Thursday, October 28, 2004

Jadilah Kau Musafir atau Penyeberang Jalan

Para musafir tahu, bahwa dalam perjalanan panjanga dan melelahkan, mereka punya satu tempat yang dituju. kampung halaman. maka seindah apapun negeri yang kau singgahi, tak peduli seberapa besar nikmat yang kau dapatkan, jauh di dasar sana engkau tahu, bahwa bukan itu yang kau cari. Bahkan jika dalam negeri persinggahanmu kau temukan kepahitan, kesedihan dan kepedihan, semua tak akan cukup membuat jiwamu bermuram durja, karena kau tahu dia tak akan selamanya. masih ada kampung halaman tempat kau berisitirahat dari lelah dan penat perjalanan. Tempat persemaian jiwa dalam kenikmatan abadi bersama Dia yang kau puja. Kau bisa jatuh cinta, menyukai siapa saja dan apa saja dalam persinggahan diperjalananmu, tapi kau tak akan pernah menambatkan hatimu disana sepenuhnya. karena kau tahu, kelak akhirnya semua kau tinggalkan juga.

Para musafir mengetahui, apa dan seberapa besar bekal yang harus dibawa menuju kampungnya. Mana yang akan menyelamatkannya menempuh badai pasir dan jurang dalam, mana yang hanya akan memberatkan pendakian. Tak ada berat hatinya untuk berpaling dari apa-apa yang tidak bermanfaat untuk perjalanannya. Karena apa-apa yang kekal ada disana. Di kampung halamannya.

Seorang penyeberang jalan akan berhati-hati ketika melangkah, jangan tertabrak atau berleha-leha karena bisa berbahaya. Tak peduli apa yang kau temui diperjalanan, mata dan hatimu mengarah kesana, keseberang jalan yang jadi tujuan.


Jam 6.45 pagi di kantor, satu jam lebih awal dari jam kerja
kebiasaan baru selama puasa datang pagi-pagi, shalat dhuha abis gitu tilawah
tlus bobok lagi deh di mushalla he he he ...

Tuesday, October 26, 2004

Lagi Kangen sama At-Tiin ...

Nope, im not talking about my self. Ini karena subuh tadi di masjid sebelah rumah, imamnya memimpin doa dengan nada yang terburu-buru. Duh, rasanya seperti menawar barang di pasar dan bukannya bicara dengan Tuhan.

Saya jadi rindu untuk shalat di masjid At Tin. Bukan semata karena arsitekturnya yang cantik (God Bless you Mr. Noe'man), namun yang membuat saya betah berlama-lama shalat disana adalah suasana syahdu yang ditimbulkan oleh kepemimpinan imam shalatnya. Saya jarang benar-benar tahu apa arti ayat yang dibacakan, namun caranya membaca, menimbulkan dentingan yang menyejukkan di hati. seperti sebuah musik dari negeri antah berantah yang tanpa kita tahu artinya, kita sudah menangkap esensi kehangatannya *yang baca; Melongo Mode ON*

Tapi beneran deh, yang lebih bikin terharu lagi adalah doa yang dilantunkan tiap kali usai shalat. Rasanya kita dibawa untuk menghiba, merengek, memohon di kaki sesuatu yang sangat berkuasa atas diri kita sekaligus sangat, sangat,sangat, sangat kita cintai. Rasanya seperti berbicara pada pujaan hati yang selalu tak puas-puasnya ingin kita dengar pernyataan cintanya, rasa takut sekaligus harapan bahwa cinta yang diberikan-Nya tidak akan pernah berpaling dari kita.

Ah, rupanya masih secetek itu kerinduan saya. Sesuatu yang diaku sebagai rasa cinta rupanya masih bergantung pada faktor situasional belaka. Jika ditimpa musibah, jika merasa susah, jika di masjid indah, denting-denting ilahiah itu baru terasa.

saya jadi ingat sama sebait kerinduan ketika Rabindranath Tagore menyapa Tuhan lewat kidungnya ...

mendung datang berlapis-lapis dan langit menjadi gelap, Ah Kekasih, mengapa Engkau biarkan aku sendirian menunggu di depan pintu

di saat sibuk bekerja disiang hari aku bersama-sama orang banyak, tapi bila hari gelap dan sepi seperti ini hanya bersamaMu aku berharap


ah, orang india
emang bisa ...

Al Wadud

Sejak dulu, manusia selalu dipenuhi keinginan untuk mengenali Tuhannya. Godaan untuk memanifestasikan perasaan bertuhan dalam sebuah kehadiran secara fisik telah dialami begitu lama. Karenanya orang Yunani punya dewa-dewa dengan sifat-sifat persona kemanusiaan yang dibesarkan. Zeus, sang raja para dewa adalah playboy yang kerjaannya menabur cinta gombal dan beranak dimana-mana, Hera istrinya, sang dewi kesuburan, adalah pencemburu buta yang dengan kelicikannya mampu melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya. Karenanya orang Hindu punya sederet patung dewa, walau mereka percaya hakikat ketuhanan jauh melebihi keberadaan patung itu sendiri.

