet, dont take it everyday, it's not good for ur health.

Pulang, lihat kulkas. Hmm, masih ada wortel sama kentang dan krab stik. Alhamdulillah, untung tadi ingat buat beli kulit lumpia. Jadi deh, bikin lumpia sayuran. Ada bawang bombay, ada bawang putih, merica, daun bawang, garam, gula.. that would be just perfect.

Menjelang jam tujuh Ayako mampir buat sedikit bantu-bantu. Dan akhirnya selesai masak, langsung ketempat Astri. Wiih, ternyata si ibu bikin balado telur juga, we're gonna have a big dinner tonight. kebetulan ada si Goe, anak Prancis keturunan Cina yang tinggal di blok yang sama dengan astri. Kami sering ketemu sama anak itu di communal kitchen biasanya sambil nongkrongin mangkuk besar berisi salad. Oke, diundang juga deh, buat makan bareng. Karena Goe itu lucu dan asyik, tipikal cowok yang kayaknya bisa makan apa aja yang disodorin (ntar saya mau coba sendal, ah. dia mau ga yah ha ha ha) dan selalu curious dengan apapun yang berbau makanan Asia. Astri pernah ngajarin beberapa kata Indonesia ke dia, seperti "saya suka...", "ayam", "sapi", tapi favoritnya justru kalimat "Saya suka babi ...," dasar!

So, it happens to be a wonderful dinner. we start from rice and how it influence indonesian people life greatly. we even have philosophical notion that came from rice. semakin berisi, semakin rendah hati. dari situ omongan berlanjut ke masalah agama, terorisme, Bush, hubungan islam-kristen, ngrasani dan ngedumel-ngedumel tentang George Bush, jilbab, fundamentalisme, ngerasani Bush lagi dan sebangsanya.

Goe tanya bagaimana sebenarnya orang Kristen memandang orang Islam di Indonesia. Sebelumnya, saya cerita soal kenyataan pahit kejadian di Maluku, dimana orang sesuku saling bantai hanya karena beda agama. Dani, yang kristen katolik, bilang masalah itu rumit dan tidak murni soal agama, ada latar belakang ekonomi dan politik dibelakangnya. Saya kemudian kasih gambaran tentang relasi Kristen dan Islam dengan cerita bahwa Nabi SAW memerintahkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Ethiopia yang saat itu merupakan negara Kristen untuk menghindari tekanan kaum pagan di Mekkah. Raja Habsyi di Ethiopia kemudian bertanya tentang islam dan para sahabat (ja'far bin abdul muthalib ?) membacakan ayat Al Quran tentang Nabi Isa AS, Ibu Maryam. Raja dan para pendeta Kristen itu menangis, dan Sang Raja, bangkit dan menggambar sebuah garis tipis di atas lantai dengan tongkatnya, sambil berkata "Perbedaan antara agama kalian dengan agama kami, hanyalah sebatas garis tipis ini." Dia juga tanya masalah jilbab, terus berlanjut ke self killing bombing di Palestina dan banyak lagi.

Senang, kesempatan semacam ini, berhadapan langsung dengan mereka yang mungkin sudah punya stigma tertentu terhadap orang muslim dan berusaha memberikan informasi sebenarnya, adalah kesempatan yang langka. Ayako bilang, di Jepang dia tidak melihat ada orang islam. Dengan demikian, Islam adalah apa yang mereka tahu dari berita dan tentu saja, kebanyakan orang awam berpikiran bahwa Islam adalah sesuatu yang berbahaya.

Saya, dan saya pikir Astri juga punya harapan yang sama, bahwa ngobrol-ngobrol dan sharing seperti ini, setidaknya membantu meletakkan persepsi mereka tentang Islam pada tempat yang tepat.

Dan yang menyenangkan lagi adalah waktu datang Oey, anak Thailand itu datang dan kami minta untuk mencicipi lumpia buatan saya, eh dia bilang enak lho! karena yang bicara anak Thailand, A Nation Master of Asian Culinery, hidung saya langsung mekar. Eh, datang Tessa anak Jerman n she make a same comment, trus temennya lagi n komennya juga sama."I have already taste Vietnamese lumpia, buat i think i dont like it, but this one is delicious." he he.. itulah gunanya makan bareng, berbagi informasi, berbagi nasi, sedikit-sedikit kan bisa memuaskan narsisisme dalam diri sendiri.

Minggu depan masak apa lagi yah ?

Tuesday, September 20, 2005

Saltum

Hari ini seperti biasa, daripada repot ngechek yahoo weather berapa derajat cuaca pagi ini, saya akan membuka jendela dan kemudian mengulurkan tangan. dari situ bikin kira-kira deh, hmm kalau dinginnya begini berarti abis pake kaus dalam, stoking, celana tarining, rok, baju, lapis sweater tipis ama jaket parasut cukuplah. atau hmmm, kayaknya perlu siap-siap pake syal.

dan hari ini cukup dingin. tapi salahnya adalah saya pake mantel wol dan bukannya jaket parasut. wol itu hangat, tapi kalau dimusin banyak angin menjelang season fall gini, bukan strategi yang paling tepat.

brrr....
dingin sepanjang perjalanan. angin laut utara itu menggigit-gigit sampe buku-buku jari saya yang mencengkram stang sepeda kuat-kuat kaku semua.

subhanallah
alhamdulillah
buat matahari katulistiwanya ya Allah ...

Sunday, September 18, 2005

Universiteitsbibliotheek (Randwijk)

Baru aja pulang dari undangan makan malam keluarga Indonesia yang sudah lama tinggal di Maastricht. Sebenarnya tidak ada rencana ke sana, pulang dari perpustakaan, sabtu begini inginnya bisa siesta, bobo siang, trus nonton teve seharian. Punya waktu sendirian menikmati kamar kan jarang-jarang terjadi.

