Thursday, April 14, 2005

I'm Back!

he he he ....
akhirnya nge-blog lagi ...
apa kabar dunia ? (aih, basi deh ...) alhamdulillah bisa balik lagi. jadi malu niy ama yang pada rajin posting. duh, duh bukan kenape2, di rumah mo pasang koneksi internet masih sebatas janji kampanye, masih ngagombal ceunah. Kalau di kantor ??? wah, ga tau deh Bapak IT nya kayaknya loadnya selalu tinggi, jadi ga sempet dibenerin jaringan yang katanya kemarin krash atau apa gitu. Jadinya ga bisa berkutik dong. Sabtu-Minggu ke warnet ? wah itu hari mencuci sedunia dung, plus eksetra2 Kau-Tahu-Apa. jadi ...

gimana? sudah puas dengan alasan2nya ?

Tony!!! AKA Abi Luthfi, aku mo bilang ma kasih! waktu itu aku lagi bete banget dan seseorang di kantor tiba-tiba menyodorkan sebuah buku mungil "baca deh mba, bagus loh..." dan ternyata it's ur book! 30 kekuatan cinta tea! hu hu hu ... kegombalan masa silam yang berbungkus tausiyah universal nan sederhana itu memang obat mujarab hu hu hu ...

tapi kenapa nggak nulis lagi ton ? apa karena udah ketemu ummi lutfi =b? katanya orang itu bisa kreatif kalo lagi jatuh cinta (dalam status menunggu jawaban gitu loh) atawa kalo lagi putus cinta (huh! akan kutunjukkan, nyesel deh lo nolak gue!) he he he ... kalau yang udah tenang dengan cinta katanya malah bisa nggak produktif, habis yang dicari sudah ketemu. bener ga ton ? *giggle*

tapi kalo vita pasti lain cerita yah, hon ...
blog-nya makin rame aja, jadi ngiri ...
Ge! kangenyaaa! kalau baca blognya jadi ikutan mellow, Ge

well, banyak banget yang ingin diceritain. Ilmu itu harus diikat dengan pena, kenangan itu harus diabadikan di blog, he he gitu kali yak?

Teman dalam Pencarian

“Ada apa?”
“saya lagi malas mba, lagi turun, lagi banyak devilnya nih.”
“terus ?”
“saya lagi malas ngaa-ngapain. Jangankan baca Alquran, shalat awal waktu…jauh banget deh mba. Shalat subuh saya sering lewat.”

Deg. Saya berusaha mempertahankan ekspresi saya. Di dalam sini, sebuah belati rasanya digoreskan dalam-dalam. Saya memandangi lekat-lekat ‘adik’ saya. Tidak tepat sebetulnya kalau dibilang adik. Karena secara umur dia lebih tua dari saya satu tahun. Penyebutan mba yang ia berikan untuk saya, buat saya tidak banyak berarti karena bagi saya ia adalah teman dan saudara saya. Dua tahun yang lalu kami berkenalan. Dengan balutan kaos ketat merah muda khas generasi MTV, dia menunggu saya di selasar masjid UI. "Saya mau belajar Al quran, mba." Katanya penuh semangat. Dan siang hingga sore itu kami habiskan lewat perbincangan soal pencarian kebenaran, perasaan kosong tak terarah yang harus diakhiri, soal perlunya memiliki pegangan yang pasti.
"Saya mo insyaf deh, nggak mau begini terus"
Dan hati saya terbang dalam asa, penuh dengan pengharapan bahwa kelak, masing-masing kami berdua bisa sama-sama menemukan apa yang kami cari.

Dan kini. Siang itu saya berusaha mengenali perasaan saya. Marah ? kecewa ? sedih ? “kelak, shalat dalah amalan yang pertama kali diperhitungkan di yaumul hisab. Baik shalatmu, maka baik pula keseluruhannya…” lupakah saya memberitahunya ? ataukah dia yang tidak mengingatnya? “Yang membedakan seorang muslim dan kafir adalah shalat.”Ah, bibir saya tak sanggup mengatakannya. Iman ini masih ringkih dalam persemaian, saya tidak ingin menghancurkan dan memutus kesempatannya berbunga dibabat habis oleh penolakan.

