Thursday, August 25, 2005

The Art of Curhat

“When God close the door, He open the window…”
(Sound of Music)

Apa sebenarnya hal terbaik yang didapat dari aktifitas curhat ? oooh, banyak kawan. Seringkali saat kita curhat yang kita lakukan sebenarnya adalah menggemakan pikiran kita, echoing our mind, dan voila! Jawaban permasalahan kita pun bisa dengan sedirinya muncul seperti pop up.

Seperti ketika pagi itu saya dan seorang teman dekat saya lari pagi di sebuah komplek tempat kami biasa lari pagi. Kerisauan, kekhawatiran semua bisa dimuntahkan dan teman saya ini rupanya tergolong pendengar yang baik. Maka yang dia lakukan adalah memantulkan kembali pikiran-pikiran saya hingga saya bisa melihatnya lebih jelas dan dapat mengenali mana yang sebenarnya merupakan sebuah masalah yang butuh solusi konkrit dan mana yang hanya butuh sedikit penjernihan cara pandang sehingga saya tidak menganggap sebuah rintik hujan sebagai pertanda badai. Mana urusan-urusan yang dapat kita kerjakan sesuai dengan kapasitas kita sebagai manusia, mana yang harus dipasrahkan sebagai bagian milik Allah Ta’ala.

Saya percaya tidak seorangpun yang dapat mengenal diri kita selain diri kita sendiri. maka ketika muncul permasalahan, kita sendiri yang paling tahu solusi apa yang paling tepat. Namun kita selalu butuh orang lain untuk menjadi cermin, menjadi dinding pantul yang menolong kita untuk sedikit menarik jarak dari permasalahan yang ada. Dengan demikian, kesedihan, kekhawatiran, kegelisahan akan terlihat bentuknya dan itu memudahkan kita menemukan pemecahannya.

Menutup akhir masa ‘menye-menye’. Yang bukan milik kita tidak akan pernah jadi milik kita. Tak peduli seberapa besar kita menginginkannya. Mungkin belum waktunya, mungkin bukan orangnya. Jadi hadapi saja kenyataan that, it’s time to focus on my study

Jangan Biarkan Kegelisahan Menjadi Amuk Batin*

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan ditimpa duka cita dan kesedihan,” lalu beliau melanjutkan, “Jika membaca doa,” “Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra dari hamba-Mu, dan keturunan dari umat-Mu. Jalankanlah aku dengan tangan-Mu. Telah berlaku bagiku hukum-Mu, telah adil bagiku keputusan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau dengan nama yang Engkau jelaskan dalam kitab-kitab-Mu, atau dengan nama yang Engkau ajarkan pada salah seorang hamba-Mu, atau dengan nama yang Engkau simpan sendiri dalam ilmu ghaib disisi-Mu. Semoga Engkau jadikan Al Quran sebagai musim semi dan cahaya hatiku, penghapus kesedihanku, dan penawar duka citaku.” Jika seseorang membaca doa ini, maka Allah akan menghilangkan kesedihan dan duka cita serta menggantinya dengan kegembiraan. Maka sahabat-sahabat pun bertanya “Ya Rasulullah, apakah kami harus mempelajarinya?” Rasulullah SAW menjawab , “Ya, setiap orang yang mendengar doa ini seyogyanya mempelajarinya.”

*dari sebuah bab buku Recik-recik Spiritualitas Islam

Ke Makam Bapak

Hari itu menjelang sore. Matahari baru bergerak sedikit ke arah barat. Saya dan ibu saya bersama seorang keponakan berjalan menyusuri jalan memasuki komplek pemakaman umum. Ini bukan hari yang istimewa untuk berziarah. Komplek TPU itu sepi dan menenangkan. Sejauh mata memandang, hamparan makam tertata rapi dalam balutan rumput hijau. Sebagian terpelihara dengan baik, menandakan keluarga si empunya makam membayar cukup mahal untuk pemeliharaan makam, beberapa lainnya tampak sederhana dan bersahaja. Di bagian yang berlabel VIP, makam-makam pun lebih ‘heboh’ dengan hiasan bungan imitasi melengkung indah diatas nisan. Dasar manusia, bahkan dalam duka tidak tahan untuk tidak membuat strata sosial.

Makam ayah saya termasuk yang sederhana. Suatu kali saya sempat mengusulkan untuk memberikan hiasan bunga diatas nisan agar makamnya lebih ‘cantik’. Tapi buru-buru tersadar oleh ucapan kakak saya, “Bapak nggak terlalu suka yang seperti itu …” dan saya pikir ada benarnya juga. Karena kadang yang kita lakukan untuk orang lain tidak selalu untuk membawa manfaat yang nyata bagi yang bersangkutan, namun lebih kepada pemenuhan kebutuhan ego kita sendiri.

Sore itu kami bertiga datang untuk berziarah. Berpamitan ? entahlah. Saya kira bukan itu istilah yang paling tepat. Yang menghubungkan kami kini hanyalah untaian doa dan amal kebaikan yang dilakukan anak-anaknya. Dia hidup dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tapi mama saya berkeras mengingatkan saya untuk datang ke makam sebelum berangkat pergi.