Sabtu ke kampus ? ke perpustakaan pula. He he he, jangankan hari Sabtu, hari minggu aja perpustakaan itu dijabanin. Rekor kan ? rasanya dulu ga segitunya deh walaupun kuliah di universitas yang konon katanya meskipun bagaimanapun akan tetapi yah lumayan terbaik di Indonesia gitu deeh.

Di Universiteit Maastricht kami belajar menggunakan sistem PBL, Problem Based Learning. Bahasa gampangnya Cara Belajar Siswa Aktif. Instead, duduk dikelas mendengarkan kuliah, kami akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil diskusi. Tiap harinya dosen kami yang bertindak sebagai tutor akan menyuguhkan kasus-kasus kesehatan. Dari bahasan kasus itu kami harus menemukan masalah apa yang harus jadi perhatian kami. Selanjutnya kami sendiri yang harus menentukan aspek apa yang harus dipelajari dari kasus tersebut. Selesai.

Kami akan bubar dan langsung melihat koleksi perpustakaan mencari bahan-bahan yang direkomendasikan untuk dibaca dari kasus tersebut. Lusanya kami akan datang dan berkumpul kembali dikelas, mendiskusikan temuan-temuan kami. Bisa jadi si A membawa info ini, si B membawa info itu, dan kami dibantu oleh dosen kami akan merangkainya menjadi suatu informasi utuh mengenai apa yang kami dapat pelajari dari kasus yang diberikan. Setelah selesai, kami akan disuguhi kasus baru, membahas lagi dan begitu selanjutnya. Dan diakhir unit itu kami akan membuat presentasi tentang apa yang kami sudah pelajari dari semua pertemuan itu.

Karena modelnya diskusi, tentu saja suasananya lebih informal baik dengan sesama teman maupun dengan dosen yang dikelas membatasi diri hanya bertindak sebagai tutor. Mengarahkan diskusi ke tujuan yang sebenarnya. Kelas saya sendiri isinya hanya tujuh orang dan akan penambahan karena dua student dari Guatemala dan Peru baru akan datang sebelum Januari nanti.

Dengar-dengar UM (Universiteit Maastricht) merupakan pusat PBL untuk Eropa. Saya tidak tahu ini berita bagus atau tidak karena ada saatnya sistem ini jadi joke yang nyebelin juga. Seperti pernah dialami teman saya. Ketika sedang browsing di LINK (internet center di perpus) ternyata dia tidak bisa menyimpannya ke dalam USB. Padahal jelas-jelas ada port usb di tiap komputer. Ketika dia bertanya pada petugas perpus, jawabannya adalah “Kami ga tahu, coba kamu cari tahu sendiri masalahnya apa dan coba pecahin sendiri,” hah! That’s why they called it Problem Based Learning!

Sistem PBL ini bisa saja membuat kami duduk ongkang-ongkang kaki dikelas dan mendengarkan temuan yang didapat teman-teman (tapi itu juga artinya tidak begitu banyak yang nyangkut di hati dan kepala), tapi disisi lain bisa juga memaksa kami untuk membaca dan mencari tahu sendiri dari buku-buku diperpustakaan ---dan itu biasanya lebih masuk –daripada duduk dan mendengarkan uraian dosen. Lectur tentu saja tetap ada, tapi materinya akan sangat berkaitan dengan kasus yang kami hadapi dan itu membuat kami lebih perhatian.

Karenanya Perpustakaan menjadi rumah kedua karena sistemnya memang didesain seperti itu, kami dilatih untuk lebih mandiri dalam belajar, pola pikir dan analisis. Dan juga secara akomodasi, perpustakaan yang buka sepanjang minggu itu memang menunjang. Perpustakaan sangat nyaman buat belajar. Pokoknya bahkan buat yang malas-malasan baca –seperti saya, kadang-kadang ---sekalipun, duduk, melamun sambil melihat hijau-nya pemandangan jalan kota Maastricht dari balik kaca ruang perpustakaan, sudah cukup membuat betah duduk berlama-lama.Semua orang dengan patuhnya akan berbisik ketika bicara di perpus. Itu sudah peraturan. House rules.

Saya punya pengalaman yang agak malu-maluin dengan masalah ketaatan terhadap house rules ini, suatu kali karena terburu-buru untuk mengikuti kelas berikutnya, saya dan teman-teman menggunakan lift untuk turun dari perpustakaan. Padahal dipintunya jelas-jelas ada gambar kursi roda dan tulisan handikappen, berpikir –sekali-kali mah ga apa-apa—yang tipikal melayu itu, kami pakai juga lift itu. Tapi begitu sampai ke loker lantai bawah tempat kami meletakkan tas dan barang-barang yang dilarang, ada om-om langsung mendatangi saya dan bicara dalam bahasa Belanda. Memasang tampang polos saya bertanya “oui ?yes?” lalu si om langsung beralih menggunakan bahasa inggris dan bilang bahwa kami telah menggunakan lift untuk orang cacat. Itu ga boleh, next time harus turun lewat tangga. Duh, malu euy. Saya dan teman-teman Cuma mengangguk-angguk ga enak hati.

Kali lain, saya membawa apel dan minuman ke ruang perpus dan out of nowhere, om-om itu datang lagi dan bilang ga boleh makan-minum di perpus. Duh! Sesudah itu saya celingukan ke kiri kanan atas bawah, melirik ke pojok, langit-langit, bawah meja. ini ada apa yah ? kok dia bisa tahu yah ? jangan-jangan ada kamera tersembunyi buat memantau semua pengunjung? wuaduh, harus jaim dong, ga lucu aja kalau adegan saya dijual buat program kayak SPONTAN ala Belanda. Habis, dulu bawa bakwan, tahu isi, somay, batagor ke perpus fisip ga pernah ada yang dengan rajinnya negur-negur segala. Jadinya kebawa-bawa deh . Wuah, ketahuan banget sih kalau kamu datang dari negara berkembang, mbak!