Allah mereduksi godaan itu dengan mempekenalkan diri-Nya melalui nama-nama yang indah. Nama-nama yang dapat ditangkap dan dipahami oleh manusia. walaupun demikian, Allah menggantung persepsi kita dengan nama-Nya yang lain, 'laysa kamislihi' tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah Maha Pengasih, namun apapun makna yang dapat diberikan manusia tentang Pengasih, Dirinya jauh lebih besar dari pemahaman kita akan makna itu sendiri. Analoginya, ketika kita menyuruh ayam makan, kita tidak akan berkata pada ayam itu dengan bahasa kita (eh, ayam, sini luh, makan dah dimari!), tapi kita bicara dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh ayam itu (kerrr.. cek.. cek ...). Begitu pula halnya ketika Allah berbicara dengan manusia.

Allah Maha Mencintai. Saya kira tadinya dalam bahasa arab, itu akan berbunyi habib atau yang kedengeran samalah dengan itu, karena dalam ingatan saya yang awam, mahabbah itu artinya cinta. Namun bahasa Arab ternyata punya banyak nama untuk cinta. dan untuk itu Allah memilih kata Al Wadud, Allah Maha Mencintai. Al wadud adalah kata tentang cinta yang bermakna sebuah cinta yang perwujudannya berbentuk merasa baru memberi sedikit kepada yang dicintai walaupun sesungguhnya telah memberikan banyak, atau merasa telah banyak menerima walaupun yang diberi hanya sedikit.

Allah wadud kepada hambaNya, berarti Allah telah memberikan banyak, namun dalam banyaknya, Ia masih tetap menganggap yang diberikanNya hanyalah sepersekian dari cinta-Nya. ingatkan riwayat tentang 100 kasih sayang Allah, yang 1 diberikannya pada manusia, sisanya disimpan untuk hari pembalasan kelak. yang dengan 1 itu, seorang ibu mencintai anaknya. Kita bisa berkali-kali berbuat dosa, mengecewakan-Nya dan Ia akan mengampuni kita berulang-ulang, tidak lupa untuk memenuhi segala kebutuhan kita betapapun kita tidak pandai mensyukuri-Nya.

Jika seorang hamba wadud kepada Allah, maka walaupun nyawa ia berikan, ia menganggap itu semua bukan apa-apa dibandingkan kasih sayang yang Allah berikan padanya. Jika seorang hamba wadud kepada Allah, maka ia akan merasa telah diberi banyak walau orang lain melihat ia tidak memiliki apa-apa.

Jika kita masih merasa kekurangan dengan apa yang Allah berikan, maka itu berarti tidak ada wadud dalam diri kita.dari kata wadud ini, lahirlah turunan kata lainnya; Mawaddah

wallahu a'lam bisshowwab

inspired by Tafsir Al Misbah, Quraisy Shihab, jam 03.05. di Metro TV

Thursday, October 21, 2004

"... agar kamu bertakwa"

Hari ini ada Bu herlini di acara ifthar jama'i akhwat kantor. Beliau bicara masalah amaliyah Ramadhan. Ternyata dari penjelasan Bu Herlini kemarin, baru tahu kalau perintah berpuasa dalam Albaqarah 183 itu tidak berdiri sendirian. Ada perintah-perintah lain yang redaksi penekanannya kurang lebih sama. Satu di ayat 178, tentang Allah mewajibkan qishsash dan tujuannya sama, agar kita bertakwa. Ini adalah sebuah upaya perbaikan di level sosial. karena hikmah dari qishash adalah memelihara kehidupan. Lho ?kok gitu ? lha iyah, dari situ kita tahu betapa Islam sangat menghargai kehidupan. Maka ketika seseorang mengambil kehidupan orang lain tanpa hak, berarti dia telah melakukan kerusakan.

Trus, yang kedua diayat 180. Allah mewajibkan pada orang-orang yang sudah didatangi tanda2 kematian untuk berwasiat kepada kerabat secara ma'ruf. Itu adalah kewajiban bagi orang yang bertakwa, begitu ujungnya. Ini adalah upaya di level keluarga. Jangan sampai kematian seseorang menimbulkan permusuhan dan kerusakan dikeluarganya.

Dan akhirnya tiba lah diayat 183 itu. Allah mewajibkan kita untuk berpuasa sebagai sarana tercepat bagi orang beriman untuk sampai ke derajat takwa. Sebuah upaya perbaikan di level individu.

