Friday, July 22, 2005

Feelin' Blue ...

Kuatkan ikatannya …
Abadikan cintanya …

Ini mungkin fase kedua setelah fase antusiasme. Kegembiraan akan kemungkinan banyak pengalaman baru, mulai berganti dengan kecemasan akan kenyataan bahwa satu tahun adalah 360 hari kali 24 jam yang akan saya lewatkan jauh dari orang-orang yang dekat dihati saya. Mereka yang mengenal hati saya. Mereka yang-meminjam bahasanya seorang teman- jadi ‘secangkir susu coklat hangat’ kala hari gelap dan hujan deras buat saya.

Intensitas pertemuan, secara teori, bagaimanapun adalah faktor penentu keberhasilan komunikasi. Dari situ ada pengalaman bersama yang memunculkan kesamaan persepsi, kemampuan untuk membaca reaksi satu sama lain dan akhirnya tumbuh ikatan hati. Makanya tidak jarang ada pengalaman seorang teman yang dulu dekat bisa terasa sulit dipahami karena sang waktu, sang nasib, sang pekerjaan telah sedemikian jauhnya menciptakan jarak diantara mereka bahkan untuk sekedar bertukar sms menanyakan kabar. Sama-sama ditempa pengalaman berbeda yang pasti meninggalkan jejak-jejak pahatannya dalam karakter mereka dalam menyikapi masalah.

Dan saya khawatir saya akan kehilangan begitu banyak hal yang membuat saya sulit membaca hati mereka, dan sebaliknya. Akan ada banyak hal yang saya alami yang dapat membuat mereka sulit mengenali hati saya.

Kuatkan ikatannya …
Abadikan cintanya …

Entah situasi psikologis apa yang melatar belakangi doa monumental tersebut. Namun katanya, ketika Allah mencintai seorang hamba, maka Ia mudahkan hatinya untuk mencintai mereka yang mencintai Allah. Pun sebaliknya. Maka ketika orang-orang saleh tidak memberikan hatinya untuk mencintaimu, bisa jadi karena mereka tidak melihat pantulan cinta Allah didirimu.

Dan saya …
Khawatir kehilangan cinta mereka.

Buat clubber Kampung Tengah,
Hiks,hiks … bakal kangen brat neey …

Friday, July 15, 2005

The Prep (secara materi)

Dua bulan kurang dari keberangkatan. Ya ampun, setelah ngeliat list yang harus diselesaikan ternyata banyak banget yah yang belum selesai.let see;

Medical chek up ;urin lengkap, darah lengkap, parasitologi—malaria, filaria,tripanosoma, pup eh feces lengkap (Fatmawati), rontgen, mantoux test, ekg, visus. Okey, yang belum selesai tinggal tripanosoma. Susah, banyak lab yang ga sanggup. Dan dapat info yang bisa periksa tripanosom itu ada di charitas Bogor (ok, ke Bogor hari Sabtu). Beberapa dokter kasih nomor kontak di parasitologi FKUI, tapi ternyata ga cukup meyakinkan mereka bisa apa ngga.

Vaksin. Harus ngambil tetanus toxoid (udah), DPT (ntar, kalau meriang vaksin TT-nya dah ilang), MMR (belum. kata anak2 STUNED stok vaksin MMR se-Indonesia abis. Masa sih ?!! ah, hiperbolik nih! Tapi dah nyari ke Melawai, Kimia Farma, Fatmawati, ke Apotik LKC –ada juga orang apotiknya senewen disuru2 nyari barang susah--ga ada. Oke, keep trying, Gal!). hepatitis ? yellow fever ? beberapa teman ada yang ngambil, tapi teman dokter yang lain kasih advis, ga perlu kalo gaya hidup kita ’sehat’—well, ga pernah godain banci jadi sehat dong! ha... ha..ha .. emang kita akhwat apaan!?

Grooming. Katanya harus punya ... apa tuh .. Long Jhon. Itu loh, legging yang bentuknya kayak baju monyet yang kita pakai waktu kecil (kudu cari tahu apa gunanya). Adanya di Mangga Dua blok C Lt.2. yaaa... ntar deh. Jaket, sarung tangan, kaus kaki tebal, kupluk, sepatu boot (hmm, kalau ga beli maka harus diusahakan bisa dapat warisan. Ok, kontak si Juli di Amsterdam buat minta lungsuran he he he ...), pakaian dalam (harus banyak!!)