Karena buku-buku diperpus sebagian besar tidak bisa dipinjam, jalan keluar untuk memeras isinya adalah duduk dan membaca berlama-lama di perpus atau memfotokopi-nya. Maka mesin foto kopi adalah barang yang tersebar di penjuru kampus. Di perpus sendiri ada ruang tersendiri untuk itu. Tapi, seperti biasa disini tidak ada mas-mas yang dengan baik hati mau dibayar untuk meng-copy-kan untuk kita, tapi (lagi-lagi) kerjakan sendiri dengan menggunakan kartu mahasiswa yang sudah diisi poin (paling banyak 5 euro) untuk mengkopi. Satu lembar menghabiskan 0,05 euro. Berita bagus buat saya adalah, ada subsidi untuk mahasiswa program master of public health sebanyak 300 lembar fotocopy gratis per bulannya di kartu UM kami. Berita bagus lainnya tentu jadi sangat mumpuni menggunakan mesin fotokopi. Pulang ke Indonesia sepertinya saya bisa buka copy center buat nambah-nambah penghasilan he he he.

Friday, September 16, 2005

Merenung-renung ...

Jadilah Kau Musafir atau Penyeberang Jalan

Para musafir tahu, bahwa dalam perjalanan panjanga dan melelahkan, mereka punya satu tempat yang dituju. kampung halaman. maka seindah apapun negeri yang kau singgahi, tak peduli seberapa besar nikmat yang kau dapatkan, jauh di dasar sana engkau tahu, bahwa bukan itu yang kau cari. Bahkan jika dalam negeri persinggahanmu kau temukan kepahitan, kesedihan dan kepedihan, semua tak akan cukup membuat jiwamu bermuram durja, karena kau tahu dia tak akan selamanya. masih ada kampung halaman tempat kau berisitirahat dari lelah dan penat perjalanan. Tempat persemaian jiwa dalam kenikmatan abadi bersama Dia yang kau puja. Kau bisa jatuh cinta, menyukai siapa saja dan apa saja dalam persinggahan diperjalananmu, tapi kau tak akan pernah menambatkan hatimu disana sepenuhnya. karena kau tahu, kelak akhirnya semua kau tinggalkan juga.

Posting Oktober 2004 lalu
menguatkan azzam dalam sebuah perjalanan
semoga lulus dengan nilai "A" dalam episode ujian kali ini

Tuesday, September 13, 2005

Summer Is Over ...

Awalnya sekitar dua hari yang lalu. Ketika saya melongok keluar jendela kamar saya menjelang berangkat ke perpustakaan kampus. Langit mendung tanpa kehadiran matahari. hmm, mau hujan kali ya nanti siang, demikian pikir saya. Tapi lho kok mendungnya terus sampai jam satu siang ? dan begitu keluar kamar, hawa yang dingin menggigit mulai menyelimuti tubuh saya yang tak berjaket. saya buru-buru lari ke kamar dan menyambar jaket yang dibawa dari Jakarta. Cuaca jam satu itu muram seperti pagi jam setengah enam di Jakarta

Sekedar catatan, waktu kami menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Maastricht, matahari bersinar dengan sumringah. Tidak ada bedanya dengan matahari Jakarta atau Bandung, walaupun tentu saja hawanya lebih sejuk dan segar tanpa polusi yang menggayuti udara. Dan mister sunshine itu dengan setia terus manteng begitu selama dua minggu. Wlaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, diluar pemandangan masih remang-remang seperti maghrib.

And here comes the gloomy, dark ages that stole the sunshine away from Maastricht skies...

dan om-om resepsionis diperpustakaan kampus menyuarakan keluh kesah semua orang hari itu dalam sambutan hangat: "Good morning! summer is over !"

Thursday, September 08, 2005

Makan-makan ...

Ini terinspirasi dari pertanyaan Saras, teman saya, tentang makanan disini. Waktu pertama briefing, kami sudah diwanti-wanti untuk tidak membawa hal-hal yang tidak 'perlu' seperti beras, mie, bumbu dan bahkan sambal. "please, we have some people who just can not live without sambal in Netherland," kata Ibu Monique. Tapi, namanya juga student of Indonesia, siapa juga yang berani menyerahkan lambung Indonesia-nya mentah-mentah kedalam jebakan roti,keju, susu dan yoghurt itu ? maka mie, tiga-lima bungkus akhirnya bawa, beras seliter dua liter sih ada, rendang serantang sih harus punya, bumbu-bumbu instan lima sepuluh jenis sih bawa ...

Sejarah yang panjang antara Indonesia dan Belanda pastinya meninggalkan jejak pada warisan kulinari dua negara ini. Walaupun pasti sudah menemukan bentuknya sendiri yang disesuaikan dengan selera lokal. Bami goreng dan nasi goreng pun, masuk dalam daftar menu favorit orang Belanda. Saya geli sendiri waktu belanja dan menemukan makanan kemasan dalam judul "babi pangang" --ini beneran cuma memakai satu 'g', lalu ada "sambal oeleg" selain "bami goreng". suatu kali waktu makan siang di kampus, saya dengan antusias mencomot beberapa sachet saus yang bertuliskan "sambal". wah, ada sambal!, begitu pikir saya. tapi begitu dibuka trus dicicipi, wuaduh!!! apaan ini ?! kok yang serba cuwer ga jelas asin manisnya, berani-beraninya mereka sebut sambal!