Subhanallah, sekali lagi lewat Alquran , Allah menunjukkan sebuah petunjuk kehidupan yang seitematis dalam kehidupan manusia. Bahwa upaya perbaikan di tingkat sosial harus diiringi upaya yang sama ditingkat keluarga dan pribadi. Gimana mungkin mau punya masyarakat yang islami kalau keluarga-keluarga yang membentuk masyarakat itu tidak hidup dalam nilai-nilai islam, gimana mau membentuk keluarga islam kalau individu-individu didalamnya tidak kommit pada nilai-nilai islam. Gimana mau punya suami (uhuk,uhuk,uhuk, ehem .. *keselek MODE*) yang soleh kalau diri sendiri masih jauh ?

Dari pembuka itu terus si ibu (Herlini, maksudnya) menguraikan hikmah khutbah Rasulullah tiap kali menjelang bulan ramadhan. Ternyata kalau au diselami ternyata penekanannya justru banyak pada aspek hubungan antara sesama. Adalah mudah mencapai target-target ibadah pribadi; mo khatam Alquran berapa kali, bangun malam, shalat sunat dan eksetra-eksetra, Namun yang paling sulit adalah melaksanakan amaliah sosial yang menyangkut hubungan sesama manusia. Dari sini sebenernya cerminan seberapa efektif amaliah pribadi itu bagi diri kita.

Contohnya soal ghibah (wah, buat negeri seribu gosip gini, pasti seru nih). Yang jelas sore itu banyak diingetin bahwa jangankan kata-kata, bahasa tubuh saja sudah cukup membuat kita jadi pemakan bangkai saudara kita sendiri. Blum lagi transfer pahala dan dosa yang bener-bener bikin rugi. ada sebuah riwayat tentang seseorang di yaumil hisab yang terheran-heran dengan pahalanya yang menggunung yang seingat dia, tak pernah dilakukannya (dengan 'bagus' si Ibu kasih gambaran "berkontainer-kontainer ..."), dan ternyata itu pahala dari orang yang menggunjingnya. dan ketika pahala dari orang yang menggunjing itu sudah habis, maka yang ditarnsfer adalah keburukan-keburukan orang yang digunjingi.

Astaghfirullah! lumayan bikin shock lah, karena biasanya saya mengilustrasikannya dengan saldo tabungan yang menyusut (mungkin ga ngefek karena ada ingetan tiap bulan pasti ada gaji masuk he he). dan ilustrasi kontainer yang gedinya segana-gana itu, jadi kebayang banget ruginya.

Dan masih banyak lagi amaliah-amaliah dalam hubungan sosial lainnya. Taujih sore itu mengembalikan kesadaran bahwa kadang kita terlalu asyik mengejar target2 ibadah personal yang kita buat dan kita terlupa pada esensi yang ingin di capai dari puasa itu sendiri.

"... agar kalian bertakwa"

Pak Quraisy Shihab mengatakan bahwa takwa itu terambil dari kata waqa-yaqi yang artinya menjauh (melindungi) dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan*. Umar ra mengibaratkannya dengan seseorang yang berjalanan di jalanan penuh duri, maka ia akan berhati-hati untuk menghindarinya. itulah takwa.

Kata itu terulang sebanyak 15 kali dan ada puluha kata lain yang seakar dengannya. perintah untuk bertakwa dalam Alquran terulang sebanyak 69 kali, umumnya dengan redaksi ittaqullah, perintah bertakwa kepada Allah untuk berlindung dari siksa-Nya dan sanksi hukum-Nya.

Berpisah dengan Ramadhan nanti, mudah-mudahan Allah memberi kekuatan untuk masuk kedalam golongan orang yang berhati-hati melangkah di kehidupan. jadi mereka yang dapat menarik jarak dari keinginan nafsu untuk sejenak menilai, sudah benarkah keputusan saya ? apa manfaat yang saya peroleh untuk kehidupan dunia dan akhirat saya ?

Dan tiba-tiba jadi ingat, suatu subuh di bulan Ramadhan entah tahun kapan, waktu mo siap-siap ke masjid, almarhum Bapak berkata, "Denger,denger..." saat itu dari masjid suara kaset murrotal syekh Al Ghamidi mengalun merdu dari spiker masjid mengumandangkan surat Ali Imran ayat 133

"Bergegaslah kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa ..."