Gadget: laptop (kecuali mau nginep di kampus), printer (masya Allah! Haruskah?), flash disk, kamera digital (ini sih kepinginnya, ga tau deh si Aa mau hibahin kamdij-nya atau ga), tape recorder (jangan lupa kaset murotal, nasyid dan .. ehm Phil Collins atawa Peter Pan =b)
Obat-obatan Pribadi. Ntar konsul deh baiknya bawa apa. Katanya dokter disana ga banyak ngasih obat kayak dokter di Indonesia (yg ga ngerasa jgn marah yah ...) minimal bawa parasetamol, betadine, kasa, plester, balsem (ga terlalu suka sih ama baunya, tapi apa yah yang anget?), counterpain (punya firasat harus bawa, mengingat aktivitas biking). Itu dulu kali yah, ntar nyusul.

Pelembab and lip gloss (a lot), kosmetik pribadi, peralatan mandi pribadi.

Buku2 (baik buat yang akal maupun ruhani-aduh, mudah2an banyak yang kasih pasokan) and Al Quran, semua keperluan alat tulis

Renew my birth certificate dan legalisasi ke depkeh, deplu ama kedutaan Belanda, trus translate di Saharjo. Smua buat bikin MVV.

Peralatan makan (lungsuran Juli)
Rice cooker (dari Juli)
Refrig and TV (Juli lagi)
Setrikaan (yeah, you know from who ... Juli)
Ulekan + cobek (yg bener aja Neng, mau bawa gitu????!!!)
Penggorengan (ok,oke, stop listnya sampai sini. Dah mulai ngaco)

Yah, itulah kira2 yang mau dibawa. Campur aduk antara yang harus diselesaikan dan yang harus dibawa. PR selanjutnya rapiin list kebutuhan!

Thursday, July 14, 2005

Jadi Master

Kalau tidak ada aral melintang, insya Allah tanggal 29 Agustus nanti, pukul 18.55 saya akan memulai perjalanan jauh ke Belanda untuk belajar lagi, mengambil program Master untuk Public Health di Universiteeit Mastricht.

Master. Kedengerannya sakti banget yah, kayak Yoda atau Jet Li. Kalau di film Star War, Luke Skywalker mau jauh-jauh ke Sistem Gedobah (or something sounds like that) buat jadi Master Jedi, dengan satu tujuan, mengalahkan Darth Vader dan Empire-nya.

Maka saya, terbang jauh-jauh, ke negeri orang-orang yang katanya terjangkung untuk ukuran ras Kaukasia, yang profilenya saya tahu Cuma lewat film Janur Kuning dengan hardikan-hardikan konyol yang itu-itu aja (verdomme!Jij inlander, kowe orang ekstremis!), ke negeri orang kapir (meminjam istilah si Pitung) yang 350 tahun menjajah negeri ini dan waktu mereka pergi meninggalkan kekacauan, diam-diam kita bergumam ”ini merdeka, kapan yah selesainya ? kok kayaknya lebih enak waktu jaman ada kumpeni...” mau apa ? what’s the niat?

Yang jelas mau jadi lebih bermanfaat dan mencari tahu sejauh mana saya dapat memberi manfaat. Toh, dari pertama dah minta sama yang Punya Kuasa; kalau ilmunya membawa keselamatan dunia akhirat, mudahkanlah. Kalau ilmunya bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi umat, bangsa dan negara, mudahkanlah. Kalau ilmunya dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat, mudahkanlah. Tapi kalau tidak itu semua melainkan hanya motivasi terpendam buat gagah-gagahan dengan sederet titel yang membawa kesombongan, maka semoga Dia palingkan keinginan ini pada suatu yang lebih baik.

Dan begitulah hingga hari ini.

jadi ...

Doakan Aku Yah!!!

Rihlah ...