Hadir di makam bapak, buat saya lebih pada sebuah usaha pengingatan. Rasanya lebih dalam daripada sekedar mengingat kenyataan bahwa suatu waktu saya akan mendapat giliran menempati salah satu petakan itu. Pengingatan bahwa surga dan negara tidak mengenal koneksi, bahwa pada akhirnya kita akan menghadapi sidang penilaian itu sendirian. Tak peduli se-salih apapun orang tua kita, bahkan jika orangtua kita seorang Nabi sekalipun, pilihan-pilihan yang kita buat, kitalah yang akhirnya mempertanggungjawabkannya.

Kenyataan paling menyakitkan dari kehilangan orangtua, saya rasa adalah kenyataan bahwa kita akan kehilangan salah satu sumber doa. Doa orangtua yang salih untuk anaknya adalah kekayaan paling berharga yang bisa dimiliki oleh seorang anak. Dan kadang saya merasa bahwa mungkin saja jika ada kemudahan, jika ada keinginan-keinginan yang terkabulkan, maka itu bukanlah sepenuhnya hasil doa saya. Bisa jadi orangtua sayalah, yang sedang diwujudkan segala mimpi dan keinginan mereka. Bukan saya.

Dalam beberapa waktu perjalanan yang kadang tidak selalu mudah, saya suka berbisik pada bapak atau ibu saya, “doain aku malam ini yah …” dan bapak saya akan mengangguk dengan penuh antusias.”Bapak akan doain kamu …”

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kadang bukan didikan mengikuti teori psikologi paling canggih yang dapat menyelamatkan orangtua dari beratnya pertanggungjawaban mendidik anak. Betapa banyak orangtua yang berpendidikan tinggi patah arang dalam menanam hati yang baik didada anak-anaknya, dan berapa banyak pula orangtua yang sederhana yang dengan ketulusan niat dan doanya, Allah lindungi anak dan keturunan mereka dari kesesatan dan sifat lalim.

Dan ketika mereka perlahan-lahan menyelesaikan amanat kehadiran mereka dalam kehidupan dunia, maka kitapun sadar bahwa berkurang pula pundi-pundi doa kita. Dan walaupun tentu saja Allah Maha Memberi, namun malu lah diri ini semalu-malunya jika meminta tanpa melihat diri, apakah memang layak kita diberi.


Buku-buku yang akan dibawa ...

Ini beberapa buku kuliah yang dengan baik hati dipinjamkan oleh dr.Ririn, teman dekat saya yang sedang merampungkan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di FKM UI. Mudah-mudahan bermanfaat. Buku-buku lain juga ada tapi belum tahu juga apakah bisa masuk ke dalam jatah bagasi 30 kg. KLM are very firm about this.

1.Pedoman Kesehatan Nasional
2.Perjalanan Menuju Indonesia Sehat 2010
3.Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi
4.Sistem Kesehatan Nasional
5.Health Care System Around The World
6.International Conference on Comparative Health Policy and Reforms in East Asia
7.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan
8.Fundamentals of Health Insurance
9.Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
10.The Economic of Health and Health Care
11.Kesehatan Lingkungan
12.Pendidikan- Promosi dan Perilaku Kesehatan
13.Beberapa bundel copy materi perkuliahan ilmu kesehatan masyarakat
14.Beberapa bundel materi seminar kesehatan
15.Struggling to Surrender (Jeffrey Lang)
16.,Berhenti Sejenak : Recik-recik Spiritualitas Islam(Abu Ridha)
17.Kamus.
18.Sedap Sekejap Pemula
19.Pokok-pokok Ajaran Islam : Syarah Arbain Nawawiyah (DR.Musthafa Al Buqha)
20.Mensucikan Jiwa :Intisari ‘Ihya Ulumuddin Al Gahazali (Sa’id Hawwa)

The Prep (4) Masalah Housing

Ini masalah yang lumayan buat deg-degan juga. Pertama karena begitu banyak yang mewanti-wanti, termasuk dari NEC sendiri untuk segera meng-arrange housing dengan universitas terkait. Kenapa ini penting ? pertama ya buat tempat tinggal lah. Bayangkan saja jika setelah menempuh 13 jam perjalanan (ditambah 3,5 jam naik kereta dari Amsterdam-Maastricht), masih jetlag, dan kita tidak tahu dimana kita bisa tidur. Memangnya disini, bisa numpang tidur di masjid ? kedua, ini lebih penting lagi. Housing diperlukan karena bank memerlukan alamat ketika kita membuka rekening di bank. Tidak ada alamat, tidak ada rekening. Tidak ada rekening, berarti tidak ada uang beasiswa dan itu artinya, temanku, adalah sengsara di negeri orang.

Di Universiteeit Maastricht, mahasiswa internasional bisa tinggal di Guesthouse. Reservasi secara online harus dilakukan mandiri karena universitas tidak menanganinya lagi tahun ini. Saran dari teman yang sudah disana? “Pilih yang single dan dekat kampus. Kalau single kan kamu bebas mau ngapain aja, mau senam kek, mau tidur kek. Kalau double walaupun lebih murah kan kamu tidak tahu teman sekamar kamu itu kayak gimana orangnya.” Oke, maka single dan dekat kampus intinya.