Saya menatap matanya. Jika engkau merasa pedih dalam kekosonganmu, aku jauh lebih pedih dalam kekecewaanku. “mereka yang tidak memiliki tidak akan pernah bisa memberi..” ucap Sang Abang yang siang itu memberi pembekalan untuk para calon mentor di kampus. Ucapan itu tidak pernah luluh oleh waktu walaupun tak terhitung hari, minggu, bulan dan tahun telah berlalu sejak siang itu. Dan saya menggemakannya dalam pertanyaan ke dalam kalbu sendiri sudahkah itu kau miliki ?adakah kenikmatan iman yang ingin kau bagi ? ataukah sebatas silabus dan materi yang kau hapal yang kau punya dari pertemuan ke pertemuan?

Dua tahun bersama dan untuk sekedar menutup aurat, dia belum dapat melakukannya. “sabar ya mba, saya pasti akan berubah…” katanya suatu hari ketika saya menuntut penjelasan. Apa lagi yang dicari ketika deretan fakta telah kau cerna dengan logika ? “tapi iman itu ada di hati dan kau bukan pemilik hati.” Sesuatu menghibur dari dalam sana.

Ustadz Satria Hadi Lubis memberi tips, berikan pilihan untuk memakai hijab atau dia tidak usah meneruskan perjalanan ini. Dan saya berkata padanya bagaimana jika tidak dengan saya ? mungkin jawabannya akan dia temukan bersama yang lain ?
“Saya tidak mungkin pindah ke yang lain.”
“Kenapa ?”
“Saya tahu mereka. Selalu punya pengharapan saya akan lebih baik, dan jika itu tidak terwujud sesuai keinginan mereka, mereka meninggalkan saya.”
Apakah melepasmu adalah meninggalkanmu?

Saya tahu betapa mahalnya sebuah hidayah. Saya tahu bagaimana rasanya cemburu menatap wajah-wajah teduh dan bertanya-tanya dalam hati apa yang membuatmu seperti itu ? apa yang engkau miliki sehingga air matamu mengalir ketika terdengar berita tentang Bosnia, Ambon dan Palestina ? apa yang membuatmu bisa berkata tentang cinta pada seorang manusia yang terpisah seribu empat ratus tahun lamanya dari waktu tempat engkau berpijak ? apa yang membuatmu memiliki kekuatan untuk bersimpuh dan mengaduh dalam diam pada keheningan malam ?

Karena saya tak bisa. Saya tak punya.
Saya mencarinya dalam lembaran-lembaran buku, saya mencarinya dari pertemuan waktu ke waktu. Dan saya masih tidak bisa menemukannya. Tidak dengan hati yang terbelenggu dengan kesombongan ego dan nurani yang terbungkus pendapat dan penafsiran sendiri.

Saya tahu lelahnya mencari
Saya tahu bagaimana beratnya untuk berharap suatu saat ada kenikmatan iman yang bisa membuat saya meninggalkan kemaksiatan dan akhlak buruk dengan lapang.

Saya ingin berkata padanya
Kau harus menyerah. Pasrah. Menyadari pada satu titik ini semua bukan lagi persoalan logika, sejalan atau tidak dengan ilmu pengetahuan dan penemuan sejarah. Pada akhirnya ini tentang permohonan agar pada akhirnya Dia membawamu kepada cahaya diatas cahaya dan memberikan kekuatan untuk bisa mempertahankannya sekuat yang kau bisa.

Saya menatap matanya. Menarik napas dan mengatur emosi yang berkecamuk dalam dada. Berusaha berdiri di sudut yang tepat untuk memahami segala cerita dan keluh kesahnya.

Jika pencarian setiap kita adalah sebuah perjalanan, maka aku tak ingin jadi teman yang berkhianat karena meninggalkanmu ditengah jalan sendirian. Jika engkau bertanya tentang negeri impian, aku berjanji menggenggam tanganmu untuk menguatkan tiap kali muncul keraguan.

buat engkau, yang jadi tausiyahku
setiap sabtu