Di akhir minggu pertama, kami mahasiswa MPH ditraktir makan oleh Ria dan Marijet di Cafe Sjiek, buat mencoba sesuatu yang typically Maastricht di kawasan Vrijthof.Itu kawasan antik yang termasuk bagian tertua di maastricht. Tentu saja walaupun sangat ingin mencoba sesuatu yang khas, kami tidak punya banyak pilihan selain ikan dan minuman standar tanpa alkohol (mineral water and lemon tea,please). Teman-teman memilih untuk memesan kroket udang (ini khas Maastricht) sementara saya dengan 'gagah berani' mencoba ikan trout (sambil berdoa, mudah-mudahan ikannya matang). di Cafe yang remang-remang itu (awas, jangan mikir yang horor lho!) kami saling tukar banyak cerita. Ternyata seru buat tahu bahwa perkedel itu ternyata makanan Jerman (Belgia?) yang sampai juga ke Indonesia. kroket, tentu saja warisan asli orang Belanda. Dan ternyata mereka sangat fascinating dengan kue-kue seperti onde-onde, lemper, lontong dsb. Marijet bahkan bertanya sama kami, apa kah jika dia belikan semua ingredients untuk membuat onde-onde, kami bisa buatkan untuk dia ? kami anak Indonesia langsung pasang tampang seakan-akan membuat onde-onde sama gampangnya seperti membuat telur ceplok ("Well, ok, that's easy we'll cook it for u someday""--maksudnya: not right here, right now, or in my another life he he he, jahat)

Sejam kemudian pesanan kami datang. Dan saya sempat bergidik melihat ikan trout saya yang putih polos tanpa bumbu kecuali secuil mayonaise pake peterseli (?) sebagai sausnya. Marijet yang melihat ekspresi saya langsung bertanya "r u okay with ur fish?" saya menelan ludah, "I'll try ..." dan satu cuil dua cuil,... hmm lumayan juga. Tak terasa habis juga itu Trout di cuil-cuil. Bersandar kekenyangan karena sebelumnya kami juga sudah disuguhi baquet dengan mentega yang legit dan kentang goreng, saya pikir acara makan-makan itu sudah selesai, sampai Nurul berbisik "Itu tadi baru hidangan pembukanya loh?!" say what ? wuaduh, masa sih mereka makan sebanyak itu ? dan benar saja, tidak lama kemudian muncul lagi piring-piring putih berisi ikan (kali ini karper atau salmon, saya tidak ingat) dihadapan kami. Kami yang perempuan, putri-putri tanah jawa yang makannya memang secuil-secuil (tapi sering =b) saling berpandangan. wah, gimana menghabiskannya ? lambung saya sendiri tinggal sepertiga untuk udara. Waktu kami bilang kami ga sanggup lagi, Ria dan Marijet bilang cicipin aja, kalau ga abis ga akan dianggap ga sopan kok.

Akhirnya dicoba juga itu ikan. Dalam suapan pertama saya langsung meringis, Ya ampun, ni orang-orang lidahnya dibikin dari apa yah ? pokoknya pecel lele is the best deh compare to the ikan goreng yang nama resepnya di menu keren banget itu. Tapi selain rasanya yang menyedihkan, kami memang sudah betul-betul kenyang dengan suguhan pembuka tadi. Cuma Astri yang sukses membersihkan ikan itu dari permukaan piringnya.

Itu pengalaman saya mencoba sesuatu yang typically Dutch disini. Minggu ini semua ransum saya yang "typicall Indonesia" sudah habis. Beras bagus tentu saja lebih mahal dibanding roti. Ada yang murah seperti beras suriname, tapi itu cuma bagus untuk nasi goreng. Lagipula dengan padatnya waktu buat bulak-balik ke kampus, memasak hal yang praktis dan tidak buang-buang waktu jadi pilihan yang ideal.

Satu hal lagi, daging halal cuma ada di toko Turki yang katanya dekat guesthouse saya. Sebelum tahu toko Turki itu maka ikan, telur dan sayuran adalah makanan sehari-hari.

Selamat menikmati menu yang sehat!
btw, pasti ada yang bertanya2 kapan yah ni anak belajar ? wuah, tunggu yah, nanti tak ceritain soal sistem belajar disini yang .... seru!

Tuesday, September 06, 2005

Maastricht My Old Town

Hampir seminggu saya tinggal disini, tapi entah kenapa rasanya seperti sudah berabad-abad. No, im not complaining tapi kok ya waktu berjalan lambat sekali sementara dalam seminggu itu sepertinya sudah banyak sekali hal yang terjadi. Sudah ke Centruum belajar belanja groceries di Aldi, Hema, H&D, belajar isi pulsa telfort, beli alat-alat mandi, pelembab di toko pupur Kruidvart (baca:kroidvart) (hihihi …). Tersengal-sengal di tanjakan menuju kampus sampai saya menyerah, turun dan menuntun sepeda saya sampai diketawain oleh abg-abg bule, belajar untuk membiasakan diri menyapa jika papasan dengan Hi, Allow, Morning, Moergen, atau Hoy (dengan suara dalam seperti suara orang yang kekenyangan sesudah makan).

Sepertinya udah lama sekali sepeda saya tabrakan dengan sepeda Astri, menabrak tembok di pinggir sungai Maas, diomelin bule karena menyebrang tanpa melihat lampu merah tapi hanya mengandalkan naluri seperti di Jakarta, sudah lama sekali waktu jantung saya berdebar-debar karena sepeda pertama yang saya naiki joknya begitu tinggi sehingga saya harus berusaha mati-matian bertahan untuk tetap seimbang dalam kayuhan pertama, betapa saya sibuk berdoa sambil mengayuh sepeda dan berpikir bahwa kecelakaan sepeda bisa saja masuk daftar penyebab kematian saya kelak, hiks ga elit banget yah …

Dan baru saja saya pulang bulak balik dari kampus dengan sepeda saya menyeberangi jembatan di atas sungai Maas --salah satu sungai utama di Belanda selain Rhein dan Scheldt—sambil menikmati angin summer yang sejuk (kata bule sih panas), taman-taman kota, memberi tanda akan berbelok dengan lihai menggunakan tangan kiri sementara tangan kanan saya memegang stang … gaya kan ??? he he he …rasanya saya sudah ada lama sekali dikota ini.

Hari Ahad saya dan Astri ke tempat Nurul. Siang kami akan bertemu Bang Bondan sekeluarga serta keluarga ikhwah lainnya dari Achen, Jerman di kediaman mereka. Akan ada sedikit barbeque dan setelah itu disambung pengajian keluarga.


Sebelum ke tempat Nurul, Astri mengusulkan untuk mampir sebentar ke kampus yang memang tidak jauh tempat Nurul di Gandhiplein. Untuk menghapal rute, karena Senin ini kami akan mulai kuliah kami yang pertama dan kami berencana untuk naik sepeda (baru) kami.

Bersepeda di Maastricht di hari libur pagi musim panas seperti ini sangat menyenangkan. Rata-rata bule disini masih tidur atau malas-malasan di rumah mereka. Kota pun sepi dan lengang.

Maastricht , walaupun termasuk kota turis, penghuninya sebagian besar adalah senior citizen, pensiunan yang ingin hidup dalam atmosfer kota yang lebih tenang dan tidak crowd seperti di Rotterdam atau Amsterdam. Maka, bisa dibilang ini kota yang nyaman untuk belajar. Nite live pasti ada, tapi tidak seheboh dikota besar lainnya. Saya pernah pulang pukul sembilan malam dari rumah seorang teman. Jam segitu Maastrichth sudah sepi senyap. Tapi satu dua orang masih jalan kaki atau bersepeda dengan santai. Tingkat kejahatan di Maastricht terhitung rendah, sehingga orang bisa merasa tenang. Saya ingat kalau di Jakarta saya pernah pulang pukul sepuluh malam dari Slipi dan Jakarta masih bising. Rasa tenang yang ada waktu itu bukan karena sistem keamanan Jakarta berjalan dengan baik, melainkan karena ada ratusan orang yang masih hilir mudik bersama saya.

Kota ini merupakan salah satu kota tertua di Belanda yang berumur hampir dua ribu tahun. Ada 1.590 monumen bersejarah yang dilindungi hukum di kota ini. Dinding kota pertama di Maastricht dibangun tahun 1229. pembangunan dinding baru dimulai pada awal abad ke 14.

Ada 130.000 orang yang tinggal di kota yang terletak di muara sungai Maas- Jeker dan dikaki gunung St Pieter ini. Hmm, bicara soal gunung, saya kok tidak lihat yah ada gundukan yang cukup meyakinkan buat disebut gunung. Tapi kalau mereka bilang terletak di kaki gunung--untuk menghormati perasaan mereka--- ya bolehlah. Walaupun Netherland secara umum merupakan pemeluk Kristen protestan, khusus di Maastricht penduduknya memeluk agama Kristen katolik.

Maastricht merupakan ibukota propinsi Limburg yang merupakan daerah perbatasan dengan Jerman dan Belgia. Kata Oey, cukup bersepeda sekitar lima belas hingga dua puluh menit, kita sudah sampai ke Belgia (bukan Brusselnya, tentu saja). Bang Bondan dan keluarga sendiri hanya menghabiskan waktu 44 menit naik bis dari Achen ke Maastricht. Dan disini ga ada istilah macet loh. Jadi kalau suatu saat ingin jalan-jalan ya tinggal loncat. Sayangnya residen permit kami baru keluar paling cepat tiga bulan lagi. dan sebelum itu secara legal kami belum boleh ke negara-negara Schengen (Uni Eropa kecuali Inggris) yang memungkinkan untuk jalan-jalan tanpa visa. Tapi kalau mau ilegal sih bisa aja (dan sebagai orang Indonesia, apa sih yang ga bisa ilegal ? he he…)

Main-main ke museum dan tempat-tempat bersejarah di kota ini tentu saja sudah masuk ke dalam rencana saya. Apalagi ada Dani yang sedang belajar soal seni dan kebudayaan, pasti asyik. Sayangnya masuk museum cukup mahal. Ke Bonnefantenmuseum di Maastricht katanya kita harus merogoh kocek sekitar 15 euro. Itu belanja saya untuk keperluan satu minggu.

Yah, mungkin nanti. Suatu saat. Dan saya ingat sama Jakarta. Kalau ada orang yang bertanya tentang Jakarta, masa lalunya, sejarahnya, monumen-monumennya … saya tidak tahu mau jawab apa atau ajak kemana. Mungkin ke Monas atau Pondok Indah Mall … setelah itu entahlah, mungkin ke Hypermart di Cibubur Junction …



Bersepeda

Untuk urusan ini saya janji bakal kasih oleh-oleh cokelat banyak-banyak buat Anam dan Pak Ratman, ofifice boys di kantor yang udah rela minjemin saya sepedanya. Sebenarnya bukan minjemin, tapi rela dibajak, lha wong saya bilang pinjam sambil langsung dinaikin gitu sepedanya sebelum mereka sempat bilang boleh tidaknya. Saya tentu saja bisa naik sepeda. Tapi terakhir naik sepeda adalah dua belas tahun yang lalu. Dan karena di Indonesia yang naik sepeda itu Cuma anak kecil plus tata kotanya memang tidak didesain ramah buat yang naik sepeda maupun pedestarian, jadilah saya angkoters dan sepeda pun terlupakan. Sepeda mereka yang saya manfaatkan buat mengembalikan ketrampilan naik sepeda. Dulu kalau naik sepeda dikantor pasti sama Pak Hadi, the satpam atau OB-OB suka diledekin, wah mba masa kecilnya kurang bahagia yah ?? he he kalau kurang bahagia masa sih mau diulang-ulang ?

Sepeda pertama yang saya naiki di Maastricht adalah sepeda yang saya pinjam dari Radian, teman Ical. Joknya dipasang tinggi sekali. Kaki saya jauh dari tanah ketika saya duduk disadelnya. Dan ini sangat menyusahkan ketika harus berhenti di lampu merah. Saya harus buru-buru mencari trotoar untuk tumpuan kaki, persis seperti pengendara motor Harley Davidson. Konsentrasi saya untuk memperhatikan jalan juga rusak karena sibuk dengan upaya bagaimana caranya supaya bertahan menyeimbangkan diri diatas sadel yang tinggi itu, sampai-sampai beberapa kali saya diomeli bule-bule yang mau menyalip (dari sebelah kiri! Hah! Tentu saja, untuk pertama kali susah membiasakan diri dengan aturan serba kanan ini).

Dan saya mulai merindukan naik angkot di Jakarta …

Hari ke lima. Setelah mempelajari dan membiasakan diri menggunakan strippenkart untuk naik bis, mulai terasa betapa naik sepeda akan lebih memudahkan mobilisasi dan tentu saja lebih murah. Dibantu Oey, mahasiswa dari Thailand, saya dan Astri mencari sepeda di toko sepeda dekat Guesthouse kami. Sepeda baru di jual dalam kisaran 500 euro ke atas. Dan jelas, itu bukan kelasnya student. Lagipula, cukup dengan membeli sepeda second, murah, dan kondisinya baik, kebutuhan transportasi sudah bisa terpenuhi. Sepeda mahal Cuma akan mengundang maling sepeda tergiur mengincar sepeda kita. Di toko sepeda itu saya mendapat sepeda bekas, jenisnya mountain bike, dengan harga 50 euro (tidak berlaku tawar menawar, hiks maaf tapi ketrampilan itu disini ga banyak gunanya). Kecil, mungkin disini hanya akan dipakai oleh anak kecil, but who cares, yang penting enak, nyaman dan berfungsi dengan baik. Mereknya traxxi, dan karena diperuntukkan untuk anak perempuan (damefiets), sepeda berwarna merah jingga itu ada gambar bunga-bunganya he he he … kalau di Indonesia, sepeda ini sama ukurannya dengan sepeda Pak Ratman yang dulu biasa saya naiki.

Tapi di toko yang namanya George Walstock, mungkin itu nama om-om gendut yang melayani kami, tidak ada sepeda lain untuk Astri. Si Om menyarankan untuk kembali lagi besok mencari peruntungan. Esoknya kami kembali. Masih ditemani Oey dan ditambah Dani. Alhamdulillah, ada sepeda yang bagus untuk Astri (damefiets model konvensional yang bagus dan ada giginya juga) dan Dani (karena dia sama kecilnya seperti saya, maka dia juga memilih sepeda anak-anak, tapi model anak cowok).

Sore itu kami habiskan bersepeda disepanjang jalan perumahan dekat kampus. Sepeda kami menerobos angin summer yang sore itu terasa begitu sejuk dan segar seperti udara dipuncak ….

Dan theme song sore itu saya rasa ….

I want to ride my bicycle, I want to ride my bike
I want to ride my bycicle, I want to ride it where I like …

(Queen)

Teman Sekamar

Jam di meja Irene, anak Spanyol itu, sudah menunjukkan jam sembilan malam. Kalau di rumah, saya pasti sudah rapi, sudah mandi, makan, pake baju tidur dan leyeh-leyeh didepan televisi menunggu tidur. Disini ? kebiasaan saya itu tetap berlanjut dong. Mungkin aneh buat kebanyakan bule disini. Buat mereka jam sembilan malam itu seperti maghrib, baru warming up buat nite live. Sementara si Irene jam segini sudah wangi, cantik dan siap-siap buat keluar malam. Irene itu, seperti biasa akan pulang jam dua atau jam tiga malam dan baru bangun mungkin pukul sepuluh hingga sebelas siang. Sementara saya sudah keluyuran sejak jam lima pagi bulak-balik ke kamar mandi untuk shalat, mandi, rapi-rapi, bikin sarapan dan bekal makan siang. Semua tentu saja dilakukan dengan pelaaaaaaan banget, takut ni anak bakal bangun.

Bahasa Inggrisnya nge-pas sekali. Sehingga kami tidak banyak bertukar cerita. Usianya baru 21 tahun (duh, jadi inget ama si Mira, adik kecil di kantor), tinggal di Madrid dan akan ada di Maastricht hanya selama empat bulan. Mungkin shortcourse, saya tidak tahu. Dan dia juga kehabisan akal buat menerangkannya. Jadi ya sudah. Hari pertama bertemu, kami coba saling menginformasikan kebiasaan-kebiasaan kami masing-masing. Dia bilang di Spanyol orang baru bangun jam sepuluh siang, terus siesta jam dua atau jam tiga, lalu enjoy the day sampai jam dua malam. Baik, di Indonesia saya bangun jam empat, siesta juga kalau tidak ada kesibukan, sekitar jam 11 atau jam 1 siang. Terus kalau sudah jam sembilan malam, tidur deh. Sayang juga, entah karena keterbatasan bahasa entah memang ni anak tipikal anak muda di negara Barat yang tidak terlalu banyak tahu masalah budanya sendiri, usaha saya untuk tanya-tanya masalah budayanya selalu berujung pada jawaban “enggg.. I dunno…”. Berani taruhan, saya tahu lebih banyak soal Spanyol dibanding dia sendiri.

Tapi so far ya tidak pernah saling ganggu lah. Pernah suatu kali dia tanya apa saya mau ikut ke pesta, kumpul-kumpul dan Cuma minum bir aja kok, kata dia. Wuaduh, ni anak ga pernah baca atau ga pernah dengar kali yak kalau orang muslim itu nggak minum alkohol (kata Dani, wartawan dari Warta Kota yang mengambil Master Art and Heritage, “Ntu anak bego kali yak, nggak liat elu jilbaban gitu”) Akhirnya saya bilang bahwa karena saya muslim saya tidak minum bir, tidak minum alkohol. Dan kalau party, anak Indonesia udah punya party sendiri, which is kumpul-kumpul kayak di rumah Bang Hasanul, makan kacang, makan rendang, terus pulang. Atau paling banter seperti di tempat salah satu teman yang farewell party karena sudah merampungkan S2-nya dan mau pulang ke Jakarta. Partynya adalah makan es krim dan minum jus dan makan coklat. Segitu udah pesta namanya.

Soal kebersihan, Irene lumayan rajin bersih-bersih. Tadinya sedikit khawatir sama image tentang bule yang biasanya suka jorok. Tapi saya berusaha percaya kalau dimana-mana, terutama perempuan (huik, gender bias gini yah ?), pasti senang yang rapi-rapi. Jadi kalau disini ada kamar yang terbuka dan terlihat seperti habis kena badai, biasanya isinya memang bule brewok yang mungkin mandinya Cuma seminggu sekali.

Menghadapi situasi seperti ini, saya pikir siapapun memang harus punya self concepts yang kuat. Kalau nggak, maka ada dikamar sendirian sambil nonton televisi sementara tetangga kiri kanan pada pergi ke bar dan kafe di Centruum (pusat kota), bisa bikin siapapun merasa jadi phaetetic looser. Ical cerita bahwa dia punya roomate anak Mozambique yang punya kebiasaan pulang jam dua, jam tiga dalam keadaan mabuk. Padahal Mozambique gitu loh, kalau dia anak Amerika atau Italia yang memang biasa dugem, bisa ngerti lah (walaupun ga semuanya kayak gitu) Tapi ini Mozambique! Hoalah, kasihan banget kamu, Le… orang jauh-jauh di kirim dari negara berkembang buat belajar, supaya rakyatmu nggak sengsara terus-terusan, la disini kok malah gegar budaya, ikut-ikutanan coro Londo…

Empat bulan. saya sendiri punya rencana kalau bisa menemukan tempat yang sama nyamannya, mungkin saya akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan kampus. Kalau tidak, mudah-mudahan saya bisa atur supaya Dani bisa sekamar dengan saya.

Terbang …

Saya dan teman-teman dijadwalkan berangkat dari Jakarta pukul 18.55 dengan KLM. Namun penerbangan kami harus tertunda selama 1,5 jam karena katanya ada virus yang mengganggu sistem check in di seluruh maskapai penerbangan. Sehingga mereka harus menggunakan sistem chek in secara manual dan tentu saja ini membuang banyak waktu.

Alhamdulillah akhirnya pesawat mulai bergerak terbang. Mengingat salah satu adab safar (bepergian) adalah banyak-banyak berdoa,kKarena doa orang yang sedang bepergian termasuk doa yang mustajab selaian doa orangtua untuk anaknya dan doa orang yang teraniaya, jadinya mulut ini langsung komat-kamit sampai-sampai teman sebangku saya, seorang cowok Perancis bersama adik perempuannya, tertawa geli mellihat saya. Kurang ajar tuh bule, dikiranya saya ketakutan atau apa kali yah … karena abis itu dia langsung nanya dalam bahasa Inggris yang kebelit-belit, “Is this your first flight ?” dan saya langsung melotot sambil tertawa “Am I that obvious ?” saya balik bertanya. Dan dari situ jam-jam pertama kami habiskan buat cerita-cerita soal negara kami masing-masing. Dia dan adiknya baru saja mengunjungi Indonesia untuk liburan dan mengunjungi tante dan om mereka. Dia bilang Indonesia bagus, nasi goreng, sate ayamnya enak. Yah, buat sopan-sopannya saya complement balik bilang bahwa orang Prancis punya bahasa yang indah, bahwa saya berharap suatu saat bisa mengunjungi Museum Louvre dan sebangsanya dan sebangsanya …

Tapi enam belas jam perjalanan itu waktu yang lama sekali dan setelah itu kami kehabisan bahan cerita. Akhirnya kemudian kami diam-diam sepakat to mind our own business. Yang mengkhawatirkan adalah selama penerbangan itu saya hanya tidur-tidur ayam, bukan tidur yang deep sleep. Alamak, ini artinya harus siap-siap buat jetlag.

Jam tangan saya menunjukkan pukul 11 siang waktu Jakarta ketika akhirnya pesawat mendarat di Schipol pukul 6.29. Saya harus bertemu dengan Juli, yup my very best friend yang sudah selesai merampungkan masternya di Amsterdam. Rencananya akan ada seserahan, serah terima harta gono-gini alias lungsuran yang pastinya akan berguna sekali buat satu tahun ke depan. Disini juga sudah menunggu Bang Hasanul, suami Nurul yang sudah ada di Belanda terlebih dahulu.

Alhamdulillah tidak berapa lama setelah baggage claim, yang ditunggu sudah muncul. Wuaduh, ternyata harta gono-gini itu kelihatannya banyak juga. Ada satu kantung plastik besar yang mungkin sama ukurannya seperti karung. Saya melirik barang bawaan saya; kopor 30 kg yang patah gagangnya karena keberatan beban, tas ransel berisi laptop dan tas tenteng berisi buku dan dokumen-dokumen yang beratnya pasti tidak kurang dari 10 kg. Hmm, pasti akan kerja keras menyeret ini semua sepanjang 2,5 jam perjalanan menuju Maastricht.

Perjalanan menuju Maastricht dimulai dari naik kereta dari Schipol menuju Duivendrecht. Dari Duivendrecht kami harus berganti kereta yang langsung menuju Maastricht. Ternyata kereta yang menuju Duivendrecht terlambat, itu berarti kami hanya punya waktu sedikit untuk mengejar kereta berbeda dari Duivendrecht yang menuju stasiun Maastricht. Dan betul saja, rombongan anak-anak Maastricht ini harus berlari-lari sambil menyeret barang bawaan ke peron. Rupanya kereta yang menuju Maastricht sudah datang dan kami hanya bisa memandangi kereta yang bergerak perlahan sambil tersengal-sengal.

Kami harus menunggu 45 menit untuk menunggu kereta berikutnya yang langsung ke Maastricht. Sebenarnya kereta yang lain juga ada, tapi kami harus transit lagi di beberapa stasiun. Dan melihat kenyataan betapa payahnya kami menyeret semua barang bawaan ini, maka pasti lebih bijak untuk bersabar menunggu kereta yang akan datang.

Pukul 9.41 pagi kereta yang ditunggu akhirnya datang. Fiuuh, lega juga. Bisa sedikit meregangkan kaki, punggung dan tangan yang rasanya sudah mau putus semua. Niatnya sih ingin tidur, tapi khawatir kalau stasiunnya akan terlewat plus rasa penasaran seperti apa sih Netherlands itu membuat mata saya sulit terpejam. Kereta yang tenang dan nyaman itu membawa kami melewati kota-kota besar dan kecil, hutan, padang rumput, wah jadi ingat sama kereta Hogwarts Express-nya Harry Potter dalam perjalanan menuju Hogwarts. Gambarannya persis sama dengan ini.

Pukul dua belas lewat, kami tiba di Maastricht. Oke, kerja keras lagi menyeret semua barang. Di Stasiun kami sudah membuat janji untuk bertemu dengan Ria Westenberg, International Relations Officer MPH Programe dari Unimaas. Dari stasiun diputuskan bahwa Ria akan membantu saya dan Astri ke Guesthouse Universitas, tempat dimana kami berdua akan tinggal.
Pukul setengah dua kami tiba di Guesthouse. Merapikan semua urusan administratif, bayar buat satu bulan pertama, kebersihan dll, akhirnya bisa check in. Irene, teman sekamar saya, katanya sudah datang dari kemarin. Masuk kamar rasanya ga akan mungkin buat langsung unload. Karena di kamar saya ada privat kitchen, saya bisa langsung memasak air dan menyeduh teh manis instan yang dibawa dari Jakarta. Baru aja mau tidur, Bang Hasanul sudah menelepon, mengajak kami semua makan siang ditempatnya. Wah, nggak mungkin ditolak dong, soalnya memang lapar berat. Sarapan di KLM rasanya sudah berabad-abad yang lalu. Jam empat Bang Hasanul, Nurul, Benny dan Ical, anak Ford Foundation yang akan kuliah di Utrecht, menjemput ke rumah saya.

Beramai, kami tiba di tempat mereka. Rupanya sudah ada beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Maastricht menyambut kami. Malam itu ditutup dengan makan rendang yang nikmat ….

H-3: Briefing Terakhir

Hari ini ke NEC buat ambil tiket, Stuned Award Letter, Insurance, dan briefing terakhir. Setelah itu ke Kedubes Belanda untuk mengambil paspor dan visa. Di NEC sudah hadir Nurul (FK UNDIP), Benny (FK UNAIR), Elida (Farmasi UNAIR), Astri (FKM UI), semuanya merupakan kamerad satu almamater di Maastricht nanti. Kami semua sudah kenal dan bertemu di Pre Departure Briefing tanggal 23 Juli kemarin. Diantara mereka I am the youngest one loh --- dan yang belum nikah-- he he he, so what gitu loh ?!

Punya teman seperjalanan tentu saja menyenangkan. Tidak harus deg-degan sendirian. Karena jelas, yang paling diinginkan kehadirannya ketika kita terbang 16 jam (bukan 13) ke negeri asing yang bahasanya didominasi huruf konsonan dan serba main tenggorokan, naik kereta 3,5 jam sambil membawa koper besar seberat 30 kg dan tentengan 10 kg, harus ganti kereta dua kali, adalah TEMAN SEPERJALANAN.

Kami semua dijadwalkan berangkat dari Bandara Soekarno Hatta dengan menggunakan KLM pada pukul 18.55. Tapi sayangnya, ada miskomunikasi antara pihak NEC yang mengatur booking tiket kami dengan KLM. Ketika konfirmasi terakhir, ternyata status Nurul dan Elida adalah waiting list. Dan pihak NEC tidak mengkonfirmasi lebih lanjut status mereka. Baru setelah e-ticket dibagikan kepada kami, kami baru sadar bahwa tanggal yang tertera di e-ticket milik mereka tercantum tanggal 28 Agustus. Sehari lebih awal dari yang sudah direncanakan untuk kami. Karena tanggal 29 sudah tidak ada seat lagi yang tersedia. Mungkin karena ini bulan-bulan menjelang musim kuliah dimulai, sehingga penerbangan ke Belanda jadi padat.

Hal ini cukup membuat kami kaget. Maklumlah Elida dari Surabaya, hingga pihak keluarga yang akan mengantar sudah diatur sedemikian rupa untuk tiba di Jakarta hari Senin, packing juga belum selesai dan tentu aja soal housing yang baru bisa masuk tanggal 30 nanti. Sementara Nurul sudah membeli tiket KLM untuk anaknya agar bisa ikut berangkat tanggal 29 nanti. Nurul sendiri buat kami sangat vital, karena sebagai orang yang sudah satu tahun tinggal di Maastricht (suaminya lulusan Delft dan sekarang sedang mengambil Phd di Unimaas), dia yang kami andalkan sebagai “ibunya anak-anak” yang memandu perjalanan kami dari Amsterdam ke Maastricht.

Elida sempat menangis dan Nurul segera sibuk mengurus kembali tiket anaknya dengan pihak KLM. Mba Siska yang bertanggung jawab sebagai staf senior yang mengatur ini semua, sanpai berkali-kali meminta maaf. Saya rasa memang bukan tugas yang mudah mengatur ijin tinggal, booking tiket, uang kuliah dll untuk 140-an orang. Maka hal seperti ini merupakan sebuah keniscayaan untuk terjadi.

Jadi tinggal saya, Astri dan Benny plus Hani, seorang teman yang akan ke Saxion. Tidak seperti yang direncanakan dan mungkin kesenangannya akan berkurang. Tapi mau bagaimana lagi. Setelah menandatangani kontrak beasiswa, menerima kontrak asuransi, dll-nya, ada pengarahan terakhir dari Ibu Monique Soesman. Intinya pengingatan tentang motivasi, harapan dari beasiswa ini, hak dan kewajiban dan … terakhir soal fase-fase culture shock yang bisa jadi akan kami alami (nanti deh cerita-cerita soal ini-nya).

Dari situ ramai-ramai ke Kedubes Belanda ambil paspor. Saling tukar informasi kelengkapan barang bawaan, dan akhirnya berpisah. Sampai ketemu Senin di Bandara. Have a safe journey!