(duh ...*hiks, kok mata ini jadi basah ?*

*Quraisy Shihab, Secercah Cahaya Illahi, Penerbit Mizan; 2001 (? lupa)

Friday, October 01, 2004

Surat dari Seorang Kakak untuk Adiknya

Assalamu'alaikum sayaaaaaangg.....
semoga jawaban ini belum terlambat.....cause i really love and care about you and always hope
that what's happens to you is always the great and the best one. Okay...
So, baca baek-baek dengan jiwa tenang dan open mind.
Oke...
sayang...
waktu seusia kamu, setiap kali aku ngobrol ama temen-temen, entah itu temen kuliah, temen liqo, temen SMU, temen senat....ujung-ujungnya selalu ngomongin soal walimah en kehidupan rumah tangga. Baik yang konsep (seperti suami seperti apa yang kita idamkan, keluarga seperti apa yang akan dibangun) sampe yang teknis macam berapa standar penghasilan (calon) suami
en barang-barang apa yang mau diminta sebagai mahar dan seserahan (waktu itu kita sempat bikin target: mahar kudu ada emasnya, en seserahan kudu ada mesin cucinya. (hehehehe....saking takutnya disuru nyuci!)
Toh, ternyata tidak sesederhana (dan juga tidak sesulit) itu kehidupan berumah tangga pada akhirnya.

Sayang,
Menikah bukan cuma mencari pasangan hidup, tempat kita berbagi rasa dan asa. Berbagi canda dan tawa. Berbagi duit (nah, ini baru asyik), berbagi rumah dan kamar...tetapi menikah itu(ehhmmmm....mikir dulu, biar gak kelihatan sok mau nasehat) adalah juga berarti upaya mencari (calon) ayah dari anak-anak kita, generasi penerus yang akan meninggalkan jejak-jejak kesalehan kita di atas muka bumi, di atas ladang amal saleh kita yang berupa hamparan dunia...

Juga berarti mencari seorang sahabat, teman curhat, tempat berbagi beban (baik beban kehidupan maupun beban dakwah).... Mencari seorang penegak di saat kita rapuh,mencari
pembimbing di saat kita menyimpang, mencari penyejuk di kala kita murka, mencari penegur di kala kita salah, dan mencari penuntun agar kebersamaan hidup berumah tangga itu dapat kekal sampai di surgaNya kelak...

Lalu, menikah juga berarti mencari titik batas dan kemampuan untuk bersabar, berkorban, tenggang rasa, simpati, empati, mengalah, bersyukur.

Menikah adalah sebuah proses panjang hidup dalam negosiasi, kompromi hingga adaptasi.
Lalu, siapa yang layak menanggung derita bersama kita? ceria bersama kita?
Bukan soal anak siapa, jebolan mana, penghasilannyaberapa, sekeren apa, atau canggihnya gimana....

Tapi
Apakah dia dan kita bisa mewujudkan rumah tangga, kelak,menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah dan penuh istiqomah

Memimpin dengan santun. Menegur dengan sabar. Mengayomi dengan ikhlas. Mendengar dengan rendah hati. Memaafkan dengan hati terbuka. Meminta maaf dengan lapang dada
Karena tidak ada artinya semua harta, jabatan, titel, suku, kebangsaan, ketampanan, kecerdasan...

Kalau tidak ada kesabaran,tidak ada tanggungjawab, tidak ada lapang dada, tidak ada komunikasi ,tidak ada canda tawa , tidak ada pengorbanan, tidak ada kepercayaan,
tidak ada prasangka baik

dan
Tidak ada keridhoan Ilahi yang utama

Mampukah kamu merajut cinta dalam cinta padaNya,dalam tilawah bersama ,dalam tahajjud berdua, dalam muhasabah sebelum tidur, dalam menghidupkan sunnah-sunnah manusia tercinta, Rasulullah SAW....

Benar, bahwa kita perlu teman hidup. Benar bahwa kita perlu penghasilan cukup bagaimana bisa hidup sakinah...kalau tidak punya duit-dan tidak tahu darimana akan dapat duit...). Benar bahwa kita merencanakan pernikahan dengan matang. Benar bahwa kita perlu mahar dan tetek bengek lainnya

Tetapi benarkah kita sudah memikirkan calon suami mana yang akan menjadi pelengkap hidup kita? Mengisi kekurangan kita, sekaligus kita isi kekurangannya? Menambah kelebihan kita, sekaligus kita tambah kelebihannya....
Agar hidup kita bahagia, sejahtera, di dunia dan semoga begitu juga kelak di akhirat

Dan ingat...

Begitu pernikahan dimulai
Argonya jalan...
Tiada lagi wali
Tiada lagi pemimpin
Tiada lagi 'penguasa'
Tiada lagi sahabat
Tiada lagi teman
Tiada lagi rahasia

Kecuali
Pada dia, suami kita

Maka, Menikah bukan UMPTN, yang bisa dilakoni secara coba-coba. Diulang tahun depan bila
gagal....karenanya, mandilah, ambil air wudhu, sholat, tilawah, bersihkan hati kamu, bersihkan pikiran, lalu bermunajat kepada Allah, mohon ampun sekaligus mohon petunjuk....
Ambil kertas, tulis ulang semua apa yang ada dalam
hati dan dalam kepala....

Insya Allah
kamu bakalan nemuin jawabannya.

Oke. Love u so much.

Fe'

*Imel dari Jamil. Uni Fe, pinjem suratnya*