“Seperti mimpi…” katanya pelan.
Saya memandang wajahnya yang ditimpa bayang-bayang dedaunan. Si non satu ini baru pulang untuk penelitian magisternya di Belanda. Hampir setengah tahun menghabiskan waktu di tanah orang, jauh dari keluarga, dari teman-teman se-fikrah yang menyayanginya. Mengeluh dalam culture shock-nya lewat imel-imel panjang tentang betapa mestinya ia memilih untuk bahagia ada diantara kami daripada pergi ke negara kincir-kincir serba susu dan keju itu. Maka tentu saja, siang yang dihabiskannya bersama ibu-ibu berjilbab lebar disergap angin semilir tropik jadi seperti mimpi. Berbaring di atas terpal kulit imitasi di pinggir danau disisinya, saya Cuma mengangguk setuju dalam diam. berpikir.Tapi terus langsung melompat bangun begitu tawaran memegang raket datang. Hup! tunggal putri melawan ganda putri, siapa takut!

Dan begitu kami tergelak karena kok kedua tersangkut di dahan pepohonan, dari kejauhan terdengar celetukan orang-orang yang menggelar tikar dipinggir danau “wah, maen bulutangkis di tempat kayak gini, yah nyangkut lah kok-nya!” ah, peduli amat komentar orang apa, ini waktu untuk tertawa.

Rihlah itu memang kadang bukan persoalan pergi kemana, tapi dengan siapa. Jika ada teman yang menyenangkan maka sepetak danau, lahan teduh, sudah bolehlah. Walaupun dengan kamar mandi yang tampaknya tak pernah dicuci sejak Souharto lengser, tapi kalau ada teman yang bisa diajak tertawa, maka cukuplah.

“Lain kali kita sewa sepeda, bike ride di Taman Mini yah,” usul teman yang lain. Sip! Kami tak tahu sampai kapan kami punya waktu. Mungkin sampai suatu saat kebersamaan dan waktu senggang jadi barang mahal diantara tangis anak dan tumpukan cucian bercampur kepungan janji konsultasi atau tugas mahasiswa.


---------------------------

mengingat rihlah terakhir dengan teman-teman dalam macet parah di Puncak, menempuh perjalanan Cipanas-Ciputat yang hampir sepuluh jam

Baik Hati dan Tidak Sombong

Suatu waktu, saya ikut datang pada peresmian klinik gratis milik majelis taklim At-Taqwa. Majelis taklim masjid At Taqwa yang terletak dilingkungan perumahan Bintaro Jaya. Majelis Taklim ini sudah cukup lama menjalin kerjasama dengan LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma), tempat saya bekerja.

Klinik mungil itu terletak dalam kompleks halaman masjid. Bercat putih bersih, kecil, mungkin hanya berukuran sekitar 5x3 meter persegi tapi cermin besar yang diletakan di dinding yang berhadapan dengan pintu cukup memberi efek luas pada ruangan klinik. Ditambah lagi penataannya cukup apik plus pendingin ruangan. Penampilannya meyakinkan deh (sambil meringis membayangkan salah satu cabang LKC yang agak-agak suram, ayo dong pada nyumbang ;b).

Dokter jaganya adalah penghuni komplek yang dengan sukarela meluangkan waktunya secara bergantian. Kebetulan di sektor itu cukup banyak warga yang berprofesi sebagai dokter, baik yang baru lulus maupun yang sudah senior. Jika ada pasien dengan kasus gawat, barulah pengurus akan merujuknya ke LKC untuk memperoleh perawatan lanjutan dan mungkin direkomendasikan untuk jadi member.

Tidak ada publikasi berlebih, wartawan menenteng kamera yang hilir mudik atau apa dalam peresmian itu. Hanya anggota majelis taklim yang terdiri dari warga setempat dan warga duafa sekeliling kompleks yang dibina oleh majelis taklim itu. Tapi wajah mereka memancarkan semangat dan gairah yang bisa menular pada siapa saja yang melihatnya. Sungguh, senang rasanya melihat orang-orang yang pandai menggunakan amanah harta yang Allah titipkan. Masyarakat yang dermawan adalah sumber kebaikan. Dengan hartanya mereka menyambung silaturahmi, menunaikan hak kaum miskin atas harta mereka.

Hati yang baik, saya rasa adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Ada yang mendapatkannya dari lahir (emang dari sononya udah dicetak baeeeek banget), ada yang terasah lewat pendidikan, ada yang terbentuk lewat didikan lingkungan sekitarnya, ada yang harus berusaha keras untuk jadi orang yang baik hati.