Tapi ternyata yang berpikir begitu bukan saya seorang. Ratusan mahasiswa baik yang internasional maupun yang dari Belanda rupanya sependapat dengan teman saya itu. Dan dengan resource kamar yang terbatas, beberapa orang yang tabah dan baik hati di takdirkan harus mengalah untuk tidak dipenuhi keinginannya. Dan, yup! Sayalah salah satu orang yang tabah dan baik hati tersebut he he he…

Beberapa hari yang lalu saya dapat konfirmasi dari Guesthouse kalau pesanan saya dilokasi yang dekat kampus dan single tidak bisa dipenuhi. Saya kebagian di kamar yang double room. Tapi ada dapur sendiri (biasanya dapur umum) lengkap dengan kulkas (saya lupa ada oven atau microwave nggak yah tapi biasanya ada), kamar dengan televisi dan--this the best part –koneksi internet! Tapi karena double, konsekuensi dari harga murah adalah berbagi kamar dengan mahasiswa lain.

Masalah berbagi kamar, entah di Guesthouse di sebuah negeri bernama Belanda atau kah di kos-kosan di Depok adalah roomate. Yup, a single soul that would be ur partner for the next one year. Kalau di kos-kos an mungkin masalah kebiasaan keseharian (kalau si jorok ketemu sama si super rapih, bisa ribut), maka di Guesthouse masalah ini diperumit dengan perbedaan budaya, bahasa, dan agama.

Di buku panduan yang diberikan NEC ada cerita dari seorang alumni tentang mahasiswi Indonesia yang masih lajang yang berbagi kamar dengan seorang mahasiswi Spanyol. Kamar mereka hanya dipisahkan oleh sekat setengah dinding. Suatu ketika si anak Spanyol bertanya pada si anak Indonesia, boleh tidak pacarnya main ke kamar mereka. Karena tidak berpikir macam-macam, si anak Indonesia ini tidak keberatan. Rupanya istilah main ini bukan sekedar minum-minum teh sambil makan gorengan seperti di Indonesia. Tengah malam si anak Spanyol ini datang bersama pacarnya dan tentu aja mereka tidak datang tengah malam untuk minum teh sambil makan gorengan. Dan .. terjadilah hal-hal horor tersebut.

Jelas, anak perawan mana yang tidak shock kalau dalam jarak beberapa meter terdengar derit suara ranjang dan orang bercinta, maka esok harinya mereka bertengkar hebat hingga harus dibawa ke kantor Guesthouse dan akhirnya kamar mereka dipisahkan. Jelas-jelas bukan contoh cerita yang mengenakkan tentang share room dengan orang asing bukan ?

Dan siang ini saya baru saja mendapat jawaban siapa orang yang jadi teman sekamar saya. Ternyata namanya Irene dan hiks… dia orang Spanyol.

Itu baru satu hal. Belum lagi masalah perbedaan agama. Bagaimana cara terbaik mengkomunikasikan bahwa seorang muslim melakukan shalat lima kali sehari, bagaimana caranya supaya dia tidak terganggu kalau saya tilawah, bagaimana menerangkan dia untuk tidak kaget kalau bisa saja tengah malam saya bangun untuk shalat malam, bahwa saya akan puasa selama satu bulan, bahwa saya tidak makan ini tidak minum itu, that back to where I belong im just a commoners who watch spongebob squarepants!

Saya juga harus mencari tahu bagaimana kebiasaan beribadahnya, supaya dia juga bisa enak dan ga terganggu. Fiuuh! semua terlihat melelahkan sekali. Orang Spanyol. What do I know about Spain ? Queen Isabela and King Ferdinand, tidak banyak kenangan manis tentang mereka, bukan? Ferdinan Maghellans? Cordova-Alhambra-Toledo-Granada dimasa-masa kejayaan Islam Dinasti Abbasiyah ? matador ? Barcelona FC ? bagaimana kalau mengawali dengan Hei, I like Antonio Banderas, I think he’s awesome. Huek! taktik seperti ini pernah dipakai untuk teman chatting saya yang orang India, semua jadi lancar ketika saya bilang saya fans Shakrukh Khan dan nonton Kuch-kuch Hota Hai. Tapi kayaknya orang Spanyol perlu pendekatan yang lebih canggih daripada digombalin semacam itu. Pusing. Deg-degan. Yah, mulai baca-baca soal kebudayaan Spanyol deh. Insya Allah pasti menarik. Atau boleh juga mengikuti saran seorang teman:banyak-banyak nonton Dora!

Itu masalah room mate. Masalah lain, walaupun gedung yang saya pilih – eh, dipilihkan untuk saya – bagus, tapi letaknya relatif jauh. 30 menit bersepeda dari Guesthouse ke kampus. Buat kaki melayu saya yang biasa naik angkot, jarak ini tentu bikin ketar-ketir. Dan saya sibuk mengkonfirmasi beberapa orang termasuk teman-teman office boy di kantor yang naik sepeda. Berapa jauh jarak yang bisa saya tempuh dalam waktu tiga puluh menit bersepeda. Dan jawabannya tidak membuat saya lebih tenang :”Oooh, itu dari LKC ke Lebak Bulus Mbak. Eh nggak, lebih jauh deh .. ke Fatmawati kali yah…” itu kata OB di kantor. Kata kakak saya “ Hmmm… itu sih dari Cibubur ke Depok.”

Glek. Saya pun bertanya pada salah satu teman yang sudah pernah tinggal disana, memang seberapa jauh sih ? apakah jauhnya memang very far, far, far away atau jauh yang bisa diperjuangkan ? jawabannya: jauh yang bisa diperjuangkan. Ok, that’s relief. Dan yang lebih melegakan ketika membaca sebuah sms dari teman saya “Insya Allah kamu pasti bisa kok, nggak usah mikir macam-macam.” Itu lebih melegakan lagi. Look at bright side, lebih sehat, kolesterol bisa turun, siapa tahu pulang-pulang lebih berotot dan jadi six pack he he he…(apanya ? perutnya apa betisnya?).

Waktu saya curhat panjang lebar pada mama saya, tentang betapa dari hari ke hari saya makin enggan untuk pergi karena kenyataan itu, tentang mestinya dari awal saya tidak usah mengikuti keinginan untuk belajar lagi, mama saya langsung mengingatkan. “Allah itu tidak buta, Dia Maha Tahu kemampuan kita. Kalau kamu tidak mampu kuliah disana, Dia tidak akan kasih kesempatan ini. Kalau menurut Dia kamu tidak akan mampu tinggal bersama orang asing, Dia tidak akan memberikan orang asing”

Kadang memang kita perlu mendengarkan keyakinan kita lewat suara orang lain, bukan? Saya juga lantas ingat pada kata-kata Alm. Bapak saya kalau menghadapi hal-hal seperti ini, katanya tong keok memeh dipacok, itu peribahasa sunda yang artinya jangan kalah sebelum dipatuk, jangan mundur sebelum berkelahi. Gimana ini, belum apa-apa sudah mikir macam-macam! La yukallifullahu nafsan illa wus aha (tidaklah Allah memberikan cobaan kepada seorang hamba melainkan sesuai dengan kemampuan hamba itu).

Baik kalau begitu. Rasulullah SAW berkata bahwa barangsiapa yang keluar ( dari rumah, daerah, negara-nya) untuk menuntut ilmu, maka dia sedang berjalan di jalan Allah. Artinya sama saja dengan orang yang sedang berjihad di jalan Allah. Jika meninggal, maka meninggalnya pun dalam keadaan syahid. Maka apakah 30 menit naik sepeda akan menahan saya ? I don’t think so. Perkara room mate, kita tinggal berdoa saja. Semoga ada kebaikan yang didapat oleh masing-masing kami berdua dari pertemuan kami. Semoga Allah memudahkan kami untuk saling mengerti dan dimengerti, untuk memahami dan dipahami, semoga Allah menambahkan kemuliaan dari watak baiknya dan Allah lindungi dari watak buruknya. Mau orang Spanyol kek, Itali, Jepang, Nigeria, Timbuktu, semua makhluk milik Allah juga. Jadi kalau mau minta hatinya, minta sama yang punya.

Gimana ? Are You Ready ?

Bismillahi tawwakaltu ‘alallah
Dengan nama Allah, aku berserah diri pada-Nya

Insya Allah, ready-lah …

The Prep (3) Dari Manggarai …

Menunggu kereta di stasiun Manggarai sepulang dari penerjemah di Saharjo 39. Sebelumnya ke Kedubes Belanda di Kuningan. Penat, pegal, kepanasan dan belum makan siang. Ternyata jarak dari Saharjo 39 itu lumayan juga. Sebenarnya walaupun harus menunggu agak lama, ada bis yang langsung ke Kampung Rambutan. Tapi ini jam dua siang. Dan percaya deh, walau cerita KRL kita penuh cerita muram, termasuk anak Fasilkom UI yang meninggal dunia karena berusaha melawan pencopet di stasiun kereta Manggarai, naik KRL di jam-jam seperti ini lebih nikmat dibandingkan duduk di bis dengan jok kulit yang sudah rusak dan berbau logam. Jam-jam seperti ini kereta lebih lapang, suara rel yang beradu dengan besi menderu ditelinga, sementara angin yang bertiup kencang mengusir kepenatan dan kesumpekan hawa siang. Pluuuuss… jika sedang beruntung seperti saya hari ini, ada pengamen yang menghibur. Jangan salah, pengamen di kereta itu pengamen yang serius. Lebih sophisticated. Tidak sekedar bermodal ukulele yang bunyinya kencrung-kencrung seperti pengamen di angkot. Tapi biasanya mereka akan tampil dengan performa lengkap mulai dari gitar, bass, drum, ketimpung, alat-alat perkusi dan dalam cerita saya siang ini, mereka juga membawa cello dan (ini favorit saya) biola!

Dan tidak seperti pengamen di angkot yang koleksi albumnya terbatas (pernah waktu itu saya tiga kali ganti angkot dan tiga kali pula saya harus mendengarkan lagu-nya Peter Pan sampai sakit telinga), pengamen di kereta punya koleksi lagu yang lebih lengkap. Siang itu grup pengamen digerbong saya memainkan lagu mendayu Gerangan Cinta-nya Java Jive. Sudah cukup pamer kepiawan bermain biola, mereka menghentak dengan lagu Chrisye yang populer di tahun 80-an yah, jaman-jamannya Chrisye masih pakai dasi kupu-kupu gitu deh

Kamu masih anak sekolah, satu SMA
Belum boleh berbuat begitu begini
Anak sekolah datang kembali
Dua atau tiga tahun lagi …

Saya memejamkan mata. Laghwi, kesia-siaan, selalu punya tempat di kehidupan manusia. Bisa jadi sekedar pelepas lelah, namun kadang bisa jadi rekaman nilai-nilai sosial yang berlaku pada sebuah zaman, pada sebuah keadaan.

Hmmm… after the entire thing is done, I promise to treat myself a big cup of ice cream.

The Prep (2) Legalisir

Dua minggu lebih ini disibukkan dengan persiapan administratif keberangkatan dan masalah housing disana. Dua-duanya bikin capek. Masalah housing bikin capek secara emosi—tapi itu nanti aja ceritanya-- sementara masalah yang pertama lebih ke masalah fisik Fiuh! capek banget. Exhausted. Tapi itu sudah jadi resiko keputusan untuk mengurus semua sendiri. Disini, tentu aja kita selalu bisa bayar orang untuk mengerjakan hal-hal yang mestinya jadi tugas kita. Mulai dari buat akte, bikin KTP, SIM, paspor dst. Tapi buat saya, itu, kecuali kepepet, bukan pilihan pertama. Selalu ada sense of pride tersendiri kalau bisa mengurus kebutuhan saya sendiri. Pertimbangan lain tentu aja masalah biaya. Ada margin yang lumayan buat ditabung sebagai bekal hidup antara mengurus sendiri dan mengurus melalui agen. Pertimbangan lain adalah first hand experience dong. Selalu ada hal-hal baru yang ketemu dalam perjalanan-perjalanan model begitu.

Mengurus legalisasi akte kelahiran itu secara teori sebenarnya gampang. Pertama renew ur birth certificate di catatan sipil. It took about a week. Ini karena municipality sana ga mau terima akte kelahiran kita yang dua puluh lima tahun lalu sudah susah payah diurus oleh ayah bunda kita. Setelah selesai, legalisasi di departemen kehakiman. Dalam waktu dua hari legalisasi selesai. Kedua, dari departemen kehakiman, kamu ke deplu. Itu juga dua hari. Ketiga, dari deplu kamu ke kedutaan besar belanda, langkah ke empat pergi ke penerjemah yang ditunjuk (dalam hal ini saya memilih ke Saharjo 39 di Manggarai). Dari situ balik lagi ke kedutaan besar belanda minta legalisasi. Dan akhirnya, akte mu selesai dan memenuhi syarat secara hukum untuk urus MVV di belanda. Kalau mau bikin kenangan, ya coba-coba lah ga usah diurus. Surely, it would bring some story to your life disana nanti. Di deportasi, misalnya.

Tapi nyatanya … teori tidak selalu berjalan semulus yang dikira. Sebenarnya memang sudah mengira kalau berurusan dengan instansi pemerintah, pasti ada aja yang bikin gondok. Dan ternyata bahkan kementerian sementereng departemen kehakiman pun tetap aja payah kalau soal pelayanan ini. Pertama datang belum masalah. Dimana urus legalisasi akte ? ga ada informasi. Okeh, Tanya petugas di meja informasi. Oh, di lantai 3, mba. Tapi harus beli formulirnya dulu di koperasi. Lurus, belok kiri, turun, itu koperasi. Sip! Lurus, belok kiri, turun ketemu lah sama koperasi. Tapi dimana yang jual formulir? Tidak mungkin di warung nasi. Satu-satunya bagian yang tidak mengindikasikan “kami menjual makanan” adalah meja dengan dua mba-mba yang sedang asyik berdandan. Ok, bilang permisi mba, mau beli map untuk legalisasi formulir. Salah satu mba itu yang cantik sekali seperti teller bank, berteriak pada temannya.”Sri!! sini lu!tuh ada yang mau beli map!” wuah, si mba cantik-cantik tapi kok gahar gitu.

Singkat cerita map sudah dapat. Lalu terus ke lantai 3. hmmm,… dingin, sepi. Kemana nih ? saya clingak-clinguk mencari kata-kata Akte atau Legalisasi atau Anda Bingung ? Kasiaan Deeh! atau apa kek. Karena semua pintu-pintu tertutup dan dari balik dinding kaca terlihat semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yah, kalau sudah seperti ini harus pakai Nabi kata teman saya. Apa tuh ? Naa Bibir Lu! Alias tanya-tanya. Ada beberapa mba dan mas-mas yang duduk berjajar. Permisi, ada yang tahu dimana saya bisa legalisasi akte ? semua saling beradu pandang. Ups, oke salah orang. Nah, disebelah sana, ada dua mas-mas yang lagi nongkrong-nongrong didepan dipintu sambil mengobrol dengan seorang mba yang tampangnya seperti mahasiswa. Aha! Siapa tahu itu anak STUNED yang sama kebingungan. Langsung didekati dan langsung tanya. Ternyata bukan anak STUNED, tapi memang sedang mengurus surat untuk kuliah ke Belanda dengan biaya sendiri. Alhamdulillah, diberi informasi saya harus ke ruang mana. Masuk ke ruang tersebut ada seorang mas dengan kepala botak dengan tumpukan map didepan mejanya. Hmm, pasti ini officernya. Tapi saya lihat dia sedang sibuk mengunyah lumpia dalam genggamannya. Ya sudah, karena saya pikir tidak sopan kalau menginterupsi orang ketika sedang sibuk makan, saya menunggu setidaknya sampai dia selesai menelan sambil berdiri dihadapannya.

Tapi, lho si mas kok malah take another bite, tidak tanggap ing sasmita, seakan-akan tidak menyadari ada calon mahasiswa yang baik hati dengan sabar berdiri dihadapannya menanti dia selesai mengunyah. Oke, deh saya ambil inisiatif aja. Bilang maaf ganggu, mau urus legalisasi akte. Dia mengangguk-angguk tanpa memandang saya, masih sambil mengunyah lumpia. So ? tidak ada sambutan. oke saya lagi. Ini map dan aktenya. Dia mengangguk lagi. Diisi formulirnya, katanya dengan susah payah sambil menelan lumpia. Baik, saya isi. selesai. Saya mengulurkan map dan akte saya. Si mas masih sibuk makan lumpia.

Saya penasaran. Begini mas, yang saya serahkan aslinya apa fotokopinya ? aslinya, tapi minta fotokopinya satu buat arsip, kata si mas. Saya merapikan semua yang diminta ke dalam map. Ada lagi ? tanya saya. Minta fotokopi KTP-kata si mas.Yaks! ini bawa tidak yah ? soalnya pagi ini dengan isengnya saya ganti tas. buru-buru saya mengecek dompet dan tas saya. ATM, Kartu Berobat di RS Haji, Kartu Berobat di RS Pasar Rebo, Kartu anggota Perpustakaan Nasional yang sudah expired, kartu member sebuah salon muslimah, foto-foto teman dan saya, kwintansi fotokopi dan beberapa kertas sampah lain yang pasti saya taruh didompet kalau tidak ketemu tempat sampah, semua ada, tapi tidak KTP, benda yang bisa menyelamatkan saya kalau ada operasi Yustisi. Wuaduh gimana ? tidak bisa menyusul? Oh tidak, kata si mas. Dilengkapi dulu besok datang lagi. Rumah saya jauh mas? (masih usaha) Si mas: Iya tapi aturannya sudah begitu. Baiklah, atas nama aturan saya pun mengalah. Besok datang lagi. Hari itu memang kesalahan saya.

Dan datanglah besoknya saya dengan hati yang optimis bahwa dalam dua hari kedepan saya bisa melangkah ke tahapan yang mendekati selesai. Ke lantai 3 lagi kali ini tanpa celingukan lagi. ketemu si mas lagi. kali ini dia lagi makan mi ayam (saya melirik jam, setengah sepuluh seperti kemarin. Tapi mungkin memang jam snack kali yah seperti kebiasaan saya di LKC yang mendaulat jam setengan sepuluh sebagai waktu minum kopi ). Okeh! Ini sudah lengkap mas. Selanjutnya apa ? si mas kali ini sibuk dengan mi ayamnya menjawab: ke empat. Hah ? maksudnya ? saya bertanya. Mba bayar ke lantai 4. Ooooh, gitu. Ada lagi ? tanya saya. Bayar dulu aja ke lantai 4, kata si mas kekeh. Saya pun ke lantai empat menyelesaikan pembayaran (diiringi dengan acara clingak-clinguk karena lagi-lagi tidak ada informasi dimana saya harus membayar). Setelah membayar, ada telepon masuk dari seorang teman lama yang mengundang walimah. Jadi heboh sesaat, lupa bertanya pada si ibu kasir bagaimana nasib saya selanjutnya dan si ibu kasir pun tidak memberi informasi apa-apa. Maka saya pun meninggalkan Departemen Kehakiman dengan hati gumbira. Dua hari lagi, dan saya bisa ke Deplu.

Dua hari kemudian

Bergegas ke Kehakiman pada jam yang sama dengan tiga hari dan dua hari sebelumnya. Ketemu si mas legalisasi lagi. Assalamualaikum, mau ambil akte mas. Wuah, mba yang kemarin yah ? kemarin kemana ? kok nggak balik lagi ? kita tungguin kwitansi bukti pembayarannya. Belum di proses deh tuh Aktenya…SAY WHAT?! Argghhh!! *mulai ada yang mengepul dari dalam kepala, tapi ada suara yang bilang sabar tin, sabar, istighfar .. baca taawudz …la taghdab falakal jannah, jangan marah ntar dapet surga deh… take a deep breath* Kemarin kenapa saya tidak diberitahu kalau saya harus serahin itu ?! kata saya dengan suara mulai naik. Laah, mbanya keluar duluan--elak si mas. Lho ? saya kan waktu itu tanya apa lagi tapi saya ga dibilangin! Kalau begini saya buang-buang waktu namanya! Kata saya yang saat itu sudah berbicara sambil mendesis, karena kalau teriak-teriak malu aja. Malu sama Allah, trus ya malu sama orang, malu juga sama komunitas intelektual se-Margonda Raya yang sudah mau memberikan saya ijazah itu. Urus surat beginian aja kok bisa jadi Nona Komunikasi alias miskomunikasi, pakai naik darah segala, lagi. Arrrgh! Inginnya saya menjitak kepala si mas itu keras-keras!

Begitulah. Intinya saya menghabiskan waktu lebih dari yang umumnya, untuk bulak-balik Cibubur-Pasar Rebo-UKI-Kuningan-Kehakiman, menempuh perjalanan dua jam,macet, naik turun tangga penyeberangan untuk berhadapan dengan si mas botak itu. Dalam kasus ini saya juga punya andil kesalahan, tapi saya yakin mestinya tidak akan jadi time wasting energy consuming begini andai saja orang-orang di departemen kehakiman atau di instansi pemerintahan manapun mau sedikit berusaha untuk lebih komunikatif terhadap saya, kita, masyarakat kecil yang butuh pelayanan mereka, yang membayari gaji mereka secara tidak langsung. Mbok ya ditulis gitu loh dari awal gimana prosedur pengurusannya, atau setidaknya, please … pasang papan petunjuk informasi!

Sampai kapan yah pelayanan publik kita mau terus-terusan payah begini. Saya ingat di LKC kami pernah mengadakan pelatihan yang diberi nama Pelatihan Komunikasi Terapetik. Walaupun intinya adalah Komunikasi Interpersonal –yang di jurusan komunikasi bobotnya 3 SKS itu—tapi intinya yang dibahas dalam pelatihan itu adalah how do we treat other people in such a right manner. Urusan melayani bukanlah urusan sembarangan. Harus ada ilmu dan hati untuk mempraktikkannya sehingga orang merasa betul-betul terlayani.

Dari hal-hal kecil seperti jika ada pasien, hadapi dengan seluruh tubuh, tatap matanya, tanya apa yang bisa dibantu. Apalagi pasien LKC adalah duafa yang butuh banyak penjelasan gamblang. Jangan tunggu ditanya, tapi inisiatiflah untuk memberi keterangan. Hasilnya ? masih perlu banyak yang diperbaiki tentu saja dari pelayanan yang diberikan LKC. Tapi hidung saya yang nggak mancung ini jadi mekar juga, ketika suatu saat mendengar komentar seorang ibu yang sedang mengantri menunggu obat pada teman wartawan yang datang. Ibu itu punya kartu miskin yang sebetulnya bisa ia gunakan untuk berobat ke puskesmas terdekat. Tapi dia memilih ke LKC. Alasannya ? ”Kalau disini (LKC) nggak kayak di puskesmas yang suka dicuekin. Disini kayaknya melayaninya pake hati” deeeeuu, … si Ibu bisa aja, jadi gimanaaa gitu.

Sesekali saya pun suka duduk di ruang spesialis yang hanya dipisahkan oleh tirai dari ruang poli umum. Mendengarkan diam-diam bagaimana dokter-dokter kami bicara pada pasien. Dari situ saya bisa menilai bahwa dokter-dokter kami punya gaya komunikasi yang lumayan lebih baik dibanding dokter yang suka saya temui. Seorang dokter suatu kali berkata pada ibu yang keluhannya tidak jelas “Ibu mungkin lagi banyak masalah ya ? jangan berpikir macam-macam, ibu bangun malam, shalat, minta sama Allah supaya diringankan masalahnya …” hmm… jadi ingat filem Patch Adams. Pernah nonton ? itu filem bagus tentang kritik pada ilmu kedokteran yang kadang melakukan pendekatan yang mekanistik terhadap pasien dan kadang mengesampingkan kenyataan bahwa pasien itu manusia yang kadang kebutuhannya bukan diganti organnya tapi didengarkan dan perlu sentuhan komunikasi yang manusiawi. Ups, jadi melantur kemana-mana.

Balik ke persoalan pelayanan di instansi pemerintahan. Padahal apa yah bedanya yang bekerja sebagai PNS dengan yang bekerja di LSM ? intinya kan sama aja. Yang jadi PNS bekerja atas biaya masyarakat yang dikumpulkan pemerintah melalui pajak, yang di LSM (dalam hal saya) Amil Zakat bekerja diatas dana zakat yang dibayarkan muzakki (orang yang wajib berzakat) untuk mensucikan hartanya. Dua-duanya adalah amanah. Dua-duanya uang orang yang setiap sennya harus digunakan penuh pertimbangan, tidak boleh digunakan sak enake wudel dewek karena pertanggungjawabannya di akhirat akan melibatkan orang banyak. Uang yang sudah terkumpul lewat pajak itu mestinya kan bisa diputar supaya orang bisa mengongkosi anak sekolah, berobat ke rumah sakit atau mengubur mayat sanak keluarga yang meninggal. Atau setidaknya cukup untuk membangkitkan kesadaran bahwa orang perlu pelayanan yang serius dan itu berarti melayani tidak sambil makan lumpia!

Intinya sih kesel
Tapi … that some story hardly to get when u pay someone to do ur things ;b

Tuesday, August 02, 2005

dari sebuah cinta ...

Ini email dari seorang teman. somehow, begitu email ini kebuka, terdengar lagu "Doa Perpisahan"-nya Brothers. Hik, Allah tuh ... tahu aja theme song yang pas buat tiap penggal episode kehidupan saya. Beliau ini salah satu teman terbaik yang saya punya, makan bareng, jalan-jalan malam (ingat episode muter-muter di Blok M?), teman tertawa, merenung, berbagi tausiyah, menyegarkan iman dan memulihkan kesadaran, bahwa kita tak pernah punya kendali riil atas kehidupan yang kita jalani. seperti bermain ular tangga, yang dapat dilakukan hanyalah melempar dadu. apakah itu tangga yang membawa kita naik ke level keimanan, kedewasaan, kebijaksanaan berikutnya, ataukah ular yang juga sama-sama membawa ke level yang sama, semuanya ada dalam rencana-Nya (dan pasti itu yang terbaik, definetely!). Hanya impact-nya yang berbeda. Yang pertama bisa membuat kita ge-er karena merasa jadi pusat perhatian Tuhan, yang kedua bisa membuat kita patah hati dan bertanya dalam diam "Apakah Engkau bersamaku saat ini, Tuhan ?" (see Al Fajr)

Seberapa besar keputusan yang saya buat ini mempengaruhi kehidupan dunia dan akhirat saya nanti, saya tidak pernah tahu. Namun ketidaktahuan, adalah kunci dari kesadaran bahwa kita hanya manusia yang bergerak dalam rancangan besar Tuhan. Dan saya percaya, jika saya meminta-Nya untuk sebuah bimbingan dan penjagaan, Dia akan berikan. dan hanya itu yang dapat menguatkan saya. sesulit, seperih apapun situasinya.

----------------------------------
Assalamu'alaikum, tin...

Tadinya email yahoo yang udah kebuka ini mau aku kirim untuk temen yang laen. Tadinya mau disambi sama nulis comment di blog-mu. Tapi ternyata blog-mu kututup (setelah aku baca isinya), dan body email ini akhirnya ditulisin untuk attin.

Ternyata waktu itu berlari seperti penjahat. Tega. Aku nyaris nangis sesaat tadi, waktu baca postingan di blogger-mu. Rupanya kita nggak hanya ngelewatin setahun dua tahun saling kenal ya, Tin. Rupanya udah bertahun-tahun sejak masih culun-culun dulu. Sejak aku ketemu Attin waktu masa PPMB, waktu kita dikumpulin mbak Ayoe dan mbak Rina di Masjid UI. Waktu aku cuma kenal Attin kalo lagi bareng ama Inggit (duh! How I miss her so much!). Waktu awal-awal ketika aku kurang ngerasa deket, tapi akhirnya penasaran, dan melakukan segala cara untuk deket dengan Attin. N it worked! Aku ngerasa berhasil deket dengan Attin, dan rupanya kita banyak kesamaan. Sama-sama 'gila'? Of course!!!! Hahahaha...

Dan hari ini aku baru 'ngeh', bahwa Attin akan PERGI JAUH dan LAMA. Tiba-tiba aku inget lagi, kira-kira bulan Agustus tahun 2004, hampir tiap pagi aku selalu buka YM, dan nyapa Attin dengan "hogwarts?" dan Attin bakal bales dengan "hidung babi!" (waaaahahahahahahahah.....salah ya? )-moncong babi, actually hun- Yang jelas, saat-saat aku banyak kena masalah di kantor, saat aku butuh temen ngobrol untuk 'memutuskan' sesuatu yang penting itu, Attin selalu ada. Dan aku paling sebel kalo yang ngejawab YM adalah partnernya Attin yang baik hati itu, "maaf, ini bukan attin..." aaarggghhh! hehehehe...

Dan barusan aja, aku baru nyadar, bahwa Attin udah memutuskan sesuatu yang besar untuk hidupnya ke depan, seperti juga aku akhir tahun lalu. Ketika Attin sebentar lagi bakal pergi jauh, saat yang bersamaan, aku memutuskan untuk keluar dari tempat kerjaku. Tin, ironis banget ya? Hehehe...tapi aku yakin, kita berdua melakukan yang terbaik.

Aku punya banyak temen yang aku sayangi. Setiap dari mereka nggak bisa aku kasih peringkat, karena aku yakin aku punya banyak cinta untuk semua. Cintaku nggak akan habis dibagi-bagi. Aku mencintai setiap jenak yang dilewati bersama Attin.

Dear Attin,
Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah Attin. Seorang Attin punya banyak arti buatku. Dan semoga Allah menerima dan mengabulkan setiap doaku untuk keselamatan, keistiqomahan, kebaikan, dan kesuksesan Attin. Amiiin...

ps. sering-sering kirim kabar ya!!!!! next week, kita musti ketemuan!DH Devitahttp://www.ayyasykecil.blogspot.com
http://www.thesoejatnas.blogspot.com
http://www.flpbekasi.blogspot.com