Ketika kebaikan hati bertemu dengan kemampuan materi, dan kecerdasan maka yang terjadi adalah sepenuhnya kebaikan. Tentu saja plus kematangan dalam melihat persoalan supaya kebaikan itu berdaya guna secara optimal untuk orang lain. Tapi baik hati tidak hanya termanifestasi dalam keringanan memberi berwujud materi, namun juga keringanan hati untuk melepaskan egoisme mementingkan diri sendiri dengan memberikan perhatian pada kepentingan dan perasaan orang lain.

Kalau ditanya bagaimana saya menggambarkan diri saya, saya suka menjawab saya orang yang baik hati dan tidak sombong. itu sebenarnya lebih pada jawaban yang bersifat self fullfilling prophecy sih, tahu kan bahwa the power it’s in ur mind. Apa yang kamu pikirkan soal diri kamu itulah kamu. Jadi jawaban itu justru muncul dari betapa rasanya saya masih jauh dari baik hati dan tidak sombong.

Saya punya teman-teman yang subhanallah baik sekali hatinya. Dari yang sederhana tapi manis seperti membuatkan puding cokelat ketika teman yang lain sedang sariawan berat atau jauh-jauh datang menghibur ketika kawannya ditimpa musibah, sampai merelakan uang hasil kerjanya mengajar privat dan bimbel untuk menunjang aktivitas dakwah rekan lainnya. Dan kalau sudah begitu dengan mata hati membelalak saya menatap mereka sambil berseru dalam batin “Subhanallah, Baik Sekali!!??”

Saya tahu ibu saya, pastinya dengan sadar, juga berusaha keras membentuk anak-anaknya untuk jadi orang yang baik hati. Tiap Ramadhan dia jadi salah satu pemasok ta’jil untuk sebuah pesantren anak yatim. Kami, anak-anaknya, yang kebanyakan baru sampai pada level gaji yang ngepas, ‘ditodong’ untuk jadi penyandang dana-nya. Lain kali kami diminta urunan untuk beli semen karena pesantren itu mau memperbaiki bangunannya. Kalau lagi banyak uang, tentu oke-oke saja, tapi kalau lagi banyak keperluan plus harus beli ini beli itu ? ngasih juga sih tapi plus senyum miris yang gimana gitu.

Tapi setelah itu diam-diam saya bersyukur karena ibu saya itu. Bahwa mendahulukan kepentingan orang lain bukan hal yang mudah, bahwa memberi saat kaya itu kadang sulit, namun lebih sulit lagi melatih diri untuk memberi pada saat kita ada dalam kondisi kekurangan. Bahwa mungkin kehidupan kita sulit, namun kesyukuran bisa datang pada saat kita tahu masih ada yang bisa kita lakukan untuk orang lain yang sama-sama dalam kesulitan.

Jadi orang baik dan tidak sombong itu perlu latihan kontinu dan pembiasaan, makanya kita banyak ditinggali tips dan trik dari Rasulullah dan para Tabi'in, baik yang sifatnya konseptual sampai yang teknis-teknis untuk menaklukkan kesombongan yang sifatnya memang sama tuanya dengan keberadaan makhluk Allah seperti syaitan. Niat baiknya untuk melatih itu semua tentu mestinya datang dari iman.

Karena kesombongan bisa menyergap kapan saja dan siapa saja. Mengendap-endap seperti pencuri dan bum! Tiba-tiba kita merasa layak memandang orang dengan mengangkat hidung karena omongannya ga intelek, karena punya motor gede, karena gaji, karena sarjana, bisa nembak orang sembarangan karena keturunan si anu punya anu. Kebaikanpun bisa dirusak ketika hinggapi rasa sombong, baik itu sombong yang nyata maupun yang tersembunyi dalam ruang-ruang gelap di bilik hati. Hah, Kalau bukan karena kenal dengan saya, nggak mungkin dia bisa baik seperti ini.

Kenapa harus jadi orang yang baik hati dan tidak sombong ? sederhana aja mestinya. Baik hati itu perlu karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Tidak sombong itu perlu karena cukup sebesar atom, kesombongan dapat menahan kita dari pintu surga